Asma al-Husna : al-Mukmin
(7) al-Mukmin (Yang Memelihara Keyakinan atau Sumber Keamanan)
Arti kata al-Mukmin
adalah membenarkan atau mempercayai (al-mushaddaq).
Sebagai sifat Allah, berarti bahwa Dia Maha Tinggi Kepercayaan-Nya terhadap
diri-Nya sendiri. Yaitu ilmu Allah Swt itu benar adanya dan memberi kepercayaan
kepada hamba-Nya serta membenarkan janji-Nya.
Jika kata al-Mukmin
diambil dari kata al-Amaan, berarti
perlindungan (alijaarah), bukan
berarti membenarkan (al-tashdiiq). Di
sini mengandung pengertian bahwa Dia memberi keamanan bagi orang yang
berlindung atau bernaung kepada-Nya. Sehingga terjadilah sifat perbuatan dalam
bentuk timbal-balik, yakni sang hamba beriman kepada Allah, dan Dia memberikan
keamanan kepada hamba-Nya.
Perlu digarisbawahi, bahwa persamaan dalam nama
tidak mengharuskan persamaan dalam zat. Dikemukakan bahwa nanti pada hari
kiamat seorang penyeru akan meneriakkan kata-kata: “Barang siapa yang namanya
bersamaan dengan nama salah seorang Nabi hendaklah masuk surga; maka tinggallah
orang-orang yang namanya tidak sama dengan nama salah seorang Nabi. Lalu Allah
berfirman: ’Akulah al-Mukmin dan
Akulah yang memberi nama al-Mukminiin
padamu sekalian’, maka mereka pun dimasukkan ke dalam surga”.
Diriwayatkan, Abu Yazid berkata: ”Sebenarnya aku
ingin berdoa kepada Allah Swt agar diriku dijauhkan dari syahwat-syahwat,
tetapi hati kecilku mencegahnya dan mengingatkan bahwa Rasulullah Saw tidak
pernah melakukan (berdoa) demikian, sehingga aku urungkan doa tersebut. Namun,
aku dicukupi Allah Swt dengan perlindungan-Nya dari segala syahwat diriku, maka
sejak itu aku tidak bisa lagi membedakan antara wanita yang menghadap padaku
dengan tembok yang berada di depan mataku”.
Hal yang sama terjadi pada Abu Bakr al-Kattani yang
berkata: “Semenjak beberapa tahun ini tidak terlintas dalam pikiranku ingatan
akan makanan, kendatipun makanan itu disajikan padaku”. Aku (al-Qusyairi—penerj.)
yamg menceritakan kisah ini adalah pelayannya di kota Madinah.
Pernah terjadi pada suatu hari ia dalam keadaan
berpuasa. Sebagai pelayan,makanan untuk berbuka puasanya sudah kusiapkan, setelah
makanan kuletakkan, aku pun pergi. Kendati begitu, aku merasa heran dengan
perubahan fisiknya yang tampak kurus dan bahkan mulai melemah. Lalu timbul keinginanku
untuk mengetahui penyebab fisiknya demikian. Malam itu aku tidak pergi. Menjelang
malam, aku melihat ada seorang pengemis datang, dan ia memberikan semua makanan
yang sudah kusajikan. Pengemis itu aku ikuti dari belakang,dan di tengah jalan kuhentikan,
kemudian aku tanyai dia: ”Hamba Allah! Coba ceritakan perihal al-Kattani?”
Pengemis itu bercerita: “Memang sudah beberapa malam ia selalu memberi saya
makanan”. Setelah itu aku pulang dan mengganti makanan baru untuk berbuka
puasanya sambil kukatakan: ”Mengapa tidak Anda beritahu saya kalau makanan
untuk berbuka puasa sudah diberikan kepada orang lain, agar segera kuganti
dengan makanan baru?” Ia menjawab: ”Aku setiap malam lupa kalau aku tidak makan
apapun”.
Note:
Al-mukmin
diambil dari akar kata amina. Semua
kata yang terdiri dari huruf-huruf alif, mim, dan nun, mengandung arti ‘pembenaran’
dan ‘ketenangan hati’. Quraish Shihab
memahami kata Mukmin dalam arti
pemberi rasa aman. Pendapat Shihab ini merujuk QS. Quraish [106]:4, “Dan Dia memberi mereka rasa aman dari
ketakutan”. Ayat ini menunjukkan bahwa kaum kafir pun memperoleh rasa aman,
namun tentu saja rasa aman yang sempurna dirasakan oleh orang-orang mukmin
(Quraish Shihab, “Menyingkap” Tabir Ilahi, hlm. 49) – penerj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar