Wacana tentang Allah dalam sejarah Islam, sudah banyak disajikan dalam literatur Islam klasik maupun kontemporer. Literatur-literatur yang memfokuskan pada Asma Allah yang indah (al-Asma al-Husna), juga berlimpah.
Dalam penulisan perdana saya ini, sengaja saya awali dengan menuliskan kembali isi dari buku 'Allah di Mata Sufi' secara seri dalam blog www.cinta-robbi.blogspot.com. Dengan hadirnya tulisan blog ini, semoga para pembaca bisa lebih mengenal Allah Swt dan menambah rasa cinta pembaca kepada Sang Khaliq (Allah Swt).
Karya al-Qusyairi dalam buku ciptaanya yang berjudul al-Tahbir fi al-Tadzkir mempunyai keistemawan dan keunikan tersendiri. Dari segi urutan nama-nama Allah, ia memasukkan: Allah, la ilaha illa Allah, Huwa, al-Jamil, serta al-Kafi, sedangkan al-Rahman dan al-Rahim tidak dimasukkan.
Kondisi manusia modern – sebagaimana digambarkan oleh Dr.
Rollo May, seorang psikoanalis – telah mengalami keadaan yang dianggap sebagai
“kehampaan spiritual orang modern”. Sehingga T.S. Elliot, dalam bait-bait
puisinya dengan tepat menggambarkan:
Kami adalah
orang-orang hampa
Yang hidup dalam
kesesakan
Kepada kami
berselubung jerami. Sayang!
Dibentuk tanpa bentuk,
dinaungi tanpa warna
Kekuatan-kekuatan kami
timpang.
Kehampaan spiritual ini, disebabkan manusia, meskipun tahu
tentang Allah, namun ia belum mengenal-Nya secara mendalam. Nah, al-Qusyairi,
sekali lagi mengajak menjelajahi “ruang angkasa” nan jauh ke sana, di mana kita akan menyaksikan sembilan
puluh sembilan planet yang indah dan mempesona. Semakin kita melangkah demi selangkah
jiwa kita terus-menerus merasakan sebuah pengalaman spiritual yang luar biasa.
Mungkin Anda akan tersentak, ketika di planet setiap nama-Nya, Dia menyapa kita
dan siap sepenuhnya menjadikan hamba Allah. Segala-segalanya dari,
bagi dan untuk Allah. Kemudian “planet-planet” itu menjadikan
dirinya sebagai “instrumen”-Nya untuk mewujudkan 99 nama-Nya itu dalam
kehidupan sehari-harti.
Yang menjadikan buku al-Tahbir
fi al-Tadzkir istimewa adalah al-Qusyairi, mengajak kita untuk lebih akrab
dengan Allah serta memahami nama-nama-Nya. Sehingga, kita tidak saja membaca
dan menghafal nama-nama Allah, namun lebih dari itu adalah mengenal-Nya. Kata
“mengenal” inilah yang lebih ditekankan al-Qusyairi. sebab, meski kita mengaku
percaya kepada Allah, belum tentu kita mengenal dan memahami-Nya.
Isi yang terkandung dalam al-Tahbir fi al-Tadzkir
adalah pemikiran asasi tentang pengkajian Asma dan Sifat Ilahiah.
Dr. Ibrahim Basuni, Ia adalah peneliti dan peminat
Tasawuf, Saat menyelesaikan Master dan
Doktornya di Universitas Mesir dalam bidang tasawuf , Beliau menghabiskan
waktunya selama dua tahun di Uni Sovyet dan juga berkunjung ke Berlin dan
Konstantinopel (Istambul, Turki) untuk mendalami dan menelusuri
peninggalan-peninggalan al-Qusyairi. Pada saat itulah Beliau menemukan manuskrip al-Tahbir fi al-Tadzkir. Ia menyunting
dan memberi anotasi-anotasi berharga untuk naskah ini.
Buku al-Tahbir fi al-Tadzkir – untuk edisi Indonesianya, Allah di Mata Sufi: Penjelajahan
Spiritual bersama Asma al-Husna – (diterjemahkan oleh Sulaiman al-Kumayi,
MA; Penerbit ATMAJA –Jakarta;
2003).Asalnya merupakan hasil editing dari dua naskah. Naskah pertama terdapat
di perpustakaan Negara Mesir, dan Naskah yang kedua ditemukan di Perpustakaan
al-Firdausi, di kota
Dusyambih, Uni Sovyet. Isi naskah kedua – versi Uni Sovyet – lebih sempurna
dari naskah pertama, versi Mesir.
Al-Qusyairi melakukan analisis al-Asma al-Husna (Nama-nama
indah dan Agung) dengan merujuk urutan yang tercantum dalam hadis riwayat Abu
Hurairah r.a.; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bagi
Allah dan sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, sungguh Dia adalah
ganjil, menyukai yang (ganjil), barang siapa yang menghafalnya, berhak masuk
surga”.
Adapun urutan nama-nama tersebut sebagai berikut:
- Al-Rahmaan : Yang Maha Pengasih
- Al-Rahiim : Yang Maha Penyayang
- Al-Malik : Maha Raja / Yang Maha Berkuasa
- Al-Qudduus : Yang Maha Suci
- Al-Salaam : Yang Maha Sejahtera
- Al-Mukmin : Yang Maha Terpercaya
- Al-Muhaimin : Yang Maha Memelihara
- Al-Aziiz : Yang Maha Perkasa
- Al-Jabbaar : Yang Kehendak-Nya tidak diingkari
- Al-Mutakabbir : Yang Memiliki Kebesaran
- Al-Khaaliq : Yang Maha Pencipta
- Al-Baari’ : Yang Mengadakan dari tiada
- Al-Mushawwir : Yang Membuat Bentuk
- Al-Ghaffaar : Yang Maha Pengampun
- Al-Qahhaar : Yang Maha Perkasa
- Al-Wahhaab : Yang Maha Pemberi
- Al-Razzaaq : Yang Memberi Rezeki
- Al-Fattaah : Yang Maha Pembuka
- Al-Aliim : Yang Maha Mengetahui
- Al-Qaabidh : Yang Maha Menyempitkan
- Al-Baasith : Yang Maha Melapangkan
- Al-Khaafidh : Yang Merendahkan
- Al-Raafi’ : Yang Meninggikan
- Al-Mu’iz : Yang Memuliakan
- Al-Mudzil : Yang Menghinakan
- Al-Samii’ : Yang Maha Mendengar
- Al-Bashiir : Yang Maha Melihat
- Al-Haqam : Yang Memutuskan Hukum
- Al-‘Adl : Yang Maha Adil
- Al-Lathiif : Yang Maha Lembut
- Al-Khabiir : Yang Maha Mengetahui
- Al-Haliim : Yang Maha Penyantun
- Al-‘Azhiim : Yang Maha Agung
- Al-Ghafuur : Yang Maha Pengampun
- Al-Syakuur : Yang Maha Menerima Syukur
- Al-‘Aliy : Yang Maha Tinggi
- Al-Kabiir : Yang Maha Besar
- Al-Hafiizh : Yang Maha Pemelihara
- Al-Muqiit : Yang Memberi Kekuatan
- Al-Hasiib : Yang Maha Mencukupi / Yang Maha Pembuat Perhitungan
- Al-Jaliil : Yang Maha Luhur
- Al-Kariim : Yang Maha Mulia
- Al-Raqiib : Yang Maha Mengawasi
- Al-Mujiib : Yang Maha Memperkenankan
- Al-Waasi’ : Yang Maha Luas
- Al-Haqiim : Yang Maha Bijaksana
- Al-Waduud : Yang Maha Mencintai / Mengasihi / Yang Maha Dicintai
- Al-Majiid : Yang Maha Mulia
- Al-Baa’its : Yang Membangkitkan
- Al-Syahiid : Yang Maha Menyaksikan
- Al-Haq : Yang Maha Pasti / Benar
- Al-Wakiil : Yang Maha Memiliki / Pemelihara
- Al-Qawiy : Yang Maha Kuat
- Al-Matiin : Yang Maha Kokoh
- Al-Waliy : Yang Maha Melindungi
- Al-Hamiid : Yang Maha Terpuji
- Al-Muhshii : Yang Maha Menghitung
- Al-Mubdi-u : Yang Maha Memulai
- Al-Mu’iid : Yang Maha Mengembalikan
- Al-Muhyi : Yang Maha Menghidupkan
- Al-Mumiit : Yang Maha Mematikan
- Al-Hayy : Yang Maha Hidup
- Al-Qayyuum : Yang Maha Berdiri Sendiri
- Al-Waajid : Yang Maha Menemukan
- Al-Maajid : Yang Maha Mulia
- Al-Waahid : Yang Maha Esa
- Al-Ahad : Yang Maha Esa
- Al-Shamad : Yang Maha Dibutuhkan
- Al-Qaadir : Yang Maha Kuasa
