( 99) Al-Shabuur (Yang Maha Penyabar)
Al-Shabuur sebagai sifat Allah adalah al-Haliim
(Yang Tetap dapat menahan amarah). Al-Shabuur dalam bahasa berarti memenjarakan.
Sebagaimana yang lazim dikatakan, bahwa bulan puasa adalah bulan kesabaran,
karena memang pada bulan puasa itu orang-orang memenjarakan nafsunya dari
segala syahwat. Manusia pada saat itu harus bersabar diri dari dan atas
sesuatu.
Untuk menyifati Allah dengan arti memenjarakan tidaklah
mengena, dan yang demikian itu merendahkan martabat Tuhan semesta alam. Tatapi
bagi Allah Swt berlaku arti pengunduran balas siksa dengan al-Hilm (Maha
Santun yang berlapang dada menahan amarah).
Ada
tiga tingkat sabar bagi hamba; pertama, al-Tashabbur (menyamarkan
diri), yaitu menanggung berat derita dan tekanan kekerasan. Kedua, al-Shabr
(bersabar), yaitu merasa mudah menanggung apa yang sedang dihadapi dari
berbagai macam ketentuan, aneka bencana dan bala’. Ketiga, al-Ishthibaar
(puncak kesabaran), yang ditandai dengan keintiman atau keakraban terhadap
kesabaran, sehingga tidak ada lagi terasa berat, bahkan diliputi kelapangan dan
ketenangan, bagaikan bunyi syair:
Kubiasakan diri menyentuh kesabaran,
aku pun intim senyawa dengannya.
Diriku kuserahkan pada kebaikan
rasa hati terhibur bersama-Nya.
Syair lain menyatakan:
Penyabar menyabarkan diri,
sehingga kesabaran pun meminta tolong kepadanya,
Menjeritlah sang pengasih dengan kesabaran,
bersabarlah.
Bukanlah dikatakan kesabaran atas mereka yang menutup lisan
dari sebutan bala’, tetapi janganlah hendaknya engkau menentang dengan hatimu
atas qadha dan takdir Allah Swt, lalu engkau pun menyebut perihal dirimu
kepada-Nya dan melaporkan kisahmu, sebagaimana yang terjadi atas diri Nabi
Ayyub as. “…Sesungguhnya aku disentuh oleh syaitan dengan kepayahan dan
serita siksa” (QS. Shad [38] : 41).
Ayyub berkata lagi: “…Sesungguhnya diriku ditimpa
kepayahan…” (QS. al-Anbiya [21] : 83). Namun, semuanya dihadapi dengan
kerelaan hati, dan ia tetap berprasangka baik kepada Allah, sehingga Allah pun
memujinya: “Sesungguhnya Kami dapati Ayyub penuh dengan kesabaran” (QS.
Shad [38] : 44).
Orang-orang sufi sepakat dalam pendiriannya, bahwa syarat
kesabaran itu adalah seseorang tidak akan bernafas selain dengan izin-Nya dan
tidak membawa berjalan selain hukum-Nya Swt. Mereka bermadah:
Bila derita sakit layak untukku
Rasa bersyukur layak pula bagiku
Lakukan siksa apa pun!
Tiadalah hati akan mengatakan: “Tunggu”.
Menurut al-Junaid, “Hakikat kesabaran itu adalah
tajarru’ (minum sekali teguk) terhadap balak tanpa wajah cemberut”.
Konon diceritakan perihal Nabi Ayyub a.s., pada suatu hari
ia menerima wahyu dari Allah Swt: “Hai Ayyub! Mengapa engkau mengadukan Daku?”
Nabi Ayyub bertanya: “Ilahi! Kepada siapa daku mengadukan perihal-Mu, sedangkan
suara rintihanku tidak pernah terdengar oleh orang lain?” Allah menjawab:
“Engkau mengadukan diri-Ku kepada musuhmu yang paling besar, yaitu dirimu
sendiri”.
Suatu perumpamaan yang amat tepat sekali adalah, bersabar
atas hukum Allah Azza wa Jalla hendaknya seperti mayat di tangan orang
yang memandikan, diapakan saja mengikuti kehendak yang memandikan.
Perbedaan antara al-Haliim dan al-Shabuur bagi
makhluk: al-Haliim adalah memberi maaf kepada orang yang bersalah tanpa
merasa keberatan dan tidak sampai menjadikan derita yang memayahkan. Sedang al-Shabuur
adalah berupaya membujuk perangai dirinya dan memikul kejelekan perangai itu
sebagai beban yang sedang diderita.
Dihikayatkan tentang al-Ahnaf ibn Qais, bahwa ia mengatakan
perihal dirinya: “Aku ini adalah seorang yang shabuur dan bukanlah
seorang yang haliim.
Ia terkenal ke-haliim-annya sampai dijadikan contoh
pada peristiwa di bawah ini:
Ia biasa pulang melewati sebuah lorong, dan setiap kali
diikuti oleh “pengganggu” yang selalu mengikuti dari belakang, mengejek dan
mentertawakan, bahkan sampai berani menghina ia. Perlakuan ini tidak hanya
sekali saja dialaminya, bahkan berulang kali, tetapi selalu didiamkannya.
Pernah kali terjadi ketika ia sudah berada di dekat halaman rumahnya, ia
berhenti dan kepada pengganggu itu ia berkata: “Jika sekiranya masih ada dalam
hatimu sesuatu yang hendak engkau katakan, katakanlah sekarang! Karena kalau
sampai terdengar oleh pemuda-pemuda kampungku, mereka akan menghadapimu dengan
sesuatu yang tidak engkau senangi”.
Kesabaran yang diwajibkan kepada seorang hamba adalah
kesabaran menerima perintah Allah Swt terhadap dirinya dengan penuh ketaatan; sabar
atas apa yang dilarang dan diharamkan; dan bersikap tenang menerima qadha dan
takdir-Nya.
Semoga Allah berkenan menganugerahi kita semua dengan
anugerah indah dan membimbing kita masuk ke surga-Nya dengan rahmat, karunia
dan kemurahan-Nya. Salawat dan salam kepada junjungan Nabi kita, Muhammad saw,
penghulu sekaligus Rasul pemimpin umat dan pembentang sunnah, juga kepala
keluarga, sahabat dan umatnya.
<=== To Be Continued ===>