Tampilkan postingan dengan label Asma'Ul Husna. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Asma'Ul Husna. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Oktober 2012

(46) Asma al-Husna: Al-Kariim

Asma al-Husna: Al-Kariim


 
(46) Al-Kariim (Yang Maha Mulia / Maha Dermawan)


Menurut ahl al-haq (ahli kebenaran), bahwa al-Kariim merupakan sifat zat Allah Swt. Dia senantiasa Kariim, yang berarti nafi (peniadaan) bagi-Nya sifat rendah dan hina. Orang Arab memberi nama bagi sesuatu yang baik, penting dan bernilai dengan kata Kariim.


Dalam al-Qur’an disebutkan:

Pahala yang mulia (yang baik, penting dan berharga) (QS. al-Ahzaab [33] : 44).

Juga firman-Nya:

Rezeki yang mulia (penting, baik, dan berharga) (QS. al-Ahzab [33] : 31)

Penafian atau peniadaan sifat rendah dan hina bagi-Nya, sesuai dengan kebesaran-Nya (Jalaal). Dia diatributi al-Kariim, karena banyak perbuatan-Nya yang baik, pemberian-Nya yang tidak terhitung, dan ihsan-Nya yang tidak terhingga.

Menurut al-Junaid, Dia diatributi al-Kariim karena “bagi hamba yang ingin membutuhkan-Nya, tidak perlu melalui perantara sebagai penghubung kepada-Nya”. Ditambahkan oleh al-Harist al-Muhasibi, “Diatributi al-Kariim karena Dia tidak pernah mempedulikan atau mempertimbangkan kepada siapa pemberian itu diberikan”.

Menurut isyarat Qurani, al-Kariim dapat diartikan “tidak peduli” atau “tidak mempertimbangkan” sebagaimana firman-Nya:
“Maka ketika istrinya membukakan rahasia kepada yang lain (Aisyah), Allah memberitahukan hal ini kepada Nabi; maka Nabi pun memberitahu sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain” (QS. al-Tahriim [66]:3).

Abu Ali al-Daqqaq berkata: “Al-Kariim ialah apabila Dia memberi ampun kepada seorang hamba, maka Dia mengampuni hamba-hamba yang berbuat dosa sejenis hamba itu, dan mengampuni pula kepada hamba-hamba yang setaraf dengan hamba tadi serta para pendurhaka secara mutlak. Jika kata ini disandang hamba, maka al-Kariim berarti tidak pernah mengajukan hajat kebutuhannya kepada selain Allah Swt; juga bisa diartikan tidak memulangkan dengan tangan hampa pengharapan orang yang berhajat dan berkeinginan kepadanya”.

Tambahan, al-Kariim bagi manusia, berarti tidak menghilangkan orang yang bertawasul dan tidak menyia-nyiakan orang yang berlindung kepadanya; dan memelihara dengan baik hak para pelayannya bila mereka telah wafat.

Dan al-Kariim bagi manusia dapat pula diartikan, apabila seseorang melakukan kesalahan, maka dialah membei maaf; bila seseorang meninggalkannya, maka dia yang menghubungi. Kalau engkau sakit, dia pun menjenguk; kalau engkau baru tiba dari bepergian maka dialah yang mengunjungimu; kalau engkau menderita miskin, maka dia dan harta kekayaannya yang berbuat baik; bila engkau mempunyai hajat, maka dia yang menegur dirinya: “Mengapa tidak cepat-cepat engkau melaksanakan, sebelum apa yang menjadi kebutuhannya diminta”.

Orang Arab menamakan pohon dan buah anggur dengan al-Kariim, nama ini sudah menjadi kebiasaan lisan mereka. Nama Kariim untuk anggur ini, disebabkan kehalusan pohon itu, kualitas buahnya, mudah dipetik tanpa bantuan tangga dan tiada duri di tepi-tepinya, sebagaimana pohon kurma. Sampai-sampai ada larangan dari Rasulullah saw. Menyebut anggur dengan “Karam”, sebagaimana hadis di bawah ini:

Jangan kalian namakan pohon anggur dengan sebutan al-Karam, karena seorang Mukmin itu lebih utama dan lebih layak mendapat sebutan itu karena padanya budi pekerti yang luhur.

<===  To Be Continued  ===>

(44) Asma al-Husna: Al-Jaliil ; (45) Asma al-Husna: Al-Jamiil

(44) Al-Jaliil (Yang Maha Luhur)   ; (45) Al-Jamiil (Yang Maha Indah)

Al-Jaliil adalah yang berhak menyandang sifat-sifat keluhuran dan ketinggian; al-Jamiil searti dengan al-Jaliil; dan al-Jaliil itu adalah al-Muhsin (yang suka berbuat baik). Al-Jamiil adalah al-Mujammil, yakni perbuatan dengan penuh kebaikan.

Ketahuilah bahwa ‘Azza wa Jalla akan menyingkapkan pada qalb (hati) dengan sifat Jalaal-Nya, dan adakalanya dengan sifat Jamaal-Nya. Bila Dia menyingkap dengan Jalaal-Nya, maka orang itu akan merasakan suasanan kekaguman yang luar biasa, di mana kata-kata tidak mungkin bisa melukiskannya. Dan ketika sifat Jamaal-Nya tersingkap, maka  seseorang akan merasakan kerinduan yang amat mendalam. Sehingga, jika Jalaal sudah tersingkap – maka terlihat melalui mata hati (bashiirah) – maka pada saat itulah seseorang akan mengalami mahw dan ghaybah (ketiadaan. Sedangkan jika Jamaal-Nya yang tersingkap, niscaya muncullah kesadaran dan kedekatan seseorang kepada-Nya.

Atas dasar inilah, para ‘aarif yang telah disingkapkan atasnya Jalaal-Nya, ia menjadi gaib dan para pecinta yang kepadanya telah disingkapkan Jamaal-Nya menjadi senang; kalau ia gaib, maka padanya muhayyam (dirundung kerinduan) dan kalau senang, maka ia mutayyam (dipenuhi kerinduan).

Sedangkan para ‘aabid yang telah menyaksikan karunia-Nya mereka pun rela mendermakan jiwanya; para ‘aarif yang telah menyaksikan Jalaal-Nya mereka rela mendermakan hatinya; dan para pencinta yang telah menyaksikan Jamaal-Nya mereka mendermakan ruhnya.

Barangsiapa yang memiliki ‘ilm al-yaqiin (ilmu yakin), niscaya akan menyaksikan Jalaal-Nya; dan barangsiapa yang memiliki haq al-yaqiin, niscaya akan menyaksikan Jamaal-Nya.

Note:

Mahw berarti kemusnahan. Sebuah istilah yang menunjukkan kemusnahan segenap tindakan sang hamba dalam tindakan Allah. Mahw berbeda dari keterhapusan (mahq), yang di dalamnya wujud sang hamba hilang dalam Esensi itu sendiri. Mahw adalah hilangnya berbagai sifat dalam kebiasaan dan lenyapnya penyebab. Entitas sendiri tetap tidak berubah karena melalui entitas dirinya seseorang mempunyai pengetahuan tentang Allah. Oleh karena itu, mustahil bagi “dirimu” untuk hilang karena Allah ingin agar “dirimu” mengetahui diri-Nya. Dia tidak menghilangkan “diri-Mu” dari dirimu sendiri. Dia justru “menghapus” dirimu dari dirimu sendiri agar engkau tidak berhenti dengan wujud entitasmu sendiri. Dengan demikian, sang hamba memahami bahwa semua tindakannya sesungguhnya adalah tindakan-tindakan Allah (Amatullah Amstrong, Khazananh Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj. M.S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni [Bandung: Mizan, 2000, hlm. 167) penerj.
Ghaybah mempunyai arti ketiadaan. Sebuah istilah yang menunjukkan ketidaktahuan hati manusia ihwal yang terjadi dalam berbagai situasi kemanusiaan karena segenap panca indranya sepenuhnya disibukkan oleh berbagai pengaruh. Ghaybah juga mengacu pada cara Kekasih menyembunyikan diri-Nya dari sang pecinta. Ketiadaan ini dilakukan demi menanamkan pengetahuan dan mengajarkan tata karma dalam cinta (Amatullah Armstron, Khazanah Istilah Sufi, hlm. 77). – penerj.

Perlu digarisbawahi bahwa ke-Jamaal-an Tuhan tidak bisa dipersepsikan melalui pengalaman empiris. Karena Dia merupakan esensi murni, tidak bernama, tidak bersifat, dan tidak mempunyai relasi dengan sesuatu pun. Mengingat terbatasnya kemampuan indra, pikiran, akal dan pengertian memilki kemampuan yang fana dan tidak pasti, maka ke-Jamaal-an Tuhan tetaplah menjadi rahasia Tuhan. Atau dalam bahasa Ibn al-‘Arabi, “Tidak ada yang mengetahui Allah, kecuali Allah sendiri”. Ibn al-‘Arabi, al-Futuhah al-Makkiyah (Beirut: Daar al-Fikr, t.th., vol. I, 270). – penerj. 


<===  To Be Continued  ===>

Kamis, 12 Juli 2012

(42) Asma al-Husna : al-Hasiib ; (43) Asma al-Husna : al-Kaafii


Asma al-Husna : al-Hasiib ;  Asma al-Husna : al-Kaafii






(42) al-Hasiib (Yang Memperhitungkan) ; (43) al-Kaafii (Yang Mencukupi)

Pencukupan Allah bagi hamba-Nya adalah bahwa Dia mencukupi dalam segala keadaan urusan hamba-hamba-Nya. Dalam kondisi tertentu – sesuai dengan pengetahuan-Nya – terjadi penangguhan pemenuhan keinginan si hamba. Ini merupakan wujud pemeliharaan-Nya. Karena Allah tahu persis tingkat kebaikan dan keburukan sesuatu itu bagi hamba-Nya.

Bila si hamba telah mengetahui bahwa Dia adalah Yang Maha Pemberi Kebutuhan, maka sekali-kali si hamba tidak diperkenankan mengajukan kebutuhannya kepada selain-Nya. Karena Dia akan segera merespons hamba-hamba yang secara total berhenti di hadapan-Nya dan menyerahkan semua hal-ihwal dirinya kepada-Nya. Apalagi jika hajat atau kebutuhan itu berkaitan dengan hak Allah Swt. Namun harus diingat baik-baik, hajat itu bisa Dia tangguhkan pelaksanaannya, jika tingkat kepentingannya tidak terlalu mendesak.

Bagi hamba pilihan, keputusan penangguhan tidak akan membuatnya bersedih. Karena ia percaya in toto (secara bulat-bulat) bahwa apa yang diperuntukkan bagi dirinya tidak akan luput darinya, sekalipun yang berada di sekelilingnya berpaling atau meninggalkan; dan yang tidak diperuntukkan baginya sekali-kali tidak akan sampai kepadanya, sekalipun mereka mendatangi.

Kalau sikap terakhir ini dipegang secara konsisten oleh si hamba, maka dalam waktu singkat Allah Maula-nya akan meridhainya dan menjadikannya sebagai hamba pilihan-Nya. Namun, si hamba akan memilih “ketiadaan” daripada “ada”, dan memilih “kefakiran” daripada “kekayaan”, karena ia sudah merasakan kebahagiaan-kebahagiaan dengan keadaannya sekarang. Sebaliknya, bagi para pemburu harta, mereka lebih suka menghabiskan waktu dengan kerja keras untuk memperoleh kesenangan dan memenuhi segala keinginan yang selalu didambakannya.

Barangsiapa yang sudah mengetahui bahwa Allah Swt akan membuat perhitungan padanya; dan mengetahui bahwa di samping perhitungan itu ada pula tuntutan – baik yang besar maupun yang kecil, yang remeh sampai yang sebesar partikel – maka selayaknyalah bagi si hamba memperhitungkan dirinya sendiri, sebelum diperhitungkan. Dan menuntut pada hati nuraninya untuk segera menunaikan hak Allah Swt sebelum dirinya dituntut.

<===  To Be Continued  ===>

(40) Asma al-Husna : al-Muqiit ; (41) Asma al-Husna : al-Muqtadir


Asma al-Husna : al-Muqiit ; Asma al-Husna : al-Muqtadir





(40) al-Muqiit  (Yang Memberi Kekuatan) ; 


 
(41) al-Muqtadir (Yang Maha Kuasa)

Al-Muqiit juga dikatakan al-Hafiizh, artinya memelihara atau menjaga, dan berarti yang memberi makan (dari kata Qatahu dan Aqatahu). Seperti disebutkan dalam hadis Nabi saw:

Cukup kiranya seseorang mendapat dosa bila ia melalaikan orang yang biasa diberi makan (man yaquut); dan ada riwayat lain yang menyebutkan (man yaqiit).

Allah Swt menjadikan jenis makanan dan minuman para hamba-Nya berlainan satu sama lain, dan berlainan pula sifat-sifatnya. Semua jenis makanan dan minuman jelas tidak sama untuk keturunan Adam dengan hewan. Allah juga menetapkan bahwa makanan para malaikat adalah ketaatan dan tasbih; sedangkan makanan ruh-ruh adalah ma’ani  (makna), makrifat dan akal.

Melalui akal, tercipta ketertiban dan keindahan. Berkenaan dengan hal ini, sebuah kisah tentang malaikat Jibril yang mendatangi Adam seraya berkata: “Kali ini kedatanganku membawa tiga perkara, pilihlah salah satu dri ketiganya”. Jawab Adam: “Apakah tiga perkara itu, wahai Jibril?” Pertama; akal, kedua; agama, dan ketiga; malu”. Nabi Adam pun memilih “Pilihanku adalah akal”. Lalu Jibril berkata pada agama dan malu: “Pergilah kamu berdua, karena Adam telah memilih akal”. Keduanya lalu menjawab: “Kami berdua mendapat perintah untuk mendampingi akal di mana saja ia berada”.

Dapat dikatakan bahwa tiadalah Allah Swt, menciptakan sesuatu yang lebih mulia dari akal dan tidak perbandingan yang lebih indah dan lebih sempurna bagi orang yang memperolehnya.

Perlu kiranya Anda mengetahui bahwa apabila Allah berkenan menyibukkan seorang hamba berlaku taat kepada-Nya, maka Allah menakdirkan orang lain condong untuk berkhidmat kepada hamba tadi. Dan, apabila Allah berkenan menyibukkan seorang hamba, yang hanya tahu mengikuti keinginan syahwatnya dan berhasil atas segala yang dicita-citakan, maka hamba tadi diserahkan pada “daya dan kekuatan dirinya”. Tengoklah Nabi Adam! Bagaimana ia didudukkan, ia berada di tempat yang terpelihara dan dicukupi segala-galanya, kediamannya di surga-Nya, lalu Allah berfirman:

“Sesungguhnya tiada akan menderita baik kelaparan maupun telanjang diri, tidak pula engkau akan dahaga atau ditimpa terik matahari di dalamnya” (QS. Thaha [20]: 118-119).

Itulah kedudukan yang diberikan oleh Allah Swt kepada Adam, lalu bagaimana setelah Adam melupakan janjinya? Adam menemukan apa yang layak ditemukannya. Al-Qur’an menginformasikan:

Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh sebagian yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai batas waktu yang ditentukan” (QS. al-Baqarah [2]:36).

<===  To Be Continued  ===>

Kamis, 05 Juli 2012

(39) Asma al-Husna : al-Hafiizh

Asma al-Husna : al-Hafiizh





(39) al-Hafiizh (Yang Maha Memelihara)

Al-Hafiizh adalah nama dari nama-nama-Nya yang dapat dijumpai dalam al-Qur’an, yang merupakan mubalaghah dari al-Hafiizh dalam memelihara dan menjaga terhadap semua hal-ihwal hamba-hamba-Nya, termasuk angkasa dan jagad raya. Firman-Nya:

Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya (langit dan bumi) dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (QS. al-Baqarah [2]: 255).

Firman-Nya lagi:

Sesungguhnya Allah memegang langit dan bumi agar tidak lenyap (QS. Fathir [35]: 41).

Selain itu, Allah Swt juga memelihara dan menjaga Kitab Suci al-Qur’an dari penggantian, kerusakan, dan pemalsuan.

Sebelum al-Qur’an, telah diturunkan pula Taurat kepada Nabi Musa yang Allah serahkan pemeliharaannya kepada umat Musa, seperti dijelaskan al-Qur’an:

Disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab Allah (QS. al-Ma’idah [5]: 44).

Namun sangat disayangkan, mereka tidak segan-segan mengubah dan mengganti ayat-ayat Allah dalam Taurat hingga hilang nilai keasliannya. Berbeda dengan al-Qur’an yang diturunkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw., di mana al-Qur’an dijamin oleh-Nya dengan pemeliharaan dan penjagaan-Nya dipercayakan kepada umat Nabi-Nya, umat Islam, sebagaimana Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan Kami benar-benar menjaganya (QS. al-Hijr [15]: 9).

Jadi, tidak diragukan lagi bahwa Allah Swt telah melindungi dan menyelamatkan umat Muhammad dari tangan kotor yang hendak mengganti dan mengubah al-Qur’an. Apabila ada seorang yang salah dalam bacaan hurufnya, maka dari kanan-kiri terdengar suara teguran, dan kalau tanda bacaannya yang salah, maka beribu-ribu anak-anak akan mentertawai. Apalagi seseorang qari yang mendengar.

Termasuk juga bentuk pemeliharaan dan penjagaan-Nya Yang Maha Suci, adalah pemeliharaan dalam Kalbu Aushia-Nya (para pengemban wasiat) atas kemurnian makrifat dari kesimpangsiuran hawa nafsu.

Dari penjagaan dan pemeliharaan-Nya juga adalah menjadikan para malaikat yang diserahi memelihara dan menjaga Bani Adam dari malapetaka dan kerusakan-kerusakan. Firman Allah:

Bagi setiap orang ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya secara bergilir, baik di depan maupun di belakangnya, mereka menjaga atas perintah dari Allah (QS. al-Ra’d [13]: 11).

Maka, barangsiapa yang memelihara dan menjaga tubuh dan anggota badannya karena Allah, niscaya Allah menjaga hatinya; dan barangsiapa yang memelihara dan menjaga hak Allah Swt, maka Allah menjaga pula akan nasib di sisi-Nya.

Ada seorang pencuri yang berhasil masuk ke kamar Rabi’ah dan berhasil menyikat habis pakaiaanya, sedang Rabi’ah tidur dengan nyenyak. Tetapi waktu si pencuri hendak keluar tidak tampak pintu keluar.begitu pakaian-pakaian itu diletakkan, tampaklah pintu keluar. Tetapi setelah diambil, hilang pula pintu itu. Kejadian ini berulang-ulang. Kejadian itu rupanya menyadarkan si pencuri dan ia mendengar suara hati yang mengatakan: “Kami adalah penjaga-penjaga yang selalu waspada”. Kemudian pakaian-pakaian itu dikembalikan ke tempatnya, dan pencuri itu pergi dengan hampa.

Keajaiban yang paling aneh terjadi atas diri ibunda Musa ketika dengan kesungguhan hati menyerahkan diri kepada Allah.  Coba perhatikan bagaimana Allah mengilhami ia dalam firman-Nya:

Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa: “Susuilah…” (QS. al-Qashash [28]: 70.

<===  To Be Continued  ===>

(37) Asma al-Husna : al-'Aliy ; (38) Asma al-Husna : al-Kabiir


Asma al-Husna : al-'Aliy ;  Asma al-Husna : al-Kabiir



(37 al-'Aliy (Yang Maha Tinggi) ; 



(38) al-Kabiir (Yang Maha Besar)

Ketinggian Allah Swt bukan ketinggian arah atau jarak, dan bukan pula kebesaran-Nya merupakan kebesaran bentuk tubuh. Maha Suci Allah dari anggapan yang demikian. Ketinggian bagi-Nya adalah kelayakan-Nya, layak bagi sifat kebesaran dan keagungan-Nya. Maka, tafsir uraian ini adalah Dia senantiasa meninggi dengan suatu ketinggian dan tidak dapat untuk menyifati pada-Nya dengan besar, membesar atau bertambah besar.

Dari ketinggian dan kebesaran-Nya Swt tidak akan menambah pujian para hamba kepada-Nya, baik dengan membesar-besarkan maupun dengan menagung-agungkan-Nya; bahkan hanya mereka yang memperoleh taufikdaripada-Nya saja yang dapat membesarkan dan mengagungkan. Maka siapa yang sudah mengenal ketinggian dan keagungan-Nya selayaknya ber-tawadhu’, merendahkan diri di antara kedua tangan-Nya dan di hadapan para shalihin. Jika dilakukan oleh si hamba, keharusan bagi Allah untuk mengangkat derajatnya.

Dikisahkan, bahwa Allah Swt mewahyukan kepada Nabi Musa agar datang ke sebuah bukit guna diajak berbicara. Setiap bukit pamer, membesar dan meninggi, dengan maksud agar ditempatnyalah percakapan itu dilakukan. Dari sekian banyak bukit, hanya Thurshina saja yang tidak mau pamer, ia mengecilkan diri seraya berkata: “layakkah diriku dijadikan tempat berpijak tumit kaki Musa di saat munajat?” Maka Allah mewahyukan kepada Musa untuk datang ke Thursina, karena sikapnya yang merendahkan diri itu.

Hakikat dari sikap tawadhu adalah menerima kebenaran dari siapa saja yang mengucapkan. Sebaliknya, takabur adalah sifat mengingkari kebenaran. Dalam hal ini Allah berfirman: Dan apabila dikatakan kepadanya: ‘Bertawakalah kepada Allah!” Bangkitlah kebanggaannya untuk berbuat dosa” (  QS. al-Baqarah [2]: 206); juga firman-Nya: “Karena sesungguhnya apabila dikatakan kepada mereka bahwa: “Tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah’, mereka menyombongkan dirinya” (QS. al-Shaffat [37]: 35).

Konon diceritakan, bahwa ada seorang berkata kepada Malik ibn Fudhul: “Bertawakalah Anda kepada Allah!”, serta merta ia merendah sambil menempelkan pipinya di atas tanah, lalu jawabnya: “Aku dengar dan aku taati”.

<===  To Be Continued  ===>

Rabu, 04 Juli 2012

(35) Asma al-Husna : al-Ghafuur ; (36) Asma al-Husna : al-Syakuur


Asma al-Husna : al-Ghafuur ;  Asma al-Husna : al-Syakuur



(35) al-Ghafuur (Yang Maha Pengampun) ; 



(37) al-Syakuur (Yang Maha Mensyukuri)

Mengenai maghfirah, dalam nama al-Ghaffaar telah diuraikan sebelumnya. Dalam al-Qur’an nama Allah al-Syakuur disebutkan dan merupakan arti mubalaghah dari al-Syaakir. Sedangkan al-Syaakir adalah nama bagi yang mempunyai syukur.

Menurut ahli kebenaran, syukur merupakan kesadaran akan nikmat dengan jalan tunduk berendah diri. Allah memberi nama pada dirinya dengan syukur, yang berarti bahwa Allah membalas mereka yang bersyukur kepada-Nya. Dengan pengertian yang sama, lewat nama-Nya ini berarti Dia akan membalas kejahatan dengan kejahatan. Allah Swt berfirman: “Balasan bagi sau kejahatan adalah kejahatan yang setimpal” (QS. al-Syura [42]: 40)

Menurutku (Imam al-Qusyairi), “Pilihan yang aku setujui ialah ‘Hakikat syukur itu adalah pujian bagi yang berbuat baik dengan menyebut akan kebaikannya”. Maka Allah Swt adalah Maha Syukur, berarti pujian-Nya atas hamba-Nya tidak terhitung. Melimpahkan syukur itu adalah sifat-Nya dan Dia-lah pemberi pahala yang tidak terbilang, sekalipun ketaatan hamba-Nya tidak seberapa memadai. Lebih jelas lagi kiranya kalau Anda memahami keterangan berikut ini:

Dikatakan,binatang ternak bersifat syukur manakala binatang itu gemuk, karena hanya memakan sedikit rerumputan saja; dan tumbuh-tumbuhan bersifat syukur manakala tumbuhan itu tumbuh dengan segar, karena siraman air yang sedikit

Diceritakan mengenai seorang yang telah wafat di mimpikan oleh rekannya. Rekan itu bertanya: “Apa yang dilakukan Allah pada dirimu? Jawab si mati: “Aku ditampilkan menghadap antara kedua tangan-Nya. Lalu Allah Swt berfirman: “Mengapa engkau begitu takut kepada-Ku, tidakkah engkau ketahui bahwa Aku ini adalah Kariim (Dermawan)?”

Mereka yang sudah mengenal bahwa Dia adalah al-Syakuur, hendaknya bersungguh-sungguh dalam bersyukur kepada-Nya; tidak pernah berhenti sesaat pun untuk memuji-Nya.

Cara bersyukur itu terbagi dalam beberapa bagian; [1] bersyukur dengan badan, yakni tidak sekalipun menggunakannya selain untuk taat kepada-Nya; [2] bersyukur dengan hati, yakni menyibukkan hati hanya dengan berzikir dan makrifat kepada-Nya; [3] bersyukur dengan lisan, yakni tidak pernah menggunakan lisan, selain hanya untuk memuji-Nya; dan [4] bersyukur dengan harta kekayaan, yakni tidak pernah menggunakan harta untuk nafkah yang tidak diridhai dan dicintai oleh-Nya.

Syukur berarti juga tidak mempergunakan nikmat yang diberikan oleh Allah untuk bermaksiat. Dan tanda syukur adalah bertambahnya pemberian nikmat-Nya, sebagaimana firman Allah Swt: “Jika kamu bersyukur pasti akan Aku tambahkan untukmu” (QS. Ibrahim [14]: 7).

Para arif mengomentari ayat: “Hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur” (QS. Saba’ [34] :13), sebagai berikut:

Ayat di atas menerangkan bahwa sedikit sekali orang yang dapat menyaksikan bahwa nikmat itu datang dari Allah; hakikat syukur itu adalah kegaiban dari menyaksikan nikmat karena penyaksian kepada Maha Pemberi Nikmat.  

<===  To Be Continued  ===>

(34) Asma al-Husna : al-'Azhiim


Asma al-Husna : al-'Azhiim




(34) al-'Azhiim (Yang Maha Agung)

Bagi ahli kebenaran (ahl al-tahqiiq), arti sifat ini kembali kepada kelayakan-Nya, Maha Suci Allah yang memiliki sifat al-‘Uluu (ketinggian martabat). Al-Majdu (kemuliaan), Rif’at al-Qadr (ketinggian nilai), dan al-‘Azhiim (Yang Maha Agung). Oleh karena itu, jangan sekali-kali mengartikan “agung atau besar” dari asma-Nya ini dipersonifikasikan sebagaimana dalam bahasa manusia.

Sifat-sifat ketinggian merupakan sifat yang sangat layak disandang-Nya; termasuk sifat-sifat qidaam, wahdaniyah, menyendiri dengan qudrat, mengadakan dan mewujudkan ilmu-Nya yang meliputi seluruh yang dikehendaki-Nya; liputan qudrat-Nya atas semua atas semua takdir-Nya; pencapaian pendengaran dan penglihatan-Nya atas seluruh yang dapat didengar dan dilihat. Maha Kaya, tiada membutuhkan para pembantu dan penolong. Taqdiis-Nya dari ruang dan waktu, dan Maha Suci zat-Nya dari menerima yang baru (lawan qadim).

Diceritakan bahwa sebagian guru telah ditanya perihal kebesaran Allah Swt. Dijawab: “Bagaimana pendapatmu mengenai orang yang berada di sisi-Nya, seorang malaikat yang bernama Jibril as. yang ditubuhnya ada enam ratus sayap, yang andaikan dihamparkan sayapnya dapat menutupi dua tepi langit (ufuk)? Tentu saja, kalau kita benar-benar mengenal qudrat-Nya, maka kita tidak akan terkagum-kagum dengan proses penciptaan demikian itu. Melainkan bila Dia berkehendak untuk menciptakan dalam sekejap mata seribu kali seribu alam semesta, tidak ada kesulitan sama sekali bagi-Nya. Apalagi hanya menciptakan seekor kepinding tentu lebih mudah dari penciptaan alam semesta, bukan? Nah, untuk menciptakan malaikat Jibril, Dia tidak akan pernah merasa kesulitan”.

Tersebutlah dalam sebuah kabar, seorang malaikat mengajukan permohonan kepada Allah dengan ucapan: “Ya Tuhan, aku ingin melihat seluruh arasy, maka aku mohon kepada-Mu berilah aku kekuatan hingga aku dapat melayang mencapai ketinggian arasy!” Kemudian Allah menciptakan baginya tiga puluh ribu sayap; terbanglah malaikat itu selama tiga puluh ribu tahun. Akan tetapi belum satu pasak pun selesai dikitari. Akhirnya malaikat itu mohon untuk dikembalikan ke tempat asalnya.

Konon Nabi Sulaiman as. pernah memohon kepada Allah Swt untuk menjamu binatang-binatang yang ada di sekitar tempat itu. Allah mengijinkan keinginan Nabi-Nya ini. Ia pun sibuk berhari-hari mempersiapkan jamuan yang akan dihidangkan; Allah mengutus seekor ikan laut untuk mendatangi persiapan itu, setelah ikan itu datang, habislah persiapan jamuan itu ditelan olehnya, bahkan ikan itu minta tambah lagi. Nabi Sulaiman menegur: “Apakah kebiasaanmu makan sebanyak ini?” Ikan itu menjawab: “Setiap hari saya makan sebanyak tiga kali dari yang saya makan sekarang ini!” Alangkah baiknya kalau Anda tidak menjamu saya dan Allah tidak mengutus saya kepada Anda.

Nabi Musa as. pernah berkeinginan untuk melihat ikan laut yang terbesar di dunia. Allah menyuruhnya berdiri di tepi laut. Tidak lama naiklah seekor ikan dipermukaan laut hingga mencapai ketinggian langit, dan selama tiga hari belum selesai tubuhnya terangkat. Nabi Musa berkata: “Ya Tuhanku, adakah sesuatu yang semacam ini?” Maka dijawab oleh Allah: “Yang semacam ini dapat makan ribuan kali yang semacam ini”. Kemudian Allah Swt berfirman:

Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri (QS. al-Muddatstsir [74]: 31).

Kemudian yang lebih besar lagi dari semua yang disebutkan di atas adalah “kemauan keras” yang terpendam dalam hati para arifin. Yakni keinginan “melihat”-Nya, yang berarti melebihi keinginan para Nabi melihat makhluk terbesar ciptaan Allah.

<===  To Be Continued  ===>

(33) Asma al-Husna : al-Haliim

Asma al-Husna : al-Haliim




(33) al-Haliim (Yang Maha Penyantun)

Makna asma Allah al-Haliim adalah yang dapat mengundurkan atau menunda balasan-Nya terhadap orang yang sepatutnya menerima. Dan ini merupakan sifat perbuatan yang disifatkan kepada-Nya semenjak masa azali. Para ahli kebenaran (ahl al-haq) berkata: “Al-Haliim Allah Swt adalah iradat-Nya untuk menangguhkan balasan siksa-Nya”. Ini berarti sifat zat-Nya. Dan Dia bersifat al-Haliim secara terus-menerus, maka balasan siksa-Nya diundurkan pada sebagian orang yang seharusnya layak untuk menerima siksa; adakalanya pula langsung memberlakukan siksa-Nya; adakalanya pula memaafkan. Semuanya itu adalah persoalan yang sudah ditetapkan sejak awal dan bergantung sepenuhnya pada iradat dan ilmu-Nya.

Dihikayatkan, bahwa Nabi Ibrahim – salam sejahtera atasnya – ketika melihat alam kerajaan langit dan bumi, ia melihat seorang tengah melakukan maksiat; serta merta ia berdoa: “Ya Allah, binasakanlah dia!” Langsung pula Allah membinasakannya. Kemudian melihat lagi kejadian serupa. Ia pun langsung berdoa dan Allah pun mengabulkan doanya. Kejadian itu berlangsung sampai empat kali. Kemudian Allah mewahyukan: “Berhentilah, hai Ibrahim! Andaikan Kami membinasakan setiap orang yang berbuat maksiat yang engkau lihat, niscaya tidak seorang makhluk pun yang tersisa, tetapi Haliim-Ku tidak akan menyiksa mereka dengan dua pilihan; mereka bertobat atau mereka terus melakukan maksiat. Namun yang jelas, tidak satu pun yang luput dari Haliim-Ku.

Di antara ke-Haliim-an Allah Swt, bahwa Dia tidak akan membangkitkan amarahnya terhadap pembangkangan yang dilakukan para ahli maksiat, dan tidak akan mempercepat balasan siksa-Nya karena orang-orang mukmin terus-menerus terjerumus dalam pelanggaran. Dia tetap berlaku Haliim, sekalipun seorang jahil menyangka bahwa Dia tidak mengetahui. Karena Haliim-Nya pula Dia menutupi sehingga seorang buta beranggapan bahwa ia tiada melihat.

<===  To Be Continued  ===>

Selasa, 03 Juli 2012

(32) Asma al-Husna : al-Khabiir


Asma al-Husna : al-Khabiir




(32) al-Khabiir (Yang Maha Mengetahui)

Dapat diartikan al-‘Aliim (Yang Maha Mengetahui); ini adalah sifat zat-Nya ‘Azza wa Jalla, dan dapat pula diartikan al-Mukhbir (Yang Memberi Kabar), kedua arti ini dapat diterapkan untuk Allah Swt.

Karena itu, siapa pun yang mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap ihwal dirinya, niscaya akan waspada dalam bertutur kata dan berbuat, serta penuh kepercayaan terhadap ikhtiar pilihannya. Ia yakin apa yang diperuntukkan bagi dirinya tidaklah akan luput, sedang apa yang dijauhkan dari dirinya tidak akan dapat dicapai. Sehingga ia pun melihat bahwa peristiwa-peristiwa datang dari Allah Swt. Dengan demikian akan mudah dan ringanlah segala persoalan.

Kebalikan dari yang demikian, siapa yang menghubungkan kejadian selain kepada al-Haq juga kepada makhluk, maka akan letihlah orang yang demikian itu untuk selama-lamanya.

Bila seorang hamba telah mengenal bahwa Allah Swt memonitor dirinya, sir dan rahasia pribadinya, serta Maha Mengetahui apa yang berada di dalam rongga dadanya, ini sudah cukup baginya. Ia tidak perlu bersusah payah memohon dan mengajukan kemauannya kepada-Nya, dengan menghadirkan kebutuhannya yang tersimpan dalam hati tanpa menyusun tutur kata dan ucapan lisan.

Dihikayatkan bahwa ada seorang datang menjumpai Abu Yazid sambil berkata: “Orang-orang sekarang ini sangat membutuhkan hujan; sudilah kiranya Anda berdoa kepada Allah Swt agar menurunkan hujan kepada kami!” Abu Yazid menjawab dengan serunya berkata: “Wahai kalian! Betulkan talang tempat cucuran air hujan!” Abu Yazid tidak berkata apa pun kecuali apa yang diserukannya atas. Tetapi belum selesai orang-orang membetulkan talang masing-masing hujan sudah turun dengan lebatnya.

Ada pula peristiwa lain, yakni seorang yang merenungkan dirinya sambil berkata: “Umurku sudah mencapai sekian dan sekian tahun, berarti sekian dan sekian bulan. Jadi jumlahnya sekian dan sekian hari, kalau begitu sudah sekian ribu kali kulewati. Andaikan aku tidak bertindak maksiat kecuali sekali dalam sehari, tentu neraca perbuatanku sekian dan sekian ribu kali maksiat, dan bagaimana kesudahannya? Sedangkan aku dalam setiap hari melakukan banyak sekali maksiat”. Kemudian ia pun menjerit dan langsung meninggal dunia.

<===  To Be Continued  ===>

(31) Asma al-Husna : al-Lathiif


Asma al-Husna : al-Lathiif





(31) al-Lathiif (Yang Maha Lembut)

Al-Lathiif dari segi bahasa mempunyai tiga arti; pertama, mengetahui persoalan-persoalan yang halus, samar, rumit, dan musykil. Kedua, sesuatu yang kecil dan lembut (lawan dari tebal dan lebat). Ketiga, keramah-tamahan dalam menyampaikan sesuatu yang bermanfaat, yang diperlukan tentang hal yang tidak diketahui.

Lathiif di sisi Allah mempunyai arti: pertama; wajib, yaitu merupakan sifat zat-Nya. Kedua adalah mustahil. Arti ketiga, yaitu yang berbuat baik atau menyampaikan segala yang bermanfaat dengan kelunakan, kelembutan dan keramah-tamahan, termasuk sifat perbuatan, sebagaimana firman-Nya:

Allah itu lemah lembut terhadap hamba-hamba-Nya (QS. al-Syura [42]: 19).

Dapat pula berarti ganda, yaitu Maha Mengetahui terhadap hamba-hamba-Nya, Maha Mengetahui tempat-tempat di mana mereka melakukan kejahatan, dan memberi rezeki kepada yang dikehendaki-Nya.

Lathiif terhadap hamba-Nya berarti berbuat baik terhadapnya serta memberinya karunia dan sikap lemah lembut. Kalau ayat di atas berangkat dari sifat zat, berarti ada kaitan erat, sehingga dengan memberi dalil bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap penyakit-penyakit yang tersembunyi dan mengetahui atas pelanggaran-pelanggaran yang sekecil-kecilnya sesuai dengan bunyi ayat:

Allah mengetahui kedipan mata khianat dan segala yang disembunyikan dalam dada-dada (QS. al-Mu’min [40]: 19).

Dengan demikian mengharuskan si hamba untuk “qabadh” (bersempit dada) ketika ia mengetahui dan menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui dan selalu di bawah pengawasan-Nya.

Atas dasar ini, sebagian guru tasawuf berkata: “Sesungguhnya di balik ketaatan, masih terdapat kebejatan-kebejatan yang setaraf dengan tindak pelanggaran; ibarat seorang jatuh pailit yang menyangka dirinya seorang yang kaya, namun setelah dibuka buku neracanya. Tampaklah bahwa ia sebenarnya seorang yang sudah jatuh pailit, namun tidak menyadarinya, atau sengaja menutup-nutupinya.

Lebih jauh, jika kita memahami ke-Lathiif-an Yang Maha Suci terhadap hamba-hamba-Nya, maka akan muncul kesadaran dalam diri kita bahwa Dia telah memberi kita kenikmatan-kenikmatan lebih dari apa yang kita sangka. Nikmat lahir dan batin; “Dan melimpahkan atasmu nikmat-nikmat-Nya, baik lahir maupun batin” (QS. Luqman [31]: 20). Sekalipun demikian, Dia tidak membebani kita dengan beban yang berat yang setimpal dengan nikmat-nikmat yang diberikan-Nya kepada kita, seperti difirmankan-Nya: “Sekali-kali tiada membebani kamu dengan suatu kesukaran dalam beragama” (QS. al-Haj [22]: 78).

Bukti bahwa Dia tidak mempersulit kita, terlihat dalam masalah ibadah. Allah Swt meringankan hamba-hamba-Nya sehingga kewajiban salat atas setiap hamba hanya lima kali dalam sehari-semalam. Beban itu pun tidak sekaligus, tetapi dalam waktu yang terpisah-pisah, dan dianjurkan pula dikerjakan dalam berjamaah maupun sendiri-sendiri. Disamping itu, Dia telah memberi kepada sang hamba rezeki yang cukup untuk masa yang sudah ditentukan. Tetapi, si hamba masih juga mengeluh dan tetap menuntut yang lebih.

Kalau kita perdalami lebih jauh ke-Lathiif-an Allah; pahamlah kita bahwa Dia menyampaikan kebutuhan kita, tanpa kita susah payah memikul beban berat dan sukar yang mengiringi kedatangan nikmat itu. Misalnya saja sepotong roti, kalau kita mau menelusuri jalan dari awal sampai terciptanya sebuah roti, maka betapa berat cara yang harus dilalui, mulai dari mata yang tidak terbilang banyaknya yang berjaga di malam hari; dari para petani atau pedagang atau penabur biji-bijian tanaman, penyiram air, pengawas, penuai, pengetam sampai pada penggiling; dari penggiling berpindah ke tangan peremas dan pengepal hingga adonan itu masuk ke tungku pembakaran. Berbagai cabang kerja dilalui, belum lagi terhitung benda-benda yang diperlukan mulai dari pedati, kayu, batu, besi, dan tali-temali. Nah, kalau kita hendak menghitung maka tidak sangguplah kita merinci. Itu baru satu macam nikmat, sudah harus melalui aneka cara dan jalan. Begitulah cara Allah memberi kenikmatan kepada hamba-Nya, makanan, minuman, serta pakaian. Andaikan semuanya ini hendak ditangani sendiri, niscaya ia tidak sanggup dan tidak mampu melaksanakannya. Mengingat demikian rumit “mata rantai” roti yang harus dilalui.

Karena ke-Lathiifan-Nya juga, Dia memberi taufik dan hidayah untuk melakukan ibadah, taat dan patuh, serta menjaga kita agar jangan sampai tergelincir dalam maksiat dan pelanggaran. Pemeliharaan-Nya terhadap tauhid kita di dalam hati dengan penetapan iman dan mengekalkan makrifat atas kita, sekalipun teriring oleh maksiat dan pelanggaran dosa. Dia tetap tidak serta merta menghukum kita. Dia memberi tenggang waktu agar kita mau menyadari apa yang telah kita lakukan pada-Nya.

Yang lebih mengherankan lagi adalah tempat pengeluaran air susu pada binatang, kantong susu itu berada diantara kotoran dan darah. Tetapi sunnah Allah yang Maha Suci telah memelihara kemurnian air susu itu, dan dengan ke-Lathiifan-Nya, Dia menjaga agar air susu tidak tercemari.

Tidakkah Anda mau merenungkan bagaimana Allah Swt menjadikan perut bumi tempat tambang logam, emas dan perak, serta intan permata. Dalam kulit kerang terdapat mutiara; pada binatang penyengat terdapat tempat keluar madu, dan dalam ulat yang menjijikkan keluar benang sutera. Demikian pula dengan hati kita yang senantiasa terkait dengan Allah Swt, padahal ia segumpal daging.

<===  To Be Continued  ===>

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...