Rabu, 10 Oktober 2012

( 99) Asma al-Husna : Al-Shabuur




( 99) Al-Shabuur (Yang Maha Penyabar)

 Al-Shabuur sebagai sifat Allah adalah al-Haliim (Yang Tetap dapat menahan amarah). Al-Shabuur dalam bahasa berarti memenjarakan. Sebagaimana yang lazim dikatakan, bahwa bulan puasa adalah bulan kesabaran, karena memang pada bulan puasa itu orang-orang memenjarakan nafsunya dari segala syahwat. Manusia pada saat itu harus bersabar diri dari dan atas sesuatu.

Untuk menyifati Allah dengan arti memenjarakan tidaklah mengena, dan yang demikian itu merendahkan martabat Tuhan semesta alam. Tatapi bagi Allah Swt berlaku arti pengunduran balas siksa dengan al-Hilm (Maha Santun yang berlapang dada menahan amarah).

Ada tiga tingkat sabar bagi hamba; pertama, al-Tashabbur (menyamarkan diri), yaitu menanggung berat derita dan tekanan kekerasan. Kedua, al-Shabr (bersabar), yaitu merasa mudah menanggung apa yang sedang dihadapi dari berbagai macam ketentuan, aneka bencana dan bala’. Ketiga, al-Ishthibaar (puncak kesabaran), yang ditandai dengan keintiman atau keakraban terhadap kesabaran, sehingga tidak ada lagi terasa berat, bahkan diliputi kelapangan dan ketenangan, bagaikan bunyi syair:

Kubiasakan diri menyentuh kesabaran,
aku pun intim senyawa dengannya.
Diriku kuserahkan pada kebaikan
rasa hati terhibur bersama-Nya.

Syair lain menyatakan:

Penyabar menyabarkan diri,
sehingga kesabaran pun meminta tolong kepadanya,
Menjeritlah sang pengasih dengan kesabaran,
bersabarlah.

Bukanlah dikatakan kesabaran atas mereka yang menutup lisan dari sebutan bala’, tetapi janganlah hendaknya engkau menentang dengan hatimu atas qadha dan takdir Allah Swt, lalu engkau pun menyebut perihal dirimu kepada-Nya dan melaporkan kisahmu, sebagaimana yang terjadi atas diri Nabi Ayyub as. “…Sesungguhnya aku disentuh oleh syaitan dengan kepayahan dan serita siksa” (QS. Shad [38] : 41).
Ayyub berkata lagi: “…Sesungguhnya diriku ditimpa kepayahan…” (QS. al-Anbiya [21] : 83). Namun, semuanya dihadapi dengan kerelaan hati, dan ia tetap berprasangka baik kepada Allah, sehingga Allah pun memujinya: “Sesungguhnya Kami dapati Ayyub penuh dengan kesabaran” (QS. Shad [38] : 44).

Orang-orang sufi sepakat dalam pendiriannya, bahwa syarat kesabaran itu adalah seseorang tidak akan bernafas selain dengan izin-Nya dan tidak membawa berjalan selain hukum-Nya Swt. Mereka bermadah:

Bila derita sakit layak untukku
Rasa bersyukur layak pula bagiku
Lakukan siksa apa pun!
Tiadalah hati akan mengatakan: “Tunggu”.

Menurut al-Junaid, “Hakikat kesabaran itu adalah tajarru’ (minum sekali teguk) terhadap balak tanpa wajah cemberut”.

Konon diceritakan perihal Nabi Ayyub a.s., pada suatu hari ia menerima wahyu dari Allah Swt: “Hai Ayyub! Mengapa engkau mengadukan Daku?” Nabi Ayyub bertanya: “Ilahi! Kepada siapa daku mengadukan perihal-Mu, sedangkan suara rintihanku tidak pernah terdengar oleh orang lain?” Allah menjawab: “Engkau mengadukan diri-Ku kepada musuhmu yang paling besar, yaitu dirimu sendiri”.

Suatu perumpamaan yang amat tepat sekali adalah, bersabar atas hukum Allah Azza wa Jalla hendaknya seperti mayat di tangan orang yang memandikan, diapakan saja mengikuti kehendak yang memandikan.

Perbedaan antara al-Haliim dan al-Shabuur bagi makhluk: al-Haliim adalah memberi maaf kepada orang yang bersalah tanpa merasa keberatan dan tidak sampai menjadikan derita yang memayahkan. Sedang al-Shabuur adalah berupaya membujuk perangai dirinya dan memikul kejelekan perangai itu sebagai beban yang sedang diderita.

Dihikayatkan tentang al-Ahnaf ibn Qais, bahwa ia mengatakan perihal dirinya: “Aku ini adalah seorang yang shabuur dan bukanlah seorang yang haliim.

Ia terkenal ke-haliim-annya sampai dijadikan contoh pada peristiwa di bawah ini:

Ia biasa pulang melewati sebuah lorong, dan setiap kali diikuti oleh “pengganggu” yang selalu mengikuti dari belakang, mengejek dan mentertawakan, bahkan sampai berani menghina ia. Perlakuan ini tidak hanya sekali saja dialaminya, bahkan berulang kali, tetapi selalu didiamkannya. Pernah kali terjadi ketika ia sudah berada di dekat halaman rumahnya, ia berhenti dan kepada pengganggu itu ia berkata: “Jika sekiranya masih ada dalam hatimu sesuatu yang hendak engkau katakan, katakanlah sekarang! Karena kalau sampai terdengar oleh pemuda-pemuda kampungku, mereka akan menghadapimu dengan sesuatu yang tidak engkau senangi”.

Kesabaran yang diwajibkan kepada seorang hamba adalah kesabaran menerima perintah Allah Swt terhadap dirinya dengan penuh ketaatan; sabar atas apa yang dilarang dan diharamkan; dan bersikap tenang menerima qadha dan takdir-Nya.

Semoga Allah berkenan menganugerahi kita semua dengan anugerah indah dan membimbing kita masuk ke surga-Nya dengan rahmat, karunia dan kemurahan-Nya. Salawat dan salam kepada junjungan Nabi kita, Muhammad saw, penghulu sekaligus Rasul pemimpin umat dan pembentang sunnah, juga kepala keluarga, sahabat dan umatnya.

 <===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...