Rabu, 10 Oktober 2012

(80) Asma al-Husna : Al-Barru




(80) Al-Barru (Yang Maha Baik / Dermawan)

 Al-Barr merupakan nama-nama Allah yang bisa dijumpai dalam al-Qur’an, seperti firman-Nya:

“Innahu huwa al-barru al-rahiim”

Artinya: “Sungguh Dialah Yang Maha Baik lagi Maha Penyayang” (QS. al-Thuur [52]: 28).

Al-Barr adalah al-Muhsin (yang berbuat kebaikan). Al-Barr bagi makhluk berarti melaksanakan perbuatan baik terus-menerus.

Apabila Allah Swt berbuat baik kepada seorang hamba, niscaya dirinya diayomi atau dilindungi dari perbuatan yang melanggar, akan dikekalkan dengan berbagai macam kelemah-lembutan dan kesenangan; akan memberinya semangat yang bersungguh-sungguh dan menjadikan taufik sebagai bekal jalan lurus sebagai pedoman hidupnya. Lebih dari itu, akan didatangkan rasa kaya dalam hatinya, sehingga ia merasa tidak membutuhkan orang lain. Karena ia sudah merasa dikayakan oleh Allah Swt Ia juga akan dicegah dari mengkhianati Allah. Singkatnya, ia adalah si kaya tanpa harta, mulia tanpa nasab, tak ada yang menandinginya; dialah raja tanpa takhta, yang tidak memerlukan prajurit atau tentara.

Sudah sepantasnya bagi mereka yang sudah mengenal bahwa Dialah al-Barr untuk meneladani-Nya agar ia pun menjadi seorang yang senantiasa berbuat baik kepada setiap manusia, dan secara khusus kepada kedua orang tuanya.
Nabi saw bersabda:

Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orangtua, dan kemurkaan-Nya tergantung kepada kemurkaan kedua orangtuanya.

Dikisahkan, Nabi Musa as. ketika ia diajak berbicara oleh Allah Swt melihat ada seseorang berdiri pada saaq al-Arasy (kaki Singgasanan Allah). Nabi Musa sangat kagum dengan orang ini. Ia bertanya kepada Allah: “Ya Tuhanku! Apakah yang menyebabkan hamba-Mu ini mendapat posisi istimewa di sisi-Mu?” Allah berfirman: “Ia bukanlah seorang pendengki; tidak pula iri kepada seorang hamba dari hamba-hamba-Ku yang Aku karuniakan kepada mereka, dan kepada kedua orangtuanya yang berbuat baik (baar)”.

Dikisahkan pula tentang al-Hasan ibn Ali ra., ia enggan makan bersama ibundanya. Sang ibu menanyakan keengganan anaknya itu. Kemudia al-Hasan menjawab: “Wahai Bunda! Aku takut kalau Bunda menginginkan suatu hidangan, lalu aku mendahului Bunda, sedangkan aku tidak tahu. Lalu bagaiman jadinya kalau hal yang demikian terjadi”. Sang ibu menjawab: “Makanlah bersamaku, wahai putraku! Apa pun yang terjadi kuhalalkan bagimu”.

Pantas kiranya dijadikan sebagai perbandingan bagi kita bahwa kebaktian para murid terhadap para syekh dan guru harus lebih banyak ketimbang kepada kedua orangtua. Kedua orangtua hanya menjaganya dari kerusakan dunia, sedangkan sang syekh atau guru menjaga dari kerusakan akhirat. Orangtua memelihara dengan nikmat dan para syekh memelihara dengan bersungguh-sungguh.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...