(97) Al-Baaqii (Yang Maha Kekal)
Al-Baaqii, hakikatnya adalah al-Baqaa (tetap
tinggal, kekal tidak berkesudahan), yang demikian itu adalah satu dari
sifat-sifat Zat Allah.
Atas hamba diwajibkan agar kukuh memelihara makrifat-Nya
yang berarti bahwa setiap makhluk tidak diperbolehkan bersifat dengan
sifat-sifat Zat al-Haq. Maka tidaklah sang makhluk berilmu dengan ilmu-Nya,
tidak hidup dengan hidup-Nya, tidak kekal dengan kekekalan-Nya, karena sifat Qadiim
(lawan Haadits) tidak mungkin berdiri dengan zat yang haadits;
begitu juga kebalikannya. Maka camkan baik-baik uraian di atas, dan ini
merupakan inti tauhid.
Barangsiapa yang menyangka dengan prasangka yang menjadi
kebalikan dari apa yang tersebut di atas, maka ia telah keluar dari agama,
lepas keislamannya, dan itulah ahli bid’ah yang sebesar-besarnya,
melebihi keburukan Nasrani yang mengatakan, bahwa “Al-Kalimah yang Qadiim
telah bersatu dengan zat Isa as”.
Termasuk dalam bid’ah berat pendirian aliran
orang-orang Huluulii yang menerima anggapan bahwa zat al-Haq dapat
bertempat tinggal dalam benda-benda ciptaan-Nya. Pendirian mereka ini mungkin
berpegang pada hadis Nabi saw yang masyhur:
“…maka apabila Aku telah mencintainya, niscaya Aku akan
menjadi bagi-Nya sebagai pendengaran dan penglihatan, maka dengan-Ku ia dapat
mendengar dan dengan-Ku ia dapat melihat”.
Sabda Rasulullah saw.. di atas tidak layak dijadikan alasan
penguat pendirian mereka, karena Allah Swt tidak berfirman bahwa yang dicintai
itu dapat mendengar dengan pendengaran-Nya dan dapat melihat dengan
penglihatan-Nya akan tetapi hanya dengan-Ku yang berarti dengan pertolongan-Ku
atau dengan bantuan-Ku.
Sudah ada kesepakatan, bahwa Allah Swt Yang Maha Kudus tidak
menjadikan pendengaran maupun penglihatan-Nya sebagai pendengaran dan
penglihatan sang hamba. Jika sudah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya,
diwajibkan bagi hamba untuk kembali pada takwil yang benar, bukan takwil
semaunya sendiri. Pangkal bid’ah ini adalah anggapan bahwa “ucapan
seorang hamba dalam pembacaan al-Qur’an bukan ciptaan”. Alasannya, adalah
“Lisan hamba yang haadits (ciptaan) dapat mengucapkan al-Qur’an yang Qadiim
dan dapat didengar pula”.
Karena itu, dari bukti di atas semakin bertambah rumit
pendirian mereka. Sehingga berani menyimpulkan: “Seorang hamba dapat menjadi
kekal dengan kekuatan Yang Maha Kekal, dan menjadi pewaris setelah kefanaan
para makhluk”.
<=== To Be Continued ===>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar