Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abd al-Kariim ibn Hawaazin ibn Abd al-Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia mendapat julukan “Abu al-Qasim” dan “Zain al-Islam”. Al-Qusyairi terkenal berkat al-Risaalah, dikatakan sebagai mother of sufisme book.
Mengenai nasab dari ayah-bundanya, keturunan Arab,
ayahnya dari kabilah Qusyair, dari Adnan, bersambung sampai Rabi’ah Ibn ‘Aamir,
dari Hawazin. Oleh ahli sejarah Ibnu Hazm menyebutkan, bahwa keturunan Qusyair
adalah yang mengarahke Barat, yaitu Andalusia, sewaktu “penaklukan dan
pendudukan” ke Timur. Di antara mereka itu banyakorang-orang terpandang, antara
lain ada yang menjabat sebagai gubernur, perwira-perwira tinggi dalam
ketentaraan dan wali negeri di Khurasan dan Naisabur (Iran). Ibunya bernama
Salmiah, saudara perempuan Abi “Aqiil Al-Almii (Pejabat tinggi Ustuwa).
Al-Qusyairi dilahirkan pada bulan Rabi’ul Awal tahun
376 H, atau bulan Juli 986 M, di negeri Ustuwa, negeri yang searah dengan
Naisabur, yang banyakterdapat dusun-dusun tempat kelahiran cendekiawan dan
ulama-ulama terkenal. Ayahnya wafat di kala ia masih kanak-kanak, lalu oleh
keluarganya diserahkan pada Abi Al-Qasim al-Alimani. Di sinilah ia memperoleh
ajaran agama dan bahasa Arab. Sang guru sangat tertarik dengan sosok al-Qusyairi,
sehingga terjalinlah keakraban guru-murid, melebihi hubungan keluarga.
Suasana
Negara pada saat itu dalam masaperalihan. Baru saja terjadi pemindahan
kekuasaan pemerintahan dari Ali Saman ke
al-Ghaznawiyun. Akibatnya, terjadilah kemrosotan ekonomi yang dahsyat, serta
tekanan terhadap rakyat makin menjadi-jadi. Negeri Ustuwa mengalami tekanan
pajak berat, yang membutuhkan perbaikan secepatnya.
Mencermati situasi ini, para pemikir dan ahli
berkumpul untuk memecahkan persoalan yang melanda Negara, yang diharapkan dapat
membuahkan perhitungan setepat-tepatnya, untuk menyingkirkan kesulitan yang
sedang dialami. Utusan dipersiapkan untuk berkunjung ke Naisabur guna keperluan
penanggulangan keburukan ekonomi . Diantara anggota utusan itu adalah Abd
al-Karim al-Qusyairi. Takdir menentukan
lain, di tengah perjalanan, al-Qusyairi
menyimpang arah ke Majelis Dakwah dan Hadis, Ilmu Kalam, Fiqih dan
Tafsir. Ia betah di tempat tersebut dan menghabiskan sebagian waktunya untuk
menimba ilmu.
Sementara itu, Naisabur dipenuhi para imam kenamaan,
misalnya Ibnu Furik, Muhammad ibn Abu Bakar al-Thusi dan Abu Ishaq
al-Isfarayani. Semuanya dijumpai oleh al-Qusyairi. Pertemuan itu berlanjut
menjadi pelajaran dan pendidikan yang sangat berharga, hubungan yang tadinya
bersifat biasa antara murid dengan guru, telah meningkat menjadi lebih erat
lagi. Ia menampakkan bakat yang gemilang, dengan kemauan yang keras dan cara
berpikir yang tinggi, gerak jiwanya mulai tampak , kesucian tangannya mulai
terlihat, lisan dankecerdasannya sangat menonjol dankemahirannya mempesonakan,
kesemuanya itu menyatu dalam dirinya, hingga membuat orang kagum padanya.
Ketika al-Qusyairi memusatkan seluruh himmah-nya
terhadap majelis-majelis, tiba-tiba takdir membawa ia ke jurusan lain lagi.
Tanpa disengaja, untuk pertama kalinya ia mendatangi majelis al-Ustadz Abu Ali al-Daqqaq, yang
ketika itu sedang mengajarkan hal-ihwal tasawuf dan menunjukkan maqam-maqam
“para penempuh” ilmu tasawuf. Ajaran-ajaran itu diberikan secara bergilir, dari
masjid ke masjid yang terdapat di sekitar Naisabur. Di sinilah al-Qusyairi
merasa menemukan sesuatu yang selama ini dicari-carinya.
Selanjutnya, hubungan dengan al-Daqqaq makin erat
dan ia tidak segan-segan mengatakan, bahwa al-Daqqaq-lah guru yang
mengilhami dan menuntun pemikirannya.
Hubungan ia
dengan guru ini diberkahi Allah, sehingga sang guru mengambil ia menjadi
menantunya, maka dilangsungkanlah pernikahannya dengan putrid tunggal sang
guru, yang bernama Fathimah. Dari pernikahan ini ia dikaruniai enam putra, yang
kesemuanya menjadi abid dan imam-imam, kemudian menyusul kelahiran seorang
putrid yang diberi nama Amatur Rahim. Amatur Rahim adalah ibu Abd al-Ghafir,
seorang ahli sejarah Persia kenamaan, khususnya mengenai sejarah Naisabur.
Di antara sekian banyak kawan dan sahabatnya, yang
sangat besar pengaruhnya atas diri al-Qusyairi ialah Abu Abs al-Rahman
al-sulami, penulis Thabaqaat al-Shuufiyah dan Haqaa’iq al-Tafsiir;
dan Abu Ma’ali al-Juwaini yang menjabat sebagai Imam al-Haramain dan guru
al-Ghazali.
Di masa pemerintahan Sultan Tughrul, dan perdana menterinya,
al-Khandari, al-Qusyairi mengalami masa-maa pahit dalam hidupnya. Al-Khandari
mendapat perintah dari sultan Tughrul untuk memberi peringatan keras kepada
guru ahli bid’ah di masjid-masjid. Perintah ini bagi al-Khandari merupakan
peluang emas untuk membasmi golongan Asy’ariyah yang sangat dibencinya. Dendam
terselubung itu menyebabkan Asy’ariyah digolongkan sebagai ahli bid’ah oleh
al-Khandari.
Dengan adanya aksi kekerasan dan penangkapan yang
semena-mena, maka golongan ahli sunna mulai bergerak mengadakan perlawanan.
Diantara suara yang paling lantang dan keras terdengar adalah suara perlawanan
al-Qusyairi. Ia merasakan sekali betapa dirinya dispionase terus-menerus.
Memang, di antara figure yang tengah dibidik Perdana Menteri al-Khandari adalah
al-Qusyairi. Pada akhirnya Sultan Thughrul mengeluarkan perintah resmi
penangkapan kepada al-Qusyairi, Imam al-Haramain (al-Juwaini dan al-Furati.
Ketiga-ketiganya diasingkan dan diusir, serta berlaku larangan temu publik.
Ketika surat perintah itu dibacakan, serta merta
golongan biadab yang merasa mendapat angina, bertindak keji menyerang
al-Qusyairi dan menyeret ke lorong-lorong kota menuju penjara al-Qahandar.
Tindakan biadab itu mendapat perlawanan dari
pendukung al-Qusyairi, termasuk pula di dalamnya rakyat. Mereka bersatu untuk
menyelamatkan, tanpa memperdulikan kemurkaan penguasa. Tidak dapat dihindarkan
lagi, terjadilah pertempuran antara golongan penguasa dan rakyat pendukung
al-Qusyairi, yang berakhir dengan kemenangan di pihak rakyat. Setelah itu,
kobaran api fitnah mereda setelah keluar dari penjara al-Qusyairi memutuskan
merantau ke luar negeri. Langkah ini diambil demi keselamatan dan keutuhan
akidah yang di tanah airnya sendiri tidak ada jaminan, akibat merajalelanya
fitnah dan kekejaman penguasa.
Ia memutuskan mengembara, tidak kurang dari sepuluh
tahun, yang dimulai dari tahun 445 H sampai tahun 455 H. Selama perantauan,
yang ditemui bukan lagi fitnah dan dendam kesumat, melainkan kebalikan dari
semuanya itu. Ia dikagumi di mana saja ia singgah. Perhargaan dan penghormatan
diterimanya di tempat mana saja ia datang.
Puncak penghormatan yang ia peroleh adalah di kota
Bagdad, ketika khalifah al-Qa’im memegang tampuk kekuasaan, Ia adalah khalifah
yang langsung turun menyambut kedatangan al-Qusyairi dengan sambutan yang penuh
hormat dan takzim. Kemudian memberi peluang yang seluas-luasnya kepada
al-Qusyairi untuk mengadakan majelis-majelis pertemuan, bahkan ada sebagian
tempat yang dikhususkan untuknya. Baginda menyenangi pendapat-pendapatnya dan
tidak pula segan-segan menghadiri majelisnya secara berturut-turut.
Kesempatan indah ini ia peroleh dalam masjid-masjid
di Baghdad sekitar 448 H, dan peristiwa ini ditulis dalam buku al-Khaathib
al-Baghdaadi, oleh murid al-Qusyairi. Al-Baghdaadi menulis tentang gurunya
(al-Qusyairi) dengan singkat sebagai berikut: “Al-Qusyairi berkata kepada
kami…, kami pun menulis apa yang ia ucapkan… dan sungguh ia oranng yang dapat
dipercaya”.
Suatu ketika, di tengah perjalanan suci, ia bertemu
dengan sejumlah besar rombongan para imam dari Khurasan yang senasib dengan
al-Khusairi, sebagai manusia pelarian. Diantara mereka terdapat Imam
al-Haramain dan al-Baihaqi. Dari pertemuan yang mengharukan itu, muncul gagasan
untuk meminta kesediaan Abd al-Karim al-Qusyairi menguraikan hal-hal yang
pernah dialaminya; penderitaan karena berbagai penganiayaan yang tidak layak.
Usul itu diterima al-Qusyairi. Ia naik ke mimbar
memulai khotbahnya; ia terdiam, tidak sepatah kata pun yang keluar dari lisannya.
Ia memusatkan pandangannya ke atas, ke langit jauh, sambil berdoa, tidak lama
setelah itu ia menundukkan kepala memandang ke bumi. Sementara itu banyak orang
mengikuti gerak dan memandang wajahnya dengan teliti dan penuh keherana, lalu
ia memegang janggutnya, mendadak ia berteriak memecahkan keheningan, dengan
suara keras yang mengharukan:
“Wahai penduduk Khurasan…Negeri kalian!
Negeri kalian! Ketahuilah sesungguhnya al-Khandari, Perdana Menteri yang
menjadi musuh kalian, sekarang ini! Sekarang ini! … ia dicincang! Sungguh!
Sungguh! Apa yang terjadi saat ini kulihat nyata! Kulihat jelas, anggota
tubuhnya terpotong-potong”.
Kemudian ia mengumandangkan syair:
Orang
kepercayaan raja,
Leluasa
bertindak disokong gelapnya malam
Apa
pun yang diinginkan
Tidak
sulit tercapai karena ketinggian pangkat
Tidak
terjadi padamu akan sesuatu
Melainkan
itulah persoalan
Caci
maki terhadap kaum muslimin
Tiada
henti-hentinya tidak pula berkesudahan
Kini,
kini hadapilah malapetaka akibat perbuatanmu
Rasakan
sekarang apa yang layak bagimu
Itulah
keburukanmu, itulah tindakanmu.
Al-Subki
dalam kitabnya Thabaqaat al-Subkii menulis: “Saat bersamaan baik hari
maupun waktunya, memang pada saat itulah bertitah Sultan Tughrul agar Perdana
Menteri al-Khandari dibunuh dan anggota tubuhnya dipotong-potong dan dicincang,
kemudian disebarkan ke seluruh pelosok negeri”.
Dengan
tibanya Sultan Alib Arsala (paman Sultan Tughrul) sebagai pengganti kepala
Negara, sirnalah malapetaka, dan al-Qusyairi kembali ke tanah airnya. Ia hidup
di bawah perlindungan Perdana Menteri Agung
Nizham al-Muluk. Selama sepuluh tahun dalam keadaan aman dan tenteram,
penuh penghargaan dan kemuliaan, suasana damai dan tenang, mewah dan bahagia.
Dalam kesempatan yang indah ini, al-Qusyairi banyak menulis karya-karyanya dan
murid-muridnya bertambah; ia semakin berwibawa dan dihormati.
Di
bulan-bulan pertama tahun 465 H (1074 M) mulai terlihat kemunduran
kesehatannya, kelemahan sudah mulai mengalahkan kemampuannya. Walau kondisi
sudah demikian, ia masih tetap juga berusaha agar dapat tetap mendirikan sholat
dengan berdiri. Namun takdir berbicara lain, karena usia yang sudah lanjut dan
kesehatan semakin menurun, maka sebelum terbit matahari tanggal 16 Rabiul Akhir
tahun 465 H (1074 M) ia kembali kepada penciptanya. Ia dimakamkan bersebelahan
dengan Syekh dan mertuanya, Abu Ali al-Daqqaq, yang sampai saat ini makamnya
tidak pernah sepi dari penziarah.
Riwayat
al-Qusyairi setelah wafatnya tidak ikut terkubur bersama jasadnya, bahkan
menambah keharuman, penghargaan dan penghormatan. Menurut al-Sakhawi,
sepeninggalnya tak seorang pun yang mau memasuki rumahnya, apalagi menyentuh
pakaian peninggalan atau buku-bukunya. Tetapi, beberapa tahun kemudian
kengganan berubah berubah menjadi penghargaan
dan penghormatan kepadanya. Ibnu Katsir menuturkansebagaimana
diberitakan oleh al-Subki: “Al-Qusyairi mempunyai seekor kuda tunggangan yang
diperoleh sebagai hadiah dari seorang kawannya; kuda ini sangat disayangi, yang
selalu menjadi tunggangan kemana pun ia pergi. Sepeninggalnya, kuda itu pun
merasa kesedihan yang dalam. Ia mogok makan sampai mati, sebagai tanda
belasungkawa”.
Abu
Turab al-Maraghi dalam mimpinya bertemu al-Qusyairi, ia berkata: “Sebagaimana
diriku (al-Qusyairi), kau (Abu Turab) berada dalam sebaik-baik penghidupan dan
seindah-indah kesenangan”.