(80) Al-Barru (Yang Maha Baik / Dermawan)
Al-Barr merupakan nama-nama Allah yang bisa dijumpai
dalam al-Qur’an, seperti firman-Nya:
“Innahu huwa al-barru al-rahiim”
Artinya: “Sungguh Dialah Yang Maha Baik lagi Maha
Penyayang” (QS. al-Thuur [52]: 28).
Al-Barr adalah al-Muhsin (yang berbuat
kebaikan). Al-Barr bagi makhluk berarti melaksanakan perbuatan baik
terus-menerus.
Apabila Allah Swt berbuat baik kepada seorang hamba, niscaya
dirinya diayomi atau dilindungi dari perbuatan yang melanggar, akan dikekalkan
dengan berbagai macam kelemah-lembutan dan kesenangan; akan memberinya semangat
yang bersungguh-sungguh dan menjadikan taufik sebagai bekal jalan lurus sebagai
pedoman hidupnya. Lebih dari itu, akan didatangkan rasa kaya dalam hatinya,
sehingga ia merasa tidak membutuhkan orang lain. Karena ia sudah merasa
dikayakan oleh Allah Swt Ia juga akan dicegah dari mengkhianati Allah.
Singkatnya, ia adalah si kaya tanpa harta, mulia tanpa nasab, tak ada yang
menandinginya; dialah raja tanpa takhta, yang tidak memerlukan prajurit atau
tentara.
Sudah sepantasnya bagi mereka yang sudah mengenal bahwa
Dialah al-Barr untuk meneladani-Nya agar ia pun menjadi seorang yang
senantiasa berbuat baik kepada setiap manusia, dan secara khusus kepada kedua
orang tuanya.
Nabi saw bersabda:
Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orangtua,
dan kemurkaan-Nya tergantung kepada kemurkaan kedua orangtuanya.
Dikisahkan, Nabi Musa as. ketika ia diajak berbicara oleh
Allah Swt melihat ada seseorang berdiri pada saaq al-Arasy (kaki
Singgasanan Allah). Nabi Musa sangat kagum dengan orang ini. Ia bertanya kepada
Allah: “Ya Tuhanku! Apakah yang menyebabkan hamba-Mu ini mendapat posisi
istimewa di sisi-Mu?” Allah berfirman: “Ia bukanlah seorang pendengki; tidak
pula iri kepada seorang hamba dari hamba-hamba-Ku yang Aku karuniakan kepada
mereka, dan kepada kedua orangtuanya yang berbuat baik (baar)”.
Dikisahkan pula tentang al-Hasan ibn Ali ra., ia enggan
makan bersama ibundanya. Sang ibu menanyakan keengganan anaknya itu. Kemudia al-Hasan
menjawab: “Wahai Bunda! Aku takut kalau Bunda menginginkan suatu hidangan, lalu
aku mendahului Bunda, sedangkan aku tidak tahu. Lalu bagaiman jadinya kalau hal
yang demikian terjadi”. Sang ibu menjawab: “Makanlah bersamaku, wahai putraku!
Apa pun yang terjadi kuhalalkan bagimu”.
Pantas kiranya dijadikan sebagai perbandingan bagi kita
bahwa kebaktian para murid terhadap para syekh dan guru harus lebih banyak
ketimbang kepada kedua orangtua. Kedua orangtua hanya menjaganya dari kerusakan
dunia, sedangkan sang syekh atau guru menjaga dari kerusakan akhirat. Orangtua
memelihara dengan nikmat dan para syekh memelihara dengan bersungguh-sungguh.
<=== To Be Continued ===>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar