Selasa, 12 Juni 2012

Imam Al-Qusyairi Al-Naisaburi




Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abd al-Kariim ibn Hawaazin ibn Abd al-Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia  mendapat  julukan “Abu al-Qasim” dan “Zain al-Islam”. Al-Qusyairi terkenal berkat al-Risaalah, dikatakan sebagai mother of sufisme book.

Mengenai nasab dari ayah-bundanya, keturunan Arab, ayahnya dari kabilah Qusyair, dari Adnan, bersambung sampai Rabi’ah Ibn ‘Aamir, dari Hawazin. Oleh ahli sejarah Ibnu Hazm menyebutkan, bahwa keturunan Qusyair adalah yang mengarahke Barat, yaitu Andalusia, sewaktu “penaklukan dan pendudukan” ke Timur. Di antara mereka itu banyakorang-orang terpandang, antara lain ada yang menjabat sebagai gubernur, perwira-perwira tinggi dalam ketentaraan dan wali negeri di Khurasan dan Naisabur (Iran). Ibunya bernama Salmiah, saudara perempuan Abi “Aqiil Al-Almii (Pejabat tinggi Ustuwa).

Al-Qusyairi dilahirkan pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H, atau bulan Juli 986 M, di negeri Ustuwa, negeri yang searah dengan Naisabur, yang banyakterdapat dusun-dusun tempat kelahiran cendekiawan dan ulama-ulama terkenal. Ayahnya wafat di kala ia masih kanak-kanak, lalu oleh keluarganya diserahkan pada Abi Al-Qasim al-Alimani. Di sinilah ia memperoleh ajaran agama dan bahasa Arab. Sang guru sangat tertarik dengan sosok al-Qusyairi, sehingga terjalinlah keakraban guru-murid, melebihi hubungan keluarga.
Suasana  Negara pada saat itu dalam masaperalihan. Baru saja terjadi pemindahan kekuasaan pemerintahan dari  Ali Saman ke al-Ghaznawiyun. Akibatnya, terjadilah kemrosotan ekonomi yang dahsyat, serta tekanan terhadap rakyat makin menjadi-jadi. Negeri Ustuwa mengalami tekanan pajak berat, yang membutuhkan perbaikan secepatnya.

Mencermati situasi ini, para pemikir dan ahli berkumpul untuk memecahkan persoalan yang melanda Negara, yang diharapkan dapat membuahkan perhitungan setepat-tepatnya, untuk menyingkirkan kesulitan yang sedang dialami. Utusan dipersiapkan untuk berkunjung ke Naisabur guna keperluan penanggulangan keburukan ekonomi . Diantara anggota utusan itu adalah Abd al-Karim al-Qusyairi. Takdir  menentukan lain, di tengah perjalanan, al-Qusyairi  menyimpang arah ke Majelis Dakwah dan Hadis, Ilmu Kalam, Fiqih dan Tafsir. Ia betah di tempat tersebut dan menghabiskan sebagian waktunya untuk menimba ilmu.

Sementara itu, Naisabur dipenuhi para imam kenamaan, misalnya Ibnu Furik, Muhammad ibn Abu Bakar al-Thusi dan Abu Ishaq al-Isfarayani. Semuanya dijumpai oleh al-Qusyairi. Pertemuan itu berlanjut menjadi pelajaran dan pendidikan yang sangat berharga, hubungan yang tadinya bersifat biasa antara murid dengan guru, telah meningkat menjadi lebih erat lagi. Ia menampakkan bakat yang gemilang, dengan kemauan yang keras dan cara berpikir yang tinggi, gerak jiwanya mulai tampak , kesucian tangannya mulai terlihat, lisan dankecerdasannya sangat menonjol dankemahirannya mempesonakan, kesemuanya itu menyatu dalam dirinya, hingga membuat orang kagum padanya.

Ketika al-Qusyairi memusatkan seluruh himmah-nya terhadap majelis-majelis, tiba-tiba takdir membawa ia ke jurusan lain lagi. Tanpa disengaja, untuk pertama kalinya ia mendatangi  majelis al-Ustadz Abu Ali al-Daqqaq, yang ketika itu sedang mengajarkan hal-ihwal tasawuf dan menunjukkan maqam-maqam “para penempuh” ilmu tasawuf. Ajaran-ajaran itu diberikan secara bergilir, dari masjid ke masjid yang terdapat di sekitar Naisabur. Di sinilah al-Qusyairi merasa menemukan sesuatu yang selama ini dicari-carinya.
Selanjutnya, hubungan dengan al-Daqqaq makin erat dan ia tidak segan-segan mengatakan, bahwa al-Daqqaq-lah guru yang mengilhami  dan menuntun pemikirannya.

Hubungan ia  dengan guru ini diberkahi Allah, sehingga sang guru mengambil ia menjadi menantunya, maka dilangsungkanlah pernikahannya dengan putrid tunggal sang guru, yang bernama Fathimah. Dari pernikahan ini ia dikaruniai enam putra, yang kesemuanya menjadi abid dan imam-imam, kemudian menyusul kelahiran seorang putrid yang diberi nama Amatur Rahim. Amatur Rahim adalah ibu Abd al-Ghafir, seorang ahli sejarah Persia kenamaan, khususnya mengenai sejarah Naisabur.

Di antara sekian banyak kawan dan sahabatnya, yang sangat besar pengaruhnya atas diri al-Qusyairi ialah Abu Abs al-Rahman al-sulami, penulis Thabaqaat al-Shuufiyah dan Haqaa’iq al-Tafsiir; dan Abu Ma’ali al-Juwaini yang menjabat sebagai Imam al-Haramain dan guru al-Ghazali.
Di masa pemerintahan Sultan Tughrul, dan perdana menterinya, al-Khandari, al-Qusyairi mengalami masa-maa pahit dalam hidupnya. Al-Khandari mendapat perintah dari sultan Tughrul untuk memberi peringatan keras kepada guru ahli bid’ah di masjid-masjid. Perintah ini bagi al-Khandari merupakan peluang emas untuk membasmi golongan Asy’ariyah yang sangat dibencinya. Dendam terselubung itu menyebabkan Asy’ariyah digolongkan sebagai ahli bid’ah oleh al-Khandari.

Dengan adanya aksi kekerasan dan penangkapan yang semena-mena, maka golongan ahli sunna mulai bergerak mengadakan perlawanan. Diantara suara yang paling lantang dan keras terdengar adalah suara perlawanan al-Qusyairi. Ia merasakan sekali betapa dirinya dispionase terus-menerus. Memang, di antara figure yang tengah dibidik Perdana Menteri al-Khandari adalah al-Qusyairi. Pada akhirnya Sultan Thughrul mengeluarkan perintah resmi penangkapan kepada al-Qusyairi, Imam al-Haramain (al-Juwaini dan al-Furati. Ketiga-ketiganya diasingkan dan diusir, serta berlaku larangan temu publik.

Ketika surat perintah itu dibacakan, serta merta golongan biadab yang merasa mendapat angina, bertindak keji menyerang al-Qusyairi dan menyeret ke lorong-lorong kota menuju penjara al-Qahandar.
Tindakan biadab itu mendapat perlawanan dari pendukung al-Qusyairi, termasuk pula di dalamnya rakyat. Mereka bersatu untuk menyelamatkan, tanpa memperdulikan kemurkaan penguasa. Tidak dapat dihindarkan lagi, terjadilah pertempuran antara golongan penguasa dan rakyat pendukung al-Qusyairi, yang berakhir dengan kemenangan di pihak rakyat. Setelah itu, kobaran api fitnah mereda setelah keluar dari penjara al-Qusyairi memutuskan merantau ke luar negeri. Langkah ini diambil demi keselamatan dan keutuhan akidah yang di tanah airnya sendiri tidak ada jaminan, akibat merajalelanya fitnah dan kekejaman penguasa.

Ia memutuskan mengembara, tidak kurang dari sepuluh tahun, yang dimulai dari tahun 445 H sampai tahun 455 H. Selama perantauan, yang ditemui bukan lagi fitnah dan dendam kesumat, melainkan kebalikan dari semuanya itu. Ia dikagumi di mana saja ia singgah. Perhargaan dan penghormatan diterimanya di tempat mana saja ia datang.

Puncak penghormatan yang ia peroleh adalah di kota Bagdad, ketika khalifah al-Qa’im memegang tampuk kekuasaan, Ia adalah khalifah yang langsung turun menyambut kedatangan al-Qusyairi dengan sambutan yang penuh hormat dan takzim. Kemudian memberi peluang yang seluas-luasnya kepada al-Qusyairi untuk mengadakan majelis-majelis pertemuan, bahkan ada sebagian tempat yang dikhususkan untuknya. Baginda menyenangi pendapat-pendapatnya dan tidak pula segan-segan menghadiri majelisnya secara berturut-turut.
Kesempatan indah ini ia peroleh dalam masjid-masjid di Baghdad sekitar 448 H, dan peristiwa ini ditulis dalam buku al-Khaathib al-Baghdaadi, oleh murid al-Qusyairi. Al-Baghdaadi menulis tentang gurunya (al-Qusyairi) dengan singkat sebagai berikut: “Al-Qusyairi berkata kepada kami…, kami pun menulis apa yang ia ucapkan… dan sungguh ia oranng yang dapat dipercaya”.

Suatu ketika, di tengah perjalanan suci, ia bertemu dengan sejumlah besar rombongan para imam dari Khurasan yang senasib dengan al-Khusairi, sebagai manusia pelarian. Diantara mereka terdapat Imam al-Haramain dan al-Baihaqi. Dari pertemuan yang mengharukan itu, muncul gagasan untuk meminta kesediaan Abd al-Karim al-Qusyairi menguraikan hal-hal yang pernah dialaminya; penderitaan karena berbagai penganiayaan yang tidak layak.

Usul itu diterima al-Qusyairi. Ia naik ke mimbar memulai khotbahnya; ia terdiam, tidak sepatah kata pun yang keluar dari lisannya. Ia memusatkan pandangannya ke atas, ke langit jauh, sambil berdoa, tidak lama setelah itu ia menundukkan kepala memandang ke bumi. Sementara itu banyak orang mengikuti gerak dan memandang wajahnya dengan teliti dan penuh keherana, lalu ia memegang janggutnya, mendadak ia berteriak memecahkan keheningan, dengan suara keras yang mengharukan:
“Wahai penduduk Khurasan…Negeri kalian! Negeri kalian! Ketahuilah sesungguhnya al-Khandari, Perdana Menteri yang menjadi musuh kalian, sekarang ini! Sekarang ini! … ia dicincang! Sungguh! Sungguh! Apa yang terjadi saat ini kulihat nyata! Kulihat jelas, anggota tubuhnya terpotong-potong”.

Kemudian ia mengumandangkan syair:  

Orang kepercayaan raja,
Leluasa bertindak disokong gelapnya malam
Apa pun yang diinginkan
Tidak sulit tercapai karena ketinggian pangkat
Tidak terjadi padamu akan sesuatu
Melainkan itulah persoalan
Caci maki terhadap kaum muslimin
Tiada henti-hentinya tidak pula berkesudahan
Kini, kini hadapilah malapetaka akibat perbuatanmu
Rasakan sekarang apa yang layak bagimu
Itulah keburukanmu, itulah tindakanmu.

Al-Subki dalam kitabnya Thabaqaat al-Subkii menulis: “Saat bersamaan baik hari maupun waktunya, memang pada saat itulah bertitah Sultan Tughrul agar Perdana Menteri al-Khandari dibunuh dan anggota tubuhnya dipotong-potong dan dicincang, kemudian disebarkan ke seluruh pelosok negeri”.

Dengan tibanya Sultan Alib Arsala (paman Sultan Tughrul) sebagai pengganti kepala Negara, sirnalah malapetaka, dan al-Qusyairi kembali ke tanah airnya. Ia hidup di bawah perlindungan Perdana Menteri Agung  Nizham al-Muluk. Selama sepuluh tahun dalam keadaan aman dan tenteram, penuh penghargaan dan kemuliaan, suasana damai dan tenang, mewah dan bahagia. Dalam kesempatan yang indah ini, al-Qusyairi banyak menulis karya-karyanya dan murid-muridnya bertambah; ia semakin berwibawa dan dihormati.

Di bulan-bulan pertama tahun 465 H (1074 M) mulai terlihat kemunduran kesehatannya, kelemahan sudah mulai mengalahkan kemampuannya. Walau kondisi sudah demikian, ia masih tetap juga berusaha agar dapat tetap mendirikan sholat dengan berdiri. Namun takdir berbicara lain, karena usia yang sudah lanjut dan kesehatan semakin menurun, maka sebelum terbit matahari tanggal 16 Rabiul Akhir tahun 465 H (1074 M) ia kembali kepada penciptanya. Ia dimakamkan bersebelahan dengan Syekh dan mertuanya, Abu Ali al-Daqqaq, yang sampai saat ini makamnya tidak pernah sepi dari penziarah.

Riwayat al-Qusyairi setelah wafatnya tidak ikut terkubur bersama jasadnya, bahkan menambah keharuman, penghargaan dan penghormatan. Menurut al-Sakhawi, sepeninggalnya tak seorang pun yang mau memasuki rumahnya, apalagi menyentuh pakaian peninggalan atau buku-bukunya. Tetapi, beberapa tahun kemudian kengganan berubah berubah menjadi penghargaan  dan penghormatan kepadanya. Ibnu Katsir menuturkansebagaimana diberitakan oleh al-Subki: “Al-Qusyairi mempunyai seekor kuda tunggangan yang diperoleh sebagai hadiah dari seorang kawannya; kuda ini sangat disayangi, yang selalu menjadi tunggangan kemana pun ia pergi. Sepeninggalnya, kuda itu pun merasa kesedihan yang dalam. Ia mogok makan sampai mati, sebagai tanda belasungkawa”.

Abu Turab al-Maraghi dalam mimpinya bertemu al-Qusyairi, ia berkata: “Sebagaimana diriku (al-Qusyairi), kau (Abu Turab) berada dalam sebaik-baik penghidupan dan seindah-indah kesenangan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...