Rabu, 10 Oktober 2012

(97) Asma al-Husna : Al-Baaqii




(97) Al-Baaqii (Yang Maha Kekal)

 Al-Baaqii, hakikatnya adalah al-Baqaa (tetap tinggal, kekal tidak berkesudahan), yang demikian itu adalah satu dari sifat-sifat Zat Allah.

Atas hamba diwajibkan agar kukuh memelihara makrifat-Nya yang berarti bahwa setiap makhluk tidak diperbolehkan bersifat dengan sifat-sifat Zat al-Haq. Maka tidaklah sang makhluk berilmu dengan ilmu-Nya, tidak hidup dengan hidup-Nya, tidak kekal dengan kekekalan-Nya, karena sifat Qadiim (lawan Haadits) tidak mungkin berdiri dengan zat yang haadits; begitu juga kebalikannya. Maka camkan baik-baik uraian di atas, dan ini merupakan inti tauhid.

Barangsiapa yang menyangka dengan prasangka yang menjadi kebalikan dari apa yang tersebut di atas, maka ia telah keluar dari agama, lepas keislamannya, dan itulah ahli bid’ah yang sebesar-besarnya, melebihi keburukan Nasrani yang mengatakan, bahwa “Al-Kalimah yang Qadiim telah bersatu dengan zat Isa as”.

Termasuk dalam bid’ah berat pendirian aliran orang-orang Huluulii yang menerima anggapan bahwa zat al-Haq dapat bertempat tinggal dalam benda-benda ciptaan-Nya. Pendirian mereka ini mungkin berpegang pada hadis Nabi saw yang masyhur:

“…maka apabila Aku telah mencintainya, niscaya Aku akan menjadi bagi-Nya sebagai pendengaran dan penglihatan, maka dengan-Ku ia dapat mendengar dan dengan-Ku ia dapat melihat”.

Sabda Rasulullah saw.. di atas tidak layak dijadikan alasan penguat pendirian mereka, karena Allah Swt tidak berfirman bahwa yang dicintai itu dapat mendengar dengan pendengaran-Nya dan dapat melihat dengan penglihatan-Nya akan tetapi hanya dengan-Ku yang berarti dengan pertolongan-Ku atau dengan bantuan-Ku.

Sudah ada kesepakatan, bahwa Allah Swt Yang Maha Kudus tidak menjadikan pendengaran maupun penglihatan-Nya sebagai pendengaran dan penglihatan sang hamba. Jika sudah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, diwajibkan bagi hamba untuk kembali pada takwil yang benar, bukan takwil semaunya sendiri. Pangkal bid’ah ini adalah anggapan bahwa “ucapan seorang hamba dalam pembacaan al-Qur’an bukan ciptaan”. Alasannya, adalah “Lisan hamba yang haadits (ciptaan) dapat mengucapkan al-Qur’an yang Qadiim dan dapat didengar pula”.

Karena itu, dari bukti di atas semakin bertambah rumit pendirian mereka. Sehingga berani menyimpulkan: “Seorang hamba dapat menjadi kekal dengan kekuatan Yang Maha Kekal, dan menjadi pewaris setelah kefanaan para makhluk”.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...