Asma al-Husna : al-Fattaah
(19) al-Fattaah (Yang Maha Pembuka)
Al-Faatih dan al-Fattaah adalah nama Allah
yang tercantum dalam al-Qur’an. Al-Fattaah merupakan bentuk mubalaghah
dari al-Faatih. Al-Fattaah bermakna ‘yang memutuskan’ dan ‘yang
menghakimi’, karena dengan keputusan-Nya, Dia membuka apa yang tertutup akibat
permusuhan atau persengketaan.
Allah Swt Maha Kuasa membuka pintu-pintu rezeki yang tidak
dapat dibuka oleh kerja keras makhluk-makhluk-Nya. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman:
Kami telah membukakan bagi mereka pintu-pintu segala
sesuatu (QS. al-An’Am [6]: 44).
Dengan demikian, barangsiapa telah mengenal bahwa Dia adalah
Maha Pembuka pintu-pintu dan sebab-sebab, niscaya ia tidak akan menggantungkan
pemikirannya kepada selain-Nya; senantiasa hidup bersama-Nya; tidak akan pernah
menyerahkan hatinya kepada selain-Nya; tabah menghadapi segala ujian malapetaka
yang menimpa serta penuh pengharapan dan kepercayaan kepada-Nya. Sebagaimana
Nabi Yakub – salam sejahtera atasnya—yang menasehati anak-anaknya disebabkan
ketegangan yang berkepanjangan, dan ketika putra-putranya kembali selalu dengan
tangan hampa:
Hai anak-anakku, pergilah kamu, kemudian carilah berita
tentang Yusuf dan saudaranya; dan jangan kalian berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir
(QS. Yusuf [12]: 87).
Di antara fakir miskin di kota Mekkah ada yang kebiasaanya mengerjakan
tawaf lama sekali, kemudian berdiri di samping Ka’bah dan mengeluarkan secarik
kertas dari dalam saku bajunya kemudian memandangnya lama sekali. Suatu ketika
setelah ia melakukan kebiasaanya itu, ia pun pergi agak menjauh dan meninggal
dunia. Orang yang biasanya menyaksikan perbuatan si miskin tadi, tanpa
disengaja menemukan secarik kertas dari saku baju mayatnya yang bertuliskan:
Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, karena
sesungguhnya kamu berada dalam pengawasan Kami (QS. al-Thuur [52]: 48).
Ternyata orang yang mati itu adalah seorang yang ditimpa
kemiskinan yang selalu bersabar diri dan tidak pernah menceritakan apa yang
dideritanya kepada siapa pun sampai ia menghadap Tuhannya.
Dalam hal ini, bagi mereka yang telah mengenal-Nya bahwa
Dialah al-Fattaah, maka keharusan baginya untuk bersabar diri dalam
menanti, karena ke-Lathiifan-Nya senantiasa memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan hamba-Nya. Konsisten dalam kesabaran akan memperoleh
kemurahan-Nya, sehingga ia tidak terburu-buru menantikan keputusan-Nya. Ia
sadar sepenuhnya bahwa apa yang sudah menjadi keputusan-Nya sekali-kali tidak
dapat diundur ataupun dimajukan.
Dikisahkan seorang muazin (tukang azan, pemanggil salat) di
mesjid Sayyidina Ali dan seorang pelayan perempuan (jaaryah) Sayyidina
Ali. Pekerjaan rutinnya mengambil air di sumur. Dua insan berlainan jenis ini,
setiap hari bertemu, dan si muazin selalu berkata “Innii ahabbuka”
(sesungguhnya aku cinta kamu) kepada si pelayan tadi.
Rupanya ada yang melaporkan kejadian ini kepada Ali. Lalu
memanggil jaariyah-nya dan mengajarkan jawaban kepadanya. Katakan
padanya “wa ana aidhan ahabbuka…famaa ba’da hadzaa” (Aku juga
mencintaimu…lalu apa yang terjadi setelah ini?) Ketika besok harinya jaariyah
itu bertemu muazin dan ia mengatakan: “Aku mencintaimu”. Jaariyah itu
pun menjawab: “Aku juga mencintaimu…lalu apa yang terjadi setelah ini”. Si
Muazin itu pun menimpali: “Ba’da hadzaa nashburu hatta yahkumallaahu
bainanaa” (Setelah ini kita bersabar hingga Allah memutuskan antara kita).
Jawaban si Muazin tadi disampaikan si jaariyah kepada tuannya, Sayyidina
Ali; kemudian Ali pun berkata: “Segera panggil dia!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar