Tampilkan postingan dengan label Asma'Ul Husna. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Asma'Ul Husna. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Juli 2012

(29) Asma al-Husna : al-Hakam ; (30) Asma al-Husna : al-'Adl

Asma al-Husna : al-Hakam ;  Asma al-Husna : al-'Adl




(29) al-Hakam (Yang Memutuskan Hukum)     ;  (30) al-'Adl (Yang Maha Adil)

Al-Hakam adalah yang menghakimi segala sesuatu dengan hukum-Nya, dan ini termasuk sifat zat, karena hukum-Nya juga yang berlaku atas hamba-hamba-Nya. Makna lainnya, Dia menciptakan sesuatu dengan rupa dan bentuk yang dikehendaki-Nya.

Ada juga yang memaknai, Bahwa Dia menghukum si Fulan dengan memberi suatu kenikmatan. Sedangkan kepada yang lain dengan malapetaka. Menurut pengertian, al-Hakam merupakan sifat perbuatan.

Al-‘Adl adalah sifat zat-Nya. Dapat diartikan bahwa Dia berhak berbuat apa pun yang dikehendaki terhadap kerajaan-Nya dan seluruh makhluk yang merupakan bagian dari kerajaan-Nya.

Dengan demikian, siapa yang mengenal-Nya bahwa Dia adalah Yang Maha Adil, niscaya tidak akan menjelek-jelekkan segala sesuatu yang telah ada dan tidak pula merasakan keberatan atas hukum Allah Swt yang menimpa dirinya. Bahkan hukum ini dihadapi dengan kerelaan dan kesabaran. Betapa pun beratnya musibah yang menimpa, ia tidak akan pernah berkeluh-kesah. Dia sadar bahwa semua ini sudah ada dalam pengetahuan-Nya, karena Dia Maha Adil. Jadi, tidak mungkin Dia mengambil keputusan bagi makhluk-Nya tanpa berlandaskan keadilan. Berkenaan dengan hal ini, Abu ‘Ustman al-Maghribi berkata; “Jiwa-jiwa para arif selalu terbuka untuk menerima takdir apa pun yang akan datang, sekalipun datangnya secara mendadak”.

Allah Swt menghukum segala sesuatu yang dikehendaki-Nya dengan ketentuan-Nya di dalam azal, sehingga siapa pun yang sudah diputuskan bahwa baginya kebahagiaan, niscaya bahagialah untuk selama-lamanya. Dan siapa pun yang sudah diputuskan buruk, maka kebahagiaan akan menjauh darinya. Oleh karena itu dikatakan bahwa: “Siapa yang dijauhkan oleh ketentuan masa silam tidak akan dapat didekatkan oleh sebab-musabab; dan siapa yang digagalkan oleh kegiatannya, tidak akan memperoleh manfaat dari usahanya”.

Manusia terbagi atas empat golongan. Pertama, Ashhaab al-Sawaabiq (golongan para pendahulu), yakni orang-orang yang pemikirannya setuju pada ketentuan mula pertamanya. Ketentuan Allah ini tidak lepas sedikit pun dari hukum azali dan tidak akan berubah oleh kasab (usaha) hamba. Kedua, Ashhaab al-‘Awaaqib (golongan serba akibat), mereka adalah yang pemikirannya setuju pada akhir dari sesuatu. Semua persoalan dinantikan di saat akhirnya. Namun karena akhir sesuatu itu masih merupakan misteri, maka kepada golongan ini dikatakan: “Janganlah kalian terperdaya oleh kejernihan suasana, karena di dalamnya terdapat kebinasaan yang samar atau kerusakan yang terselubung”.

Ketiga, Ashaab al-Waqt (golongan waktu), yakni yang bebas, tidak memikirkan yang azali (kekal) maupun kesudahan, bahkan mereka giat bekerja dengan sangat serius terhadap masalah yang dihadapi saat ini dengan ketentuan hukum yang berlaku. Mereka yang masuk golongan ini disebut juga “putera waktu” (ibn waqt). Bagi sufi, mereka tidak terikat oleh waktu, baik yang berlalu maupun yang akan datang kemudian. Seorang fakir mimpi bertemu Abu Bakar al-Shiddiq – semoga Allah meridhainya – dan dia minta diberi wasiat olehnya. Abu Bakar pun berwasiatkan kepadanya:”Kun ibna waqtika” (Jadilah kamu putera waktumu)”.

Keempat, Ashhaab al-Dawaam (golongan dawam); kelompok terakhir ini selalu melakukan zikir al-Haq dan hatinya sibuk dengan penyaksian al-Haq tanpa memperhatikan waktu. Al-Junaid berkata  bahwa Pada suatu hari aku berjumpa sahabatku al-Sari dan aku katakan kepadanya: “Bagaimana keaadan Anda pada pagi hari ini?” Jawabnya: Tidak lepas dari sisi Allah, di waktu pagi maupun sore”.

Ucapan ini mengisyaratkan bahwa al-Sari tidak mengakui waktu dengan sebenar-benarnya, ia sudah tenggelam dalam penyaksian Yang Maha Mengadakan waktu. Dan ia menggubah sebuah syair:

Dulu aku memanglah belum ada
Lalu bagaimana aku mengetahui masa dulunya
Tiadalah kuketahui akan wujud diriku
Sekalipun aku tahu bahwa aku ada.
Tiadalah terjadi bila kuketahui kalau tiada
Wahai, yang dengan-Nya aku ada
Wujudku antara keluhan dan kesedihan.

Mungkin uraian ini agak berlebihan. Padahal manusia secara fitrahnya terikat pada perasaan, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:

Dan engkau mengira bahwa mereka itu bangun padahal mereka  itu nyenyak (QS. al-Kahfi [18]: 18).

Dikisahkan, ada seorang datang mengetuk pintu rumah Abu Yazid, kemudian ia menanyakan dari dalam rumah: “Siapa yang Anda kehendaki?” Si pengetuk pintu menjawab: “Yang aku kehendaki adalah Abu Yazid”. Dari dalam ia menjawab: “Abu Yazid tidak ada di rumah”.

Pernah pula terjadi bahwa ada orang bertanya kepada al-Syibli: “Di mana kiranya aku dapat menjumpai al-Syibli?” Jawab al-Syibli: “Mengenai keadaan al-syibli sudah mati, dan semoga Allah tidak memberi rahmat kepadanya”.

Sekali waktu Zun Nun al Mishri mengutus seorang pergi ke negeri Bustham untuk menyelidiki hal-ihwal; Abu Yazid, lalu orang suruhan itu kembali membawa berita tentang ia. Dikisahkan bahwa ia sudah menjumpai Abu Yazid di dalam mesjid. Ia pun memberi salam kepada Abu Yazid, kemudian Abu Yazid bertanya kepadanya: “Apa yang hendak Anda inginkan?” Jawab suruhan itu: “Saya ingin menjumpai Abu Yazid?” Abu Yazid menjawab: “Ya saya juga mencarinya, di mana gerangan Abu Yazid?” Dalam hati orang itu berkata: “Rupanya orang ini sudah gila, untuk apa aku bersusah payah menemuinya?”

Ketika hal itu diceritakan kepada Zun Nun al-Mishri, ia pun menangis sembari berkata: “Saudaraku, Abu Yazid telah pergi bersama mereka yang telah pergi dalam menuju Allah Jalla Jalaluhu”.

Abu ‘Ali al-Daqqaq pernah memberikan komentar berkenaan dengan firman Allah Swt mengenai Nabi Ibrahim:

Sesungguhnya aku hendak pergi kepada Tuhanku! Dia akan membingbingku (QS. al-Shaffat [37]: 99).

Nabi Ibrahim bepergian untuk Allah, untuk itulah ia pergi kepada Allah. Bepergiannya demi Allah, mewajibkannya bepergian kepada Allah.

Ketahuilah bahwa lafal-lafal ini pada lahirnya membingungkan bagi mereka yang tidak biasa melakukan dan mendalami ilmu-ilmu kaum sufi. Namun bagi mereka yang telah mengenal hakikat-hakikat usul dan sudah mencium bau sesuatu dari ilmu-ilmu mereka, maka mereka akan mengerti makna-makna yang dikandung dan memahami rumus-rumus mereka. Namun sangat disayangkan, mereka yang mengklaim “peneliti kebenaran” pastilah akan menentang ini, bahkan akan menyesatkan mereka. Semoga Allah melindungi kita semua.

<===  To Be Continued  ===>

Jumat, 29 Juni 2012

(27) Asma al-Husna : al-Samii' ; (28) Asma al-Husna : al-Bashiir


Asma al-Husna : al-Samii' ;  Asma al-Husna : al-Bashiir




(27) al-Samii'  (Yang Maha Mendengar)   ;  (28) al-Bashiir (Yang Maha Melihat)

Pendengaran dan penglihatan Allah Swt merupakan dua sifat tambahan atas ilmu-Nya – berlawanan dengan mahzab Qadariyah – dan kedua sifat ini merupakan pencapaian bentuk lain bagi zat-Nya.

Tidak satu pun yang lolos dari tangkapan pendengaran-Nya, tidak satu wujud pun yang luput dari penglihatan-Nya, dan tiada sesuatu dinding yang mampu menutupi kedua sifat-Nya ini. Dia mendengar sesuatu yang dibisikkan atau dirahasiakan, dan dapat melihat sesuatu yang berada di kerak bumi sekalipun.

Maka bagi mereka yang telah mengenal bahwa Dia mempunyai sifat demikian, hendaknya senantiasa menetapi sopan santun agar selalu waspada dan menuntut pada dirinya dengan memperhitungkan secara teliti.

Diceritakan tentang seorang raja yang perhatiannya tertuju pada salah seorang pelayannya melebihi dari pelayan-pelayan yang lain. Pelayan ini sebenarnya biasa-biasa saja, tidak ada istemewa pada parasnya. Karena itulah banyak orang yang merasa heran dengan “keistemewaan” yang diperolehnya,. Pada suatu hari sang raja melakukan perjalanan dengan diiringi oleh para pengawal, teman dekat, dan para pelayan – termasuk pelayan yang diistemawakan tadi. Perjalanan menempuh lautan pasir yang amat luas. Raja naik ke bukit dan melihat sebuah gunung salju. Setelah asyik memandang salju itu, sang raja menundukkan wajahnya. Melihat perilaku rajanya, si pelayan “istimewa “ tadi tanggap. Tanpa sepengetahuan rajanya, ia segera memacu kudanya dan naik ke gunung bersalju dan secepatnya kembali membawa salju, dan kemudian dipersembahkan kepada raja.

Pelayan itu ditanya: “Dari mana engkau tahu kalau raja menginginkan salju?” Pelayan itu menjawab: “Karena aku melihat paduka raja mengarahkan pandangannya pada gunung, dan tiadalah pandangan seorang raja itu yang tidak mengandung arti”. Maka raja pun berkomentar: “Kedudukanmu akan kudekatkan dan akan kujadikan pemimpin atas mereka, karena mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri, sedangkan engkau memahami keadaanku”.

Syekh Junayd memiliki seorang darwis muda yang sangat ia cintai. Darwis Junayd lainnya, yang lebih tua, menjadi iri. Suatu hari Junayd menyuruh para darwisnya untuk membeli seekor ayam. Masing-masing disuruh menyembelih ayam itu di tempat yang tak seorang pun dapat melihatnya. Apa pun yang mereka lakukan, mereka harus kembali paling lambat pada saat matahari terbenam.

Satu per satu para darwis kembali menghadap Junayd, masing-masing membawa ayam yang telah mereka sembelih. Terakhir, darwis muda itu kembali dengan membawa seekor ayam yang masih hidup. Para darwis tua tertawa dan saling berbisik di antara mereka, bahwa si darwis muda akhirnya menunjukkan betapa bodoh dirinya.Ia bahkan tidak dapat menjalankan perintah syekhnya.

Junayd menanyakan masing-masing darwisnya, bagaimana mereka telah menjalankan perintahnya. Darwis yang pertama kali mengatakan bahwa ia telah membawa ayam tersebut ke rumahnya, mengunci pintu, lalu menyembelih ayam tersebut. Darwis kedua mengatakan bahwa ia membawa ayam tersebut ke rumahnya, mengunci pintu, menutup tirai, kemudian masuk ke dalam lemari tertutup, lalu menyembelihnya. Darwis ketiga juga membawa ayam tersebut ke dalam lemari bahkan tidak dapat melihat proses penyembelihan tersebut. Darwis lain bahkan pergi ke daerah gelap, yang terpencil di dalam hutan, untuk menyembelih ayamnya. Darwis terakhir pergi ke sebuah gua yang gelap gulita.

Akhirnya, sampailah pada giliran si darwis muda. Ia menundukkan kepalanya dengan malu. Ayamnya masih berkotek di dalam pelukannya. Dengan lirih ia berkata, “Aku telah membawa ayam ini ke dalam rumah, Tetapi Tuhan berada di segala isi rumah itu. Aku pergi ke tempat paling terpencil di hutan, tetapi Tuhan tetap ikut bersamaku. Bahkan, di gua paling gelap sekalipun, Tuhan berada di sana. Tidak ada satu tempat pun di mana Tuhan tidak dapat melihatku”. Darwis muda tersebut memiliki ihsan. Darwis lainnya pun kemudian mengetahui mengapa syekh mereka mencintainya.

Siapa yang memelihara pendengaran dan penglihatannya dari hal-hal yang tidak halal didengar dan dilihat untuk Allah, niscaya akan dicintai oleh Allah. Sehingga dengan pendengaran dan penglihatan-Nya itulah ia mendengar dan melihat sesuatu.

Sahl ibn ‘Abdullah berkata: “Sudah sekian tahun aku bertutur kata bersama Allah, sedangkan orang-orang menyangka bahwa aku berkata-kata dengan mereka”.

Perlu ditegaskan di sini bahwa apabila seorang hamba sudah mengerti bahwa al-Maula (Yang Maha Pelindung) dapat mendengarkan apa saja yang dikatakan oleh setiap orang, maka keniscayaan bagi si hamba merasa cukup dengan pendengaran dan penglihatan-Nya. Dan tidak memerlukan lagi balas dendam atau menuntut bela untuk kemenangan dirinya, karena ia sudah mengetahui dengan benar-benar bahwa pembelaan Allah (nashrah al-Haq) lebih sempurna daripada pembelaan dirinya sendiri. Sebagaimana firman-Nya kepada Nabi-Nya, Muhammad saw:

Dan sungguh Kami telah mengetahui, betapa sesak dadamu disebabkan kata-kata yang mereka ucapkan (QS. al-Hijr [15]: 97).

Kemudian perhatikan bagaimana Allah menghibur Nabi-Nya dengan sesuatu yang dapat meringankan beban gangguan itu dengan firman-Nya:

Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu (QS. al-Hijr [15]: 98).

Maksud firman Allah di atas, apabila Anda terganggu atau merasa sakit hati karena mendengar berita yang buruk tentang diri Anda, maka segeralah dirimu dihibur dengan memperbanyak puji-pujian kepada-Nya. Dan kemudian buatlah hati serta pikiran Anda sejernih-jernihnya dengan berzikir terus-menerus dan melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Karena yang tahu perihal Anda adalah Anda sendiri dan Allah. Pasrah segala persoalan kepada-Nya, bukan kepada perasaan Anda dan orang lain. Karena mereka tidak jarang hanya akan membuat masalah menjadi rumit dan membebani Anda.

Memang secara spesifik ayat di atas diperuntukkan bagi Nabi Muhammad saw yang tengah dilanda kegalauan hati akibat ulah mereka yang membenci dia. Meskipun demikian, nasihat ini sangat berguna untuk diri kita. Karena nasihat itu berasal dari Allah, maka Nabi mematuhi-Nya. Karena Dialah tempat berlindung dan mengadu.

Kita bisa bayangkan, Nabi yang diutus untuk menyelamatkan umat manusia dituduh orang gila. Namun Allah membantah dan membela ia dengan firman-Nya:

…, demi kalam dan apa yang dituliskan (QS. al-Qalam [68]: 1).

Ayat ini adalah demi meringankan penderitaan Rasulullah saw karena hati ia yang galau, apalagi setelah ia mematuhi untuk bertasbih menyucikan Tuhan. Allah pun kemudian mencaci orang-orang yang melontarkan kata-kata buruk kepada Nabi-Nya dengan kata-kata gila. Maka, sepuluh sifat buruk dicercakan Allah kepada mereka dalam firman-Nya:

Janganlah diikuti setiap orang yang suka bersumpah lagi hina (QS. al-Qalam [68]: 10).

Hingga pada firman-Nya:

(Ini adalah) dongeng-dongeng orang-orang dahulu kala (QS. al-Qalam [68]: 15).

Inilah pembelaan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dan itu pulalah cercaan-Nya yang ditujukan kepada mereka, melebihi kesempurnaan pembelaan Nabi pada dirinya. Karena ayat-ayat al-Qur’an al-Karim kekal dan diulang oleh lisan-lisan sampai tiba Hari Kiamat.

Note:

Dalam sebuah hadis sebagaimana dikutip al-Qusyairi dalam kitabnya yang lain, Risalah al-Qusyairiyah, bab “Cinta”, disebutkan: “Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena ia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Selain itu ia senantiasa mendekati-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya (HR. Ibn al-Dunya, al-Hakim dan Ibn Mardawaih). Dalam Hadis versi Bukhari ada tambahan: “ …Apabila Aku telah mencintainya, Akulah pendengarannya, yang dengan itu ia mendengar, Aku penglihatannya, yang dengan itu ia melihat, Akulah tangannya, yang dengan itu ia meraba, Aku kakinya, dengan itu ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Aku kabulkan permohonannya, dan kalau ia meminta perlindunga-Ku, Aku melindunginya”.—penerj.

<===  To Be Continued  ===>

(25) Asma al-Husna : al-Mu'iz ; (26) Asma al-Husna : al-Mudzil


 Asma al-Husna : al-Mu'iz ;  Asma al-Husna : al-Mudzil



(25) al-Mu'iz (Yang Memuliakan)    ;  (26)  al-Mudzil (Yang Menghinakan)

Kedua nama Allah ini merupakan sifat perbuatan Allah Swt yang terlaksana baik di dunia maupun di akhirat kelak, sebagaimana sifat al-Khaafidh dan al-Faafi’ (silakan dibaca uraian sebelumnya).

Orang memandang kemuliaan di dunia ini diukur dengan harta kekayaan (al-maal) dan keadaan (al-haal). Harta kekayaan untuk menghias yang lahir, dan keadaan untuk menghias yang batin. Maka, bagi seorang zahid dapat memperoleh kemuliaan dengan jalan memalingkan diri dari dunia; seorang ‘abid bisa memperoleh kemuliaan dengan jalan menyelamatkan jiwanya dari mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginan serta segala yang digemari oleh keduanya; seorang murid akan memperoleh kemuliaan dengan jalan zuhud daripada berteman dengan manusia-manusia, dan menyeberang ke pintu al-Maula (Maha Pelindung); seorang ‘arif dapat mencapai memperoleh kemuliaan dengan menekuni keahliannya di maqam munajat; seorang pencinta (al-muhib) dapat memperoleh kemuliaan dengan penyingkapan (kasyaf) kekekalan (baqa’) dan kesirnaan (fana’) dari apa pun selain Allah; dan ahli tauhid dapat memperoleh kemuliaan dengan penyaksian Jalal (Kebesaran) yang hanya bagi-Nya Keindahan (al-Baha’) dan kekekalan (al-Baqa’).

Ketahuilah! Bahwa al-Haq menganugerahkan kemuliaan kepada hamba-hamba-Nya dimulai dari qana’ah (menerima apa adanya), karena semua kehinaan dan kerendahan itu berpangkal di dalam kerakusan (thama’).

Kami ingin mengingatkan kepada Anda kisah seekor burung al-Baazii atau al-‘Uqaab (gagak) yang terbang tinggi di angkasa dengan penuh kemegahan dan kemuliaan sampai di batas pandangan mata. Namun sangat disayangkan, si burung yang susah payah terbang tinggi itu ternyata masih tertarik dengan sepotong daging yang ditaruh oleh anak-anak di bawahnya, di atas tanah, yang sebenarnya hanya umpan (perangkap). Si burung itu pun serta merta turun untuk menyambar daging. Tak dinyana, ia masuk dalam perangkap dan menjadi mainan anak-anak.

Itulah perumpamaan bagi mereka yang rakus. Andaikan bukan kerakusan yang menipu, niscaya orang-orang yang bebas merdeka tidak akan diperbudak oleh sesuatu yang tidak berarti. Tepat kiranya ungkapan yang mengatakan:

Sebaik-baik pakaian yang dipakai putra ibu merdeka adalah, keselamatan dan kemuliaan yang tidak dinodai kerakusan.

Allah Swt pernah mewahyukan kepada Nabi Dawud dengan firman-Nya: “Hendaknya engkau peringatkan kepada sahabat-sahabatmu, agar mereka jangan selalu menuruti syahwatnya. Karena hati yang cenderung pada syahwat dunia, akan terhijab dari syahwat hawa nafsu-Ku”.

Dikisahkan seorang guru tasawuf yang bertamu ke rumah muridnya, dan dijamu dengan menghidangkan sepotong roti tanpa disertai bumbu penyedap rasa roti apa pun. Terlintas dalam pikirannya: “Alangkah baiknya kalau roti ini diberi penyedap rasa roti, sehingga guruku bisa menikmatinya?” Sang guru – yang mempunyai ketajaman visi spiritual – bisa mambaca pikiran muridnya. Segera sang guru berdiri dan mengajak muridnya keluar menuju penjara. Sesampainya di sana, diperlihatkan betapa keadaan orang-orang hukuman yang didera, ada yang dipotong tangannya, dibentang di tiang salib, dan ada pula yang peras badannya. Sang guru itu pun berkata kepada muridnya: “Inilah keadaan orang yang tidak bersabar makan roti tanpa bumbu penyedap rasa”.

Dikisahkan lagi. Ada orang tua berdiri di ambang pintu rumah seorang bangsawan. Orang tua ini heran melihat banyak orang yang sulit menemui bangsawan, sedang di situ ada pelayan yang seenaknya saja keluar masuk tanpa terhalang oleh apa pun. Ia pun bertanya: “Bagaimana asalnya sampai pelayan itu seenaknya saja keluar masuk?” Dijawab: “Pelayan itu sudah kehilangan alat syahwatnya”. Orang itu menimpali: “Maha Suci Allah yang menganugerahkan peringatan kepadaku setelah aku mencapai usia tujuh puluh tahun, dan memberi dorongan padaku bahwa siapa yang berkeinginan datang kepada al-Maula (Maha Pelindung) tanpa hijab, hendaknya meninggalkan syahwatnya”.

Para Syekh berkata: “Seorang hamba yang melihat kehinaan dirinya adalah seorang hamba yang dimuliakan oleh Allah Swt. Sebaliknya, seorang hamba yang mengkhayalkan kalau dirinya adalah seorang yang mulia, ketahuilah, ia adalah hamba yang dihinakan oleh Allah Swt”. Ini sesuai dengan firman-Nya:

Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki (QS. Ali ‘Imran [3]: 26).

Maksud “Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki” adalah bahwa Allah menjadi untukmu, denganmu, bersamamu dan dihadapanmu. Dan makna “Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki” yakni orang yang berada dalam perangkap dirinya dan tertutup oleh segala syahwat dan dipenjara oleh keinginan-keinginan yang tidak kunjung habis, pagi hari terhijab dan petangnya menemui kehampaan. Kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.

<===  To Be Continued  ===>

(23) Asma al-Husna : al-Khaafidh ; (24) Asma al-Husna : al-Raafi'

Asma al-Husna : al-Khaafidh ; Asma al-Husna : al-Raafi'



(23) al-Khaafidh (Yang Merendahkan)     ;   (24) al-Raafi' (Yang Meninggikan)

Al-Khaafidh dan al-Raafi’ di antara nama-nama Allah Swt yang banyak disebut dalam hadis Nabi saw. Keduanya termasuk sifat perbuatan. Allah mengangkat derajat orang yang dikehendaki-Nya, dan merendahkan martabat orang yang dikehendaki-Nya dengan pembalasan siksa-Nya.

Dalam hal ini, siapa yang rela dengan derajat yang ada padanya saat ini meski merasa tidak puas, niscaya Allah akan mengangkat martabat yang dicita-citakannya. Maksudnya, orang harus puas dengan dirinya sekarang ini, dan untuk mencapai derajat yang lebih baik, ia harus berusaha mencapainya. Tentu saja, untuk mencapai ini harus senantiasa menyertakan Allah dalam setiap langkahnya.

Sebuah hikayat menuturkan, ada seseorang melihat manusia yang sedang berdiri di udara, ia lalu bertanya: “Bagaimana Anda bisa mencapai derajat yang demikian, hingga bisa berdiri di udara?” Jawabnya: “Aku jadikan nafsuku di bawah telapak kakiku dan hasilnya adalah udara ini ditundukkan padaku”.

Ketahuilah, bahwa “mengangkat” (al-raf u) dan “merendahkan” (al-khafdhu) di dunia ini hanya metafora (majaazi) belaka, sedangkan dalam persoalan agama – persoalan akhlak dan sifat-sifat batin – adalah hakikat. Oleh karena itu, siapa yang memperbaiki akhlak dan menyucikan jiwanya, niscaya derajatnya akan terangkat. Siapa yang merusak akhlaknya, mengotori jiwanya, dan rela sebagai tawanan hawa nafsunya, niscaya ia akan dijauhkan dari pertolongan dan derajatnya akan direndahkan.

Dengarlah sebuah cerita. Ada seorang wanita, namanya Miskinah, berprofesi sebagai cleaning service mesjid. Pada suatu malam ada orang memimpikan wanita itu, dan ia bertanya kepada Miskinah: “Puaskah kamu dengan kehidupanmu sekarang, Miskinah!” Jawabnya: “Aku bersyukur dengan keadaanku sekarang, karena sudah dijauhkan dari kemiskinan”.

Ketahuilah! Barangsiapa yang di dunia ini merendahkan dirinya demi Allah Swt niscaya Allah akan mengangkat derajatnya kelak di akhirat. Nabi saw bersabda:

Tiada seorang bertawadhu’ karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.

Derajat yang dimaksudkan di sini, jangan dipahami dalam pengertian duniawi, tetapi derajat di akhirat sebagaimana difirmankan-Nya, berupa kenikmatan surga:

Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar (QS. al-Insaan [76]: 20).

Dalam kitab tafsir dijelaskan bahwa yang dimaksud ‘mulkan kabiiraa (kerajaan besar)” adalah sebagaimana kejadian berikut ini:

Pernah terjadi, bahwa Allah mengutus malaikat kepada wali-Nya dengan membawa sepucuk surat dan berpesan kepada malaikat itu: “Sebelum engkau masuk, hendaklah engkau memohon izin pada hamba-Ku, bila hamba-Ku memberi izin, maka masuklah, bila tidak, kembalilah. Malaikat itu baru memperoleh izin setelah melalui tujuh puluh penjaga pintu, lalu masuklah malaikat itu memberikan surat kepadanya. Di sampul surat itu tertulis: “Dari Yang Maha Hidup, tiada mati kepada yang hidup tiada mati”. Lalu surat itu dibuka, di dalamnya didapati tulisan: “Wahai hamba-Ku! Aku telah rindu padamu, hendaklah engkau datang kepada-Ku!” Hamba itu lalu menanyakan kepada malaikat: “Apakah Anda datang bersama Buraq?” Malaikat itu menjawab: “Ya”. Langsung saja wali Allah itu memacu Buraq demi rindu yang terpendam lama -- rindu seorang kekasih --, agar cepat-cepat sampai ke permadani pertemuan. Tetapi kerinduan yang bergejolak rupanya malah mampu mempercepat kecepatan dirinya, sehingga si Buraq tertinggal di belakang.

Perlu kami garis bawahi di sini bahwa orang yang direndahkan martabatnya, kelak di akhirat lebih rendah dari tanah yang selalu diinjaknya setiap hari; tempat ia buang kotoran. Keadaan ini dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat” (QS. al-Kahfi [18]: 105).

<===  To Be Continued  ===>

Rabu, 27 Juni 2012

(21) Asma al-Husna : al-Qaabidh ; (22) Asma al-Husna : al-Baasith



Asma al-Husna : al-Qaabidh ; Asma al-Husna : al-Baasith




(21) al-Qaabidh (Maha Menyempitkan) ; (22) al-Baasith (Maha Melapangkan)

Al-Qaabidh dan al-Baasith merupakan nama-nama Allah yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadis. Keduanya adalah sifat perbuatan Allah Swt yang dapat diartikan Dia yang memegang dan mengendalikan ruh-ruh dari penampakan-penampakannya saat kematian dan saat hidup.

Dapat pula diartikan, bahwa Allah Swt yang memegang dan menerima sedekah-sedekah dari orang kaya, lalu menyalurkan rezeki itu kepada fakir miskin, yakni memberikan atau menghibahkan.

Allah Swt pula yang menggenggam hati (menyempitkan dan menyedihkan) melalui kebodohan dan kelengahan; serta melapangkan hati melalui ilmu dan makrifat.

Perlu diketahui, bahwa “menyempitkan” dan “melapangkan” dalam istilah ahli makrifat adalah berkecamuknya “rasa cemas” dan “harap” dalam hati. Maka orang yang hatinya dihinggapi rasa takut disebut dengan “ahli qabidh” dan barangsiapa yang terbiasa dengan perasaan penuh kelapangan dada disebut “ahli basith”.

Apabila Allah Swt mengungkapkan kepada seorang hamba dengan jalaal-Nya, maka hamba tadi “ disempitkan”, dan kalau mengungkapkan kepada seorang hamba dengan jamaal-Nya, maka hamba tadi “dilapangkan”. Bila Allah Swt mengembalikan seorang hamba pada kodrat manusiawinya, maka hamba tadi “disempitkan” hingga tidak mampu memikul sebutir debu, tetapi Allah Swt mengambil dari seorang hamba sifat-sifat manusiawinya, maka hamba tadi mampu mengangkat segala sesuatu yang dibebankan kepadanya dengan penuh kekuatan dan kesanggupan.

Diceritakan mengenai al-Khawwash yang bersama saya (al-Qusyairi) melakukan pengembaraan. Setelah lama dalam perjalanan, kami berhenti di bawah sebuah pohon, tiba-tiba datang seekor harimau yang langsung bersuara di dekat kami. Karena merasa takut, aku pun naik ke atas pohon dan duduk di cabangnya sambil menanti sampai menjelang pagi hari, tetapi al-Khawwash enak saja tidur sampai pagi tanpa perasaan takut sedikit pun. Pada malam kedua  kami bermalam di masjid, pada saat kami tidur, tiba-tiba al-Khawwash bangun, lalu aku tanyakan apa yang terjadi. Ia mengatakan kalau wajahnya kejatuhan kepinding.

Aku katakan kepadanya: “Ini suatu keajaiban! Malam kemarin Anda nyenyak saja tidur bersebelahan dengan seekor harimau, dan malam ini hanya seekor kepinding Anda berteriak membangunkan diriku?” Jawabnya: “Malam ini aku dikembalikan pada diriku, karena itu aku merasa takut”.

Imam Syafi’i berkata: “Barangsiapa yang telah mengenal Allah Swt, niscaya akan dapat mengangkat langit dan bumi dengan bulu matanya. Barangsiapa yang tidak mengenal Allah, maka andaikan sayap seekor nyamuk bergantung pada dirinya, niscaya ia akan ribut”. Demikian gambaran ia tentang “yang disempitkan dan yang dilapangkan”.

Sufi lain berkata: “Sesungguhnya Allah Swt apabila ‘menyempitkan’, habislah semua daya, dan apabila ‘melapangkan’ tidak ada lagi hajat yang diperlukan”.

Menurut al-Syaikh Abu Ali al-Daqqaq: “Menyempitkan itu adalah hak Allah Swt atas seorang hamba, dan melapangkan itu adalah nasib sang hamba dari karunia Allah Swt”. Dengan demikian, yang lebih sempurna bagi seorang hamba adalah mengutamakan hak Allah Swt atas dirinya daripada mengutamakan nasib dirinya dari karunia-Nya. Layak sekali bagi sang hamba menjauhkan diri dari ‘kejemuan dan kemuakan’ di saat qaabidh-Nya dan konsisten dengan akhlak yang baik di saat baasith-Nya karena kedua persoalan itu mempunyai arti yang amat besar.



Note:

Al-Qaabidh terambil dari akar kata yang makna dasarnya berarti sesuatu yang diambil. Dan keterhimpunan pada sesuatu. Dari sana lahir makna-makna seperti, menahan , menggenggam, menghalangi, kikir, dan menyempitkan.—penerj.

Al-Baasith, terambil dari akar kata yang makna dasarnya adalah keterhamparan; kemudian dari makna ini lahir makna-makna lain seperti memperluas, melapangkan.—penerj.

<===  To Be Continued  ===>

(20) Asma al-Husna : al-'Aliim



Asma al-Husna : al-'Aliim





(20) al-'Aliim (Yang Maha Mengetahui atau Sumber Ilmu)

Al-‘Aalim, al-‘Aliim, dan al-‘Allaam, termasuk nama-nama Allah Swt yang termaktub dalam al-Qur’an. Kata yang digunakan sebagai asma-Nya ini harus diperhatikan benar-benar. Kita tidak diperkenankan memakai atau menyebut nama untuk-Nya kecuali yang telah disebutkan dalam al-Qur’an, Hadis Nabi atau yang telah disepakati oleh ahli-ahli Islam (ijma’). Karena itu kita tidak boleh menyebut Allah dengan nama ‘Aarif (Maha Arif), ‘Aaqila (Yang Berakal), atau Fathanaa (Yang Cerdas).

Barangsiapa telah meyakini bahwa Dia Yang Maha Mengetahui atau Sumber Ilmu, maka atas dasar ilmu-Nya, seseorang akan menerima segala hukum atau keputusan yang berlaku pada dirinya dengan rela, merasa senang dan tenteram atas sesuatu yang menimpa dirinya.

Kami ingin memberi ilustrasi ketika Malaikat Jibril berhadapan dengan Nabi Ibrahim yang sedang berada di udara karena dilepas dari alat pelontar menuju ke sasaran api pembakaran. Pada saat itu terjadi dialog di antara mereka berdua:

Jibril                : “Apakah engkau perlu sesuatu?”
Ibrahim            : “Kalau kepadamu tidak”.
Jibril                : “Kalau begitu, mohonlah kepada Allah?”
Ibrahim            : “Cukup bagi ilmu-Nya tentang keadaan diriku”.

Seorang arif pernah ditanya: “Apakah seorang hamba diharuskan menuntut rezekinya?” Jawabnnya: “Kalau memang hamba itu mengetahui di mana letak  rezekinya, bolehlah ia menuntut”. Kemudian ditanya lagi: “Apakah ia harus memohon rezekinya kepada Allah Swt?” Jawab si arif: “Bila ia mengetahui bahwa Allah Swt melupakannya, maka hendaklah ia memperingatkan-Nya”.

Bagi mereka yang sudah mengenal bahwa Allah Swt itu Maha Mengetahui atas segala sesuatu, sekalipun terlintas di hatinya bisikan yang meragukan, hendaknya merasa malu (hayaa’) kepada-Nya; menghentikan semua maksiat, tidak pernah letih memohon sitr ( hijab)-Nya; takut akan penaklukan-Nya yang datangnya secara mendadak dan takut pula pada makar-Nya. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:

Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Dia bersama mereka (QS. al-Nissa’ [4]: 108).

Dalam al-Kitab al-Samawiyah dikatakan: “Jika kalian tidak mengetahui bahwa Aku melihat kalian, maka kerusakan itu berada dalam iman kalian; dan jika kalian telah mengetahui bahwa sesungguhnya Aku melihat kalian, maka janganlah menjadikan Aku serendah-rendah yang melihat kalian”.

Mereka yang telah “ber-maqam” di sisi Allah, jika hatinya sewenang-wenang kepada makhluk-Nya, jelas akan dibalas seketika itu juga. Seorang di antara mereka menceritakan pengalamannya:

Pada waktu aku merasa sangat lapar, dan aku ceritakan pada kawan-kawanku, tak seorang pun di antara mereka yang merespons apalagi memberi makanan. Aku pun pergi, dan di tengah jalan aku menemukan uang satu dirham. Uang itu kuambil dan terbaca tulisan: “Tidakkah Allah Swt mengetahui tentang laparmu, mengapa engkau meminta kepada selain-Nya?”

Abu Sa’id al-Kharraz bercerita tentang kejadian yang pernah dialaminya: “Setelah aku melintasi padang pasir, tibalah aku di kota Kufah dalam keadaan lapar. Teringat oleh seorang teman bernama al-Jarari yang biasa kutemui kalau aku sedang berada di kota Kufah. Aku langsung menuju kedainya, tetapi tidak bertemu dengannya, karena kebetulan ia sedang keluar. Kebetulan di dekat kedainya ada sebuah surau, aku masuk sambil mengucapkan:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang bertawakal.

Aku pun duduk menanti kedatangan al-Jarari. Tiba-tiba ada orang masuk ke surau dengan mengucapkan:

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam; Maha Suci Allah yang mengosongkan bumi dari orang-orang yang bertawakal, dan salam sejahtera atas kami dan semua para pendusta.

Wahai Abu Sa’id yang mengaku bertawakal! Tawakal itu apabila engkau berada di gurun pasir atau di bukit pegunungan, dan bukan berada dalam kota sambil menanti kedatangan al-Jarari. Aku mencari-cari siapa yang berkata demikian. Namun tak seorang pun kutemukan.

Demikianlah sunnah Allah Swt berlaku atas orang-prang tertentu dari para hamba-Nya. Yaitu tidak membiarkan kelengahanya walaupun sekejab. Tidak ada maaf  walaupun hanya sesaat. Tetap dituntut baik banyak atau sedikit. Diperhitungkan sekalipun remeh. Namun, bagi orang yang bermartabat agak rendah dan nilainya serba kurang, maka sunnah Allah ini tidak berlaku. Bahkan mereka dibiarkan terperdaya dalam kelalaiannya. Adapun mereka yang sangat lengah, menyombongkan diri dan berkeliaran tidak tentu arah, mereka itulah yang sewaktu-waktu secara mendadak akan disekap tanpa dirasakan. Kami berlindung kepada Allah atas makar-Nya.

<===  To Be Continued  ===>

(19) Asma al-Husna : al-Fattaah


Asma al-Husna : al-Fattaah





(19) al-Fattaah (Yang Maha Pembuka)

Al-Faatih dan al-Fattaah adalah nama Allah yang tercantum dalam al-Qur’an. Al-Fattaah merupakan bentuk mubalaghah dari al-Faatih. Al-Fattaah bermakna ‘yang memutuskan’ dan ‘yang menghakimi’, karena dengan keputusan-Nya, Dia membuka apa yang tertutup akibat permusuhan atau persengketaan.

Allah Swt Maha Kuasa membuka pintu-pintu rezeki yang tidak dapat dibuka oleh kerja keras makhluk-makhluk-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

Kami telah membukakan bagi mereka pintu-pintu segala sesuatu (QS. al-An’Am [6]: 44).

Dengan demikian, barangsiapa telah mengenal bahwa Dia adalah Maha Pembuka pintu-pintu dan sebab-sebab, niscaya ia tidak akan menggantungkan pemikirannya kepada selain-Nya; senantiasa hidup bersama-Nya; tidak akan pernah menyerahkan hatinya kepada selain-Nya; tabah menghadapi segala ujian malapetaka yang menimpa serta penuh pengharapan dan kepercayaan kepada-Nya. Sebagaimana Nabi Yakub – salam sejahtera atasnya—yang menasehati anak-anaknya disebabkan ketegangan yang berkepanjangan, dan ketika putra-putranya kembali selalu dengan tangan hampa:

Hai anak-anakku, pergilah kamu, kemudian carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya; dan jangan kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir (QS. Yusuf [12]: 87).

Di antara fakir miskin di kota Mekkah ada yang kebiasaanya mengerjakan tawaf lama sekali, kemudian berdiri di samping Ka’bah dan mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku bajunya kemudian memandangnya lama sekali. Suatu ketika setelah ia melakukan kebiasaanya itu, ia pun pergi agak menjauh dan meninggal dunia. Orang yang biasanya menyaksikan perbuatan si miskin tadi, tanpa disengaja menemukan secarik kertas dari saku baju mayatnya yang bertuliskan:

Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu berada dalam pengawasan Kami (QS. al-Thuur [52]: 48).

Ternyata orang yang mati itu adalah seorang yang ditimpa kemiskinan yang selalu bersabar diri dan tidak pernah menceritakan apa yang dideritanya kepada siapa pun sampai ia menghadap Tuhannya.

Dalam hal ini, bagi mereka yang telah mengenal-Nya bahwa Dialah al-Fattaah, maka keharusan baginya untuk bersabar diri dalam menanti, karena ke-Lathiifan-Nya senantiasa memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan hamba-Nya. Konsisten dalam kesabaran akan memperoleh kemurahan-Nya, sehingga ia tidak terburu-buru menantikan keputusan-Nya. Ia sadar sepenuhnya bahwa apa yang sudah menjadi keputusan-Nya sekali-kali tidak dapat diundur ataupun dimajukan.
Dikisahkan seorang muazin (tukang azan, pemanggil salat) di mesjid Sayyidina Ali dan seorang pelayan perempuan (jaaryah) Sayyidina Ali. Pekerjaan rutinnya mengambil air di sumur. Dua insan berlainan jenis ini, setiap hari bertemu, dan si muazin selalu berkata “Innii ahabbuka” (sesungguhnya aku cinta kamu) kepada si pelayan tadi.

Rupanya ada yang melaporkan kejadian ini kepada Ali. Lalu memanggil jaariyah-nya dan mengajarkan jawaban kepadanya. Katakan padanya “wa ana aidhan ahabbuka…famaa ba’da hadzaa” (Aku juga mencintaimu…lalu apa yang terjadi setelah ini?) Ketika besok harinya jaariyah itu bertemu muazin dan ia mengatakan: “Aku mencintaimu”. Jaariyah itu pun menjawab: “Aku juga mencintaimu…lalu apa yang terjadi setelah ini”. Si Muazin itu pun menimpali: “Ba’da hadzaa nashburu hatta yahkumallaahu bainanaa” (Setelah ini kita bersabar hingga Allah memutuskan antara kita). Jawaban si Muazin tadi disampaikan si jaariyah kepada tuannya, Sayyidina Ali; kemudian Ali pun berkata: “Segera panggil dia!”

Setibanya di depan Ali. Si Muazin diinterogasi kecil mengenai fakta “cinta” yang sebenarnya. Kemudian Ali pun berkata: “Bawalah jaariyah ini ke rumahmu sebagai sahayamu; sesungguhnya Allah telah memutuskan hukum-Nya antara kamu berdua”.

<===  To Be Continued  ===>

(18) Asma al-Husna : al-Razaaq


Asma al-Husna :  al-Razaaq




(18)  al-Razaaq (Maha Pemberi Rezeki)

Al-Razzaaq merupakan muballaghah (menyatakan berlebih-lebihan) dari al-Raaziq. Dialah pemberi rezeki, yakni segala sesuatu yang dapat memberi manfaat pada zatnya; juga dapat diartikan apa saja yang tersedia dan siap untuk dimanfaatkan.

Pernah ditanyakan kepada seorang sufi: “Dari mana Anda memperoleh makanan?” Jawabnya: “Semenjak aku mengenal Penciptaku, tidak pernah aku ragu dengan rezeki-Nya”.

Seseorang bertanya kepada Hatim al-Asham: “Dari mana Anda memperoleh makanan?” Ia menjawab: “Cukuplah kiranya bagi pengetahuan Anda, bahwa roti itu tiba dari langit”. Ada lagi yang menanyakan tentang makanan, lalu dijawab: “Dari Khazanah Paduka Raja yang tidak dapat dimasuki pencuri-pencuri dan tidak pula dimakan oleh rayap”.

Ketahuilah! Jika Allah Swt mengkhususkan bagi orang-orang kaya berbagai bentuk rezeki, dan mengkhususkan bagi fakir miskin dengan penyaksian Maha Pemberi Rezeki. Maka siapa yang memperoleh kebahagiaan dengan penyaksian al-Razzaaq, niscaya tidak satu pun dapat mencelakakan dirinya dari hal rezeki. Barangsiapa sudah mengenal bahwa Dialah al-Razzaaq, niscaya akan mengembalikan segalanya kepada Allah, baik banyak maupun sedikit yang bisa diperoleh. Karena ia sudah mengetahui bahwa tidak ada bagi-Nya sekutu dalam pemberian sebagaimana ketiadaan sekutu dalam penciptaan.

Dikisahkan bahwa Nabi Musa as, berkata dalam munajatnya: “Ilahi! Adakalanya aku dihadang oleh kebutuhan yang tidak berarti; apakah yang demikian itu aku mintakan juga kepada-Mu atau kepada selain-Mu?” Tuhan pun menjawab: “Jangan sekali-kali engkau memohon kepada selain-Ku, walaupun garam untuk adonan tepung atau rumput makanan ternakmu”. Setelah itu Nabi Musa selalu meminta baik yang banyak maupun yang sedikit, bahkan permohonan berupa:

Ya Tuhanku! Tampakkanlah diri-Mu agar aku dapat melihat-Mu (QS. al-A’raaf [7]: 143).

Atau dalam ayat yang lain:

Ya Tuhan! Sesungguhnya aku memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku (QS. al-Qashash [28]: 24).

Diceritakan bahwa al-Syibli telah menulis surat yang ditujukan kepada hartawan. Isinya: “Hendaknya Anda kirimkan kepada kami sebagian dari harta kekayaan duniamu”. Para hartawan itu menjawab: “Hendaklah engkau minta kepada Maulamu (pelindungmu)”. Al-Syibli membalas jawaban hartawan itu: “Dunia ini hina, engkau pun hina pula; memang sudah sepantasnya kalau  yang hina aku minta dari yang hina, dan aku tidak memohon dari maula selain maula-Nya”.

Ketahuilah bahwa Allah Swt menganugerahi rezeki kepada para arwah, juga kepada sir-sir, sebagaimana Dia menganugerahkan kepada bayangan-bayangan dan segala yang lahir. Sedangkan rezeki itu ada yang merupakan makrifat, ada pula yang merupakan ungkapan. Dia pula yang berkenan melapangkan dan menyempitkan rezeki bagi suatu kaum dan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya tanpa sebab, sebagaimana halnya rezeki tubuh.

<===  To Be Continued  ===>

Selasa, 26 Juni 2012

(17) Asma al-Husna : al-Wahhaab

Asma al-Husna : al-Wahhaab





(17) al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi)

Termasuk juga nama-nama-Nya adalah al-Waahib dan al-Wahhaab. Al-Waahib artinya memberi, sedang al-Wahhaab adalah yang sangat pemberi, dan ini termasuk sifat perbuatan.

Kelembutan pemberian dan karunia allah Swt itu sangatlah banyak. Dia memberi sebelum diminta, dan melimpahkan ketentuan kemurahan dan karunia-Nya.

Nabi Musa pernah berkata, “Ya Tuhan! Sesungguhnya aku melihat dalam Taurat ada suatu umat yang di rongga dada mereka terdapat lampu-lampu yang menyala; siapakah mereka itu?” Allah berfirman: “Mereka itu umat Muhammad”.

Setiap Nabi Musa menghitung-hitung sifat mereka yang tersebut dalam Taurat, Allah menjawab dengan firman-Nya bahwa mereka itu adalah umat Muhammad. Hal ini menyebabkan Musa merasa rindu untuk berjumpa dengan mereka, dan Allah Swt menjawab: “Sesungguhnya engkau (Musa) tidak mungkin dapat berjumpa mereka, tetapi bila engkau mau, niscaya Aku perdengarkan padamu suara-suara mereka”. Kemudian Allah menyeru kepada umat Muhammad, sedangkan mereka masih berada di sulbi-sulbi bapak mereka.

Mereka menyahut: “Labbaik, ya Tuhan kami!” Allah pun melanjutkan firman-Nya: “Hai umat Muhammad! Aku telah menganugerahi kalian dengan pemberian-pemberian sebelum kalian memohon kepada-Ku, dan Aku telah mengampuni sebelum kalian memohon ampun kepada-Ku”.

Diceritakan, al-Syibli pernah bertanya kepada rekannya, Abu ‘Ali al-Tsiqafi: “Nama yang manakah dari nama-nama-Nya Swt yang amat sering terucap oleh lisan Anda?” Rekan itu menjawab: “Nama al-Wahhaab”. Mendengar jawaban rekannya itu al-Syibli berkomentar: “Pantas saja harta kekayaanya melimpah”.

Di kalangan sufi ada yang berbagi pengalaman bahwa ia pernah melihat orang tua dari pegunungan [Baduwi], sedang ber-thawaf dengan telanjang sambil bersyair:

Tidak malukah Engkau wahai Pencipta semua makhluk,
Aku datang kepada-Mu dalam keadaan telanjang,
Sedang Engkau Maha Dermawan.
Seluruh anak babi Engkau beri rezeki,
Namun, Engkau tinggalkan aku
Orang tua yang bapaknya Tamim.

Baduwi tua itu kutegur: “Pantaskah engkau menegur Allah dengan kata-kata demikian?” Baduwi itu pun menimpali: “Engkau tahu apa, jauhlah dari sini! Aku lebih mengenal-Nya daripada kamu”. Tidak lama setelah itu, datang seorang memakai jubah Khuz (jubah yang terbuat dari sutera dan bulu) dengan gagah. Baduwi itu menghampiriku dan mengatakan: “Bukankah sudah kukatakan tadi, bahwa aku lebih mengenal-Nya daripada kamu? Lihat! Aku telah mencela-Nya, maka langsung saja Dia menganugerahi jubah Khuz padaku”.

Karena itu, pantaslah bagi mereka yang sudah mengenal-Nya bahwa Dialah al-Wahhaab, tidak akan pernah mengadukam keperluannya selain hanya kepada-Nya, dan tidak akan menyerah diri kecuali kepada-Nya.

<===  To Be Continued  ===>

(16) Asma al-Husna : al-Qahhaar


Asma al-Husna : al-Qahhaar




(16) al-Qahhaar (Yang Maha Mengalahkan)

Dalam al-Qur’an dijumpai dua nama Allah Swt, al-Qaahir dan al-Qahhaar. Al-Qahhaar adalah sifat zat dan sifat perbuatan yang melebihi al-Qaahir. Al-Qaahir adalah kemauan-Nya yang dapat terlaksana terhadap para makhluk baik mereka menerima ataupun menolaknya, rela ataupun benci.

Ketahuilah bahwa Allah Swt telah menaklukkan jiwa para ‘abid (ahli ibadah) dengan perasaan takut akan siksa-Nya; hati para ‘arif ditaklukkan dengan kekuatan qurbat (kedekatan)-Nya; dan ruh para pencinta dengan penyingkapan hakikat-Nya. Sehingga bagi tiga tingkatan ini akan tampak bahwa: para ‘abid tidak berjiwa karena keabsolutan kekuasaan perbuatan-Nya atas dirinya; para ‘arif kehilangan hati karena keabsolutan kehadiran-Nya atas dirinya; dan ruh para pencinta kehilangan ruh karena keabsolutan penyingkapan Jamal dan Jalal-Nya.

Ketahuilah, Allah Swt telah menaklukkan seluruh hamba-Nya dengan kematian (al-maut). Tidak satu pun dari makhluk-makhluk-Nya yang terhindar dari kematian, baik Malaikat Muqarrab (Malaikat yang paling dekat dengan Allah) maupun para nabi yang menjadi utusan-Nya. Keperkasaan dan kekuatan mereka tidak berdaya sama sekali di hadapan-Nya.

Hal yang sama, Allah Swt juga akan mematikan Malaikat Maut (Izrail) dan memberikan kedahsyatan rasa mati padanya. Sehingga ketika ruh Malaikat Maut ini dicabutnya sendiri – karena dialah makhluk Allah yang terakhir – ia pun akan berkata: “Demi keperkasaan-Mu! Andaikan aku tahu betapa dahsyatnya sakitnya kematian, tentu aku enggan mencabut ruh seorang pun”. Ini juga merupakan makna al-Qahr (penaklukkan) Allah Swt. Karena itu ketika Dia sudah mencabut ruh semua makhluk, Dia pun berseru: “Milik sapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa” (QS. al-Mu’min / al-Ghaffir [40]: 16).

<===  To Be Continued  ===>

Senin, 25 Juni 2012

(15) Asma al-Husna : al-Ghaffaar


Asma al-Husna :  al-Ghaffaar





(15) al-Ghaffaar (Yang Maha Pengampun)

Dari nama-nama-Nya, al-Ghaafir berarti mengampuni. Sedangkan al-Ghafuur dan al-Ghaffaar berarti mengampuni dalam pengertian yang lebih mendalam lagi. Namun ketiganya, yang lebih tepat adalah al-Ghaffaar, yang berasal dari kata al-Ghafr, yang berarti ‘selubung atau tutup’.

Adapun maghfirah dari Allah Swt adalah penutupan atas dosa-dosa dan pemaafan-Nya dengan anugerah rahmat-Nya, bukan karena tobat si hamba atau ketaatannya. Ini harus benar-benar dipahami. Dalam sebuah Hadis disebutkan:

“Hamba-Ku! Andaikan engkau datang kepada-Ku dengan dosa sebanyak tanah di bumi, Kusambut kedatanganmu dengan ampunan sebanyak itu pula, asalkan engkau tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun”.

Dalam khabar musnad dikisahkan, ada seorang sedang disuruh masuk ke neraka. Setelah orang itu sampai pada jarak sepertiga perjalanan, ia menoleh, kemudian melanjutkan perjalanannya. Sesampai di pertengahan perjalanan ia menoleh lagi, dan setelah sampai pada jarak dua pertiga perjalanan, ia menoleh. Kemudian Allah berfirman: “Bawa kembali orang itu ke sini!” Lalu Allah bertanya kepadanya: “Mengapa kamu menoleh sampai tiga kali?” si hamba tadi menjawab: “Setelah hamba sampai di sepertiga perjalanan, hamba teringat akan firman-Mu: ‘Dan Tuhanmulah Yang Maha Pengampun lagi mempunyai rahmat’ (QS. al-Kahfi [18]: 58). Karena teringat akan firman-Mu inilah, hamba menoleh dengan penuh harapan akan ampunan dan rahmat-Mu”.

“Ketika hamba berada separoh perjalanan, hamba teringat lagi firman-Mu, ‘Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah’ (QS. Ali ‘Imran [3]: 135). Dengan firman-Mu ini semakin bertambah harapan hamba, sehingga hamba pun menoleh untuk yang kedua. Dan ketika berada di dua pertiga perjalanan terakhir, hamba ingat firman-Mu, ‘Katakan: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas atas diri mereka sendiri, janganlah kamu putus asa dari rahmat Allah’ (QS. al-Zumar [39]: 53). Sehingga semakin mantaplah harapan hamba akan ampunan dan rahmat-Mu”.

Mendengar pengakuan hamba-Nya ini, Allah pun berfirman, “Pergilah engkau! Sesungguhnya Aku sudah  mengampunimu’.

Di ayat yang lain Allah juga berfirman:

Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan atau menganiaya dirinya sendiri, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Nisaa’ [4]: 110).

Ayat di atas mengisyaratkan keterkabulan tobat para orang tua yang sudah menghabiskan umur dan masa mudanya dalam kesalahan dan dosa. Kemudian mereka bertobat sebelum kematiannya. Karena kata tsumma (kemudian) dalam ayat di atas berarti “al-taraakhii” (penguluran, perpanjangan waktu) dan juga terkandung ke-lathiif-an lainnya. Yaitu, melakukan maksiat kepada-Nya dengan perbuatan, kemudian menaaati-Nya dengan ucapan lisan, maka Allah rela dengan hal itu. Dan ada ke-lathiif-an lain, yaitu permohonan ampunan, sehingga engkau dapati Allah berfirman: “Kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. al-Nisaa [4]: 110).

Bukanlah hal aneh, jika seorang musafir yang mencari air mendapatkan Yusuf dalam sumur, tetapi yang lebih aneh adalah seorang hamba yang bermaksiat, lalu memohon ampun, dan ia mendapatkan Allah (mengampuninya).

Ada seorang laki-laki yang selalu mengucapkan: “Tuhanku! Tuhanku! Aku terlambat!”; lalu ia memperoleh jawaban dari hatinya yang mengatakan: “Tidak! Engkau tidak terlambat! Yang terlambat itu adalah meraka yang sudah meninggal dunia dan belum bertobat”.

Dalam sebuah Hadis yang bersumber dari Sa’id al Khudri, Nabi saw. Mengisahkan kisah tobatnya seorang pembunuh 100 orang manusia.

Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri r.a katanya, Nabi s.a.w bersabda: “Seorang laki-laki dari kalangan umat sebelum kamu telah membunuh sebanyak sembilan puluh sembilan orang manusia, lalu ia mencari seseorang yang paling alim. Setelah ditunjukkan kepadanya seorang pendeta, ia terus berjumpa pendeta tersebut kemudian berkata: Aku telah membunuh sembilan puluh sembilan orang manusia, adakah tobatku masih diterima? Pendeta tersebut menjawab: Tidak. Mendengar jawaban itu, ia terus membunuh pendeta tersebut dan genaplah seratus orang manusia yang telah dibunuhnya. Tanpa putus asa ia mencari lagi seseorang yang paling alim. Setelah ditunjukkan kepadanya seorang Ulama, ia kemudian berjumpa Ulama tersebut dan berkata: Aku membunuh seratus orang manusia. Adakah tobatku masih diterima? Ulama tersebut menjawab: Ya! Siapakah yang boleh menghalangi kamu dari bertobat? Pergilah ke Negeri si Fulan, karena di sana ramai orang yang beribadat kepada Allah. Kamu beribadatlah kepada Allah Swt bersama mereka dan jangan pulang ke negerimu karena negerimu adalah negeri yang sangat hina. Laki-laki tersebut bergerak menuju ke tempat yang dijelaskan sang ulama tadi. Ketika berada di pertengahan jalan tiba-tiba dia mati, menyebabkan Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab berselisih mengenainya. Malaikat Rahmat berkata: Dia datang dalam keadaan bertobat dan menghadapkan hatinya kepada Allah Swt. Sementara Malaikat Azab berkata pula: Ia tidak pernah melakukan kebaikan. Lalu Malaikat yang lain datang dalam keadaan berupa manusia dan mencoba menghakimi mereka sambil berkata: Ukurlah jarak di antara dua tempat. Mana yang lebih dekat, itulah tempatnya. Lantas mereka mengukurnya. Ternyata mereka dapati laki-laki tersebut lebih dekat kepada negeri yang ditujunya. Akhirnya ia diambil oleh Malaikat Rahmat" (HR. Bukhari da Muslim).

<===  To Be Continued  ===>

(14) Asma al-Husna : al-Mushawwir


 Asma al-Husna : al-Mushawwir



(14) al-Mushawwir (Maha Pembentuk)

Al-Tashwiir adalah menjadikan sesuatu berbentuk. Allah Maha Pencipta memberi rupa dan bentuk pada hamba-Nya, yang sebelumnya tidak layak disebut sebagaimana ia dinamakan. Di sini, semestinya manusia tidak layak membanggakan diri dengan keadaan yang ada padanya; juga tidak menepuk dada karena amal perbuatan yang dilakukannya.

Bagaimana manusia bisa berbangga diri berdasarkan asal-usulnya, sementara dirinya sendiri sebenarnya masih bermasalah. Mengapa tidak membiasakan diri ber-tawadhu’ (rendah hati)? Bukankah kita ini sama asal-usulnya? Dari setetes sperma dan pada akhirnya sama-sama menjadi bangkai (jiifah)?

Kalau saja  manusia mau memandang dirinya sebagai makhluk yang serba kekurangan, niscaya ia akan mengenal Jalaal (Keagungan Allah), sebagaimana firman-Nya:

Dan dalam dirimu, apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. Al-Dzaariyaat [51]: 21).

Juga firman-Nya:

Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri (QS. Al-Qiyaamah [75]: 14).

Oleh karena itu, hendaklah setiap manusia itu merenungkan dalam-dalam: bagaimana Allah Swt menghiasi anggota tubuhnya yang tampak indah; bagaimana Allah menutupi kejelekan-kejelekan perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini, yang kelak ketika di Hari Pengadilan Allah bias saja membeberkan apa yang pernah dilakukannya. Atau, Dia bisa saja mengampuninya.

Di kalangan sufi memberikan komentar mengenai firman Allah:

Dan di bumi ini terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin; Dan (juga) dalam dirimu, apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. al-Dzaariyaat [51]: 20-21).

Di sini Allah mengungkapkan kebaikan budi pekerti itu bagaikan bumi, meskipun yang dilemparkan kepada bumi itu benda-benda yang buruk dan busuk. Namun bumi tetap saja menumbuhkan aneka ragam tumbuh-tumbuhan yang sedap dipandang mata, indah, dan menebar wangi. Nah, seharusnya seorang mukmin bisa mencontoh bumi; ia menelan apa pun yang menjengkelkan, tidak mendendam, dan tidak berusaha membalas perlakuan orang lain yang menyakitkan itu.

Dikisahkan, ada seorang teman menyakiti hati temannya dengan kata-kata pedas dan menusuk hati. Teman itu hanya diam dan  mendengarkan saja. Namun ia tetap saja mengoceh, hatinya panas, dada terasa sesak. Saking jengkelnya, ia mengeluarkan kata-kata: “Goblok, kata-kataku ini kutujukan padamu!” Tetapi dengan tenang teman yang diomeli tadi menjawab: “Padamu kawan! Aku harus berlapang dada dan berkepala dingin”.

Marilah kita simak baik-baik firman Allah di ayat lain:

Dan (Dia) membentuk kamu lalu memperindah rupamu (QS. al-Mu’min [40]: 64).

Perhatikanlah! Allah tidak mengatakan kepada makhluk-Nya yang lain dengan kata-kata “memperindah rupamu”, melainkan hanya kepada manusia demi memuliakannya.

Kemudian diperkuat-Nya lagi dengan firman-Nya:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. al-Tiin [95]: 4).

Ayat ini hanya ditujukan kepada manusia, bukan kepada yang lainnya.

Disebutkan dalam atsaar yang bisa menjadi renungan kita bersama:

  • Allah Swt telah menciptakan Malaikat Jibril dengan enam ratus sayap. Semuanya bersepuh permata dari yaqut dan mutiara, dihiasi gantungan genta (lonceng) dari emas yang bisa mengeluarkan suara. Di dalam lonceng itu berisi wangi-wangian dari misik dan ambar; setiap lonceng mempunyai suara yang berbeda satu dengan yang lain.
  • Bila Malaikat Israfil – salam sejahtera atasnya—bertasbih, bisa menggagalkan  tasbih semua malaikat, karena keindahan, kemerduan, dan alunan iramanya yang indah dan mempesona.
  • Cahaya matahari tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan cahaya Arasy, seperti perbandingan antara cahaya lampu dengan cahaya matahari.

Kendati begitu, kepada ciptaan-ciptaan-Nya tersebut, Allah Swt tidak menganugerahkan sebagaimana yang diberikannya kepada manusia seperti difirmankan-Nya dalam dua ayat di atas (QS. al-Mu’min [40]: 64 dan al-Tiin [95]: 4).

Sekarang kita melangkah lebih jauh, kita tidak lagi berbicara bentuk dan rupa, tetapi ada hal lain yang lebih urgen, sebagaimana firman-Nya:

Dia (Allah) mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya (QS. al-Ma’idah [5]: 54).

Apakah sifat ini juga diberikan kepada makhluk lain selain keturunan Adam? Ternyata tidak. Selain keindahan rupa seperti tampak dari mata lahir, ada potensi lain yang diberikan Allah, dan itu yang lebih utama. Yakni keindahan dan kesempurnaan akhlak. Meskipun demikian, tidak semua manusia bisa menampilkan keindahan dan kesempurnaan akhlaknya. Terjadi perbedaan yang mencolok antara satu dengan yang lainnya. Akhlak orang awam tentu akan berbeda dengan akhlak orang-orang pilihan.

Di antara orang-orang pilihan itu adalah Nabi Muhammad saw di mana keindahan dan keluhuran akhlaknya digambarkan dengan indah oleh Allah:

Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berakhlak yang agung (QS. al-Qalam [68]: 4).

Diceritakan, ada seorang ningrat (bangsawan) bertanya kepada kawannya semeja tentang sejahat-jahatnya sesuatu. Di antara mereka ada yang menjawab ‘perempuan yang jahat’. Yang lainnya berpendapat ‘orang yang berakhlak buruk’. Yang lainnya lagi mengatakan ‘tetangga yang berakhlak buruk’ yang paling jahat. Karena ada tiga pendapat yang berlainan, mereka sepakat untuk menyerahkan ‘pendapat mana yang benar’ kepada orang yang pertama kali mereka temui ketika mereka jalan-jalan ke kota. Di tengah perjalanan, mereka bertemu orang awam yang biasa-biasa saja dan orang itu sedang berjalan di samping seekor keledai yang dituntunnya. Kepadanya diajukan tiga pertanyaan di atas. Orang itu pun memberi jawaban bahwa ‘yang paling jahat dari tiga pertanyaan tadi adalah akhlak yang buruk’. Kalau perempuan jahat, kita masih bisa menyelamatkannya dengan jalan menceraikannya; kalau tetangga yang jahat, kita bisa pindah rumah; sedangkan bila akhlak yang buruk bagaimana kita bisa menghindar, karena ke mana pun kita pergi, ia akan mengikuti. Ternyata jawaban orang awam inilah yang bisa memuaskan hati bangsawan tadi.
  
<===  To Be Continued  ===>

(13) Asma al-Husna : al-Baarii


Asma al-Husna : al-Baarii



(13) al-Baarii (Yang Maha Mengadakan)

Sekilas, asma Allah al-Baarii searti dengan al-Khaaliq (Yang Maha Pencipta), seperti dalam kalimat bara’a al-khalqa (telah mengadakan makhluk), artinya menciptakan mereka. Secara kebahasaan al-bariyyah itu adalah al-khalqa (makhluq/ciptaan). Kata al-bariyyah merupakan kata jadian (mustaq) dari al-bara, artinya ‘tanah”, namun orang Arab menanggalkan huruf hamzahnya. Juga, apa pun yang berpautan dengan al-Khaaliq, tersebut pula dalam al-Baadii. Sehingga untuk mengetahui dan mengenal asma Allah al-Baarii, Anda bias membaca lagi dalam al-Khaaliq (cetak miring dari penerj.).

Note:

Al-Qusyairi menyamakan al-Baarii dengan al-Khaaliq, meskipun sebenarnya keduanya ada perbedaan yang cukup mendasar. Al-Baari diambil dari akar kata al-bar-u yang berarti memisahkan sesuatu dari sesuatu. Orang Arab terbiasa mengucapkan kata “bara’tumin al-maraadh” (“aku telah dipisahkan [disembuhkan] dari penyakit”). Di lain pihak, dari akar kata ini muncul istilah barii’un, yang biasa digunakan bagi mereka yang terlepas atau dipisahkan dari sebagai tersangka. Apabila satu ciptaan dipisahkan sebagian dari sebagian lainnya maka pelakunya dinamai baari’. Setiap yang diciptakan dalam bentuk tertentu, pasti didahului oleh pengukuran, tidak sebaliknya, karena yang diukur belum tentu dibentuk secara tertentu. Pengukuran ini diisyaratkan oleh al-Khaaliq, sedangkan untuk penyempurnaannya diisyaratkan oleh al-Baarii – penerj.

<===  To Be Continued  ===>

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...