- Al-Muqtadir : Yang Maha Kuasa
- Al-Muqaddim : Yang Maha Mendahulukan
- Al-Muakhkhir : Yang Mengakhirkan
- Al-Awwal : Yang Pertama
- Al-Akhir : Yang Terakhir
- Al-Zhaahir : Yang Maha Nyata
- Al-Baathin : Yang Maha Tersembunyi
- Al-Wali : Yang Maha Memerintah
- Al-Muta’aal : Yang Maha Tinggi
- Al-Barr : Yang Maha Dermawan
- Al-Tawwaab : Yang Maha Penerima Tobat
- Al-Muntaqim : Yang Maha Pengancam
- Al-‘Afuww : Yang Maha Pemaaf
- Al-Ra’uuf : Yang Maha Pelimpah Kasih
- Maalik al-Mulk : Pemilik Kerajaan
- Dzuul al-Jalaal wa al-Ikraam : Pemilik Keluhuran dan Kemurahan
- Al-Muqsith : Yang Maha Adil
- Al-Jaami’ : Yang Maha Penghimpun
- Al-Ghaniyyu : Yang Maha Kaya
- Al-Mughni : Pemberi Kekayaan
- Al-Maani’ : Yang Maha Mencegah
- Al-Dhaarr : Yang Memberi Derita
- Al-Naafi’ : Yang Memberi Manfaat
- Al-Nuur : Yang Maha Pemberi / Pemilik Cahaya
- Al-Haadi : Yang Maha Pemberi Petunjuk
- Al-Badii’ : Pencipta Pertama
- Al-Baaqi : Yang Maha Kekal
- Al-Waarits : Yang Maha Mewarisi
- Al-Rasyiid : Yang Maha Tepat Rindakann-Nya
- Al-Shabuur : Yang Maha Penyabar
Metode dan Pendekatan al-Qusyairi
Metode yang ditempuh al-Qusyairi dalam mengkaji nama-nama
dan sifat-sifat Ilahiah dimulai dengan aspek kebahasaan.. Ia menguraikan arti
dari kata asal yang digunakan untuk nama dan sifat itu, kemudian dihubungkan
dengan arti yang ditimbulkan oleh perpindahan lafaz dari pemakaian yang asli ke
pemakaian lain akibat perkembangan bahasa.
Metode yang ditempuhnya ini menghasilkan sejumlah makna yang
luas dan bercabang serta menghasilkan suatu hal yang penting yang merupakan
tujuan penulisan buku tersebut.
Dengan demikian al-Qusyairi lebih menekankan pada pengamalan
dari sesuatu yang dikenal. Ia sendiri sebagai penganut sufi, berkali-kali
menekankan bahwa amal perbuatan manusia merupakan kunci utama untuk membuka
pintu makrifat.
Untuk mengembalikan nama dan sifat Ilahiah pada satu atau
lebih banyak lagi istilah yang disebutkan, al-Qusyairi berusaha menempuh jalan,
mendudukkan sesuatu berdasar pada asal-usulnya yang urgen.
Nama Zat:
Nama itu adalah Allah, nama Zat Swt, tidak dinamakan dengan
nama itu, kecuali untuk Dia, nama itu tempat bergantung, bukan tempat untuk
berbudi.
Sifat Zat:
Misalnya al-Baaqii (Yang Maha Kekal), ini adalah sifat dari
sifat Zat. Diwajibkan menjadi tujuan utama dalam makrifatserta pengenalan bagi
makhluk ciptaan-Nya. Tidak diperbolehkan bagi makhluk untuk bersifat dengan
sifat-sifat Zat al-Haq; tidaklah bagi makhluk berilmu dengan ilmu al-Haq; tidak
pula berqudrat dengan qudrat-Nya, tidak mendengar dengan pendengaran-Nya, tidak
melihat dengan penglihatan-Nya, tidak hidup dengan hidup-Nya, dan tidak kekal
dengan kekekalan-Nya. Sebab, sifat Qadim (lawan baru) tidak dapat
menjadi lawan zat yang hadis (baru) sebagaimana tidak layak sifat Hadis
berdiri dengan zat Qadim…dan inilah inti Tauhid (pengesaan).
Sifat Perbuatan:
Misalnya nama Allah; al-Wahhaab dan al-Waahib. Al-Wahhaab (Pemberian yang berlebih-lebihan
daripada-Nya) dan Al-Waahib (Maha Pemberi), merupakan sifat perbuatan.
Al-Qusyairi berpendapat, bahwa satu sifat adakalanya
menjurus ke arah zat, kadang-kadang pada perbuatan dan adakalanya pula
diartikan menurut kelaziman takwil (pemecahan kalimat). Sifat al-Jabbaar
(Maha Kuasa memaksakan kehendak-Nya), pemakaiannya berasal dari sifat pokok
korma yang tinggi, kokoh, dan tidak mudah goyah, walau didorong atau ditarik.
Maka, pengertiannya adalah Hak Allah tidak dapat diraih oleh tangan perkasa
serta tidak dapat ditolak oleh para penantang. Dengan demikian al-Jabbaar,
yang memberitakan tentang Kebesaran dan Keperkasaan wujud-Nya, menjadi sifat
zat.
Cara yang ditempuh oleh al-Qusyairi dalam buku al-Tahbir
fi al-Tadzkir sangat berharga dan berbeda, bahkan tidak ternilai betapa
besar manfaat yang dapat diambil oleh seorang sufi yang sedang menempuh latihan
membiasakan zikir nama-nama Allah Swt. Zikir yang diawali dengan lisan secara
berulang-ulang kemudian masuk dan meresap ke dalam hati. Maka yang paling utama
adalah zikir yang terbina oleh pengertian dalam renungan arti yang terkandung
di dalamnya dan diikuti oleh tindak budi pekerti dan pengamalan.
Bagi seorang sufi, setelah membaca al-Tahbiir akan mendapati
di hadapannya lapangan luas untuk memahami sesuatu yang diulang-ulang oleh
lisannya (zikir) dan akan membentuk amal perbuatannya menjadi sesuatu sangat
berharga, yang bersifat makrifat, dan sangat besar pengaruhnya dalam menempuh
suluk, dan insya Allah dapat diharapkan menjadi pembina perangai serta
akhlaknya.
Bagi seorang guru sufi, sudah menjadi cara yang lazim kalau
ia itu menekankan kepada para murid asuhannya, bahwa yang paling ringan dari
berbagai macam berzikir adalah zikir lisan. Dalam sebuah syair sufi
dikemukakan:
Kuingat Engkau bukan karena lalai,
Walau sekejap mata sekalipun
Dan yang paling ringan dalam berzikir,
Adalah gerak lidah, zikir lisan.
Yang dikedepankan dan memperhatikan khusus al-Qusyairi
adalah Asma Allah yang mempunyai kekuatan berupa dorongan, dan memperoleh
tempat khusus di dalam masyarakat sufi, misalnya:
Al-Haq : Yang Maha Besar / Pasti
Al-Maliyu : Yang
Maha Penolong
Al-Muhyi : Yang
Maha Menghidupkan
Al-Baadi’ :
Pencipta Pertama
Al-Jamiil :
Yang Maha Indah
Al-Jaliil :
Yang Maha Agung
Nama-nama Allah Swt yang paling sering dipakai oleh para
sufi adalah al-Haq. Pemakaian ini ada kaitannya dengan taraf perkembangan
spiritual mereka yang matang, dari penyaksian ‘perbuatan’ ke penyaksian sifat,
dari penyaksian sifat ke penyaksian zat. Bagi mereka yang telah mengenal, dalam
arti pengenalan makrifat, sudah tentu mengetahui, bahwa Dialah yang mempunyai hak
itu dan sudah seharusnya mengutamakan hak Allah daripada hak dirinya sendiri.
Kepada Anda akan dijelaskan tentang “rahasia ketiadaan”
tersembunyi yang belum pernah terlintas dalam pemikiran seorang pun, kelembutan
dan kehalusan bekas-bekas hikmah kebijaksanaan, dan keajaiban-keajaiban yang
berkaitan kekuasaan-Nya. Akan diuraikan juga hal-hal yang menjadikan hati
bergembira, yang dibuahkan dari kekhusyukan akan “penyaksian Rubbubiyah” dengan
menyirnakan shubhat.
Dalam petuahnya, al-Qusyairi berkata: “Sekiranya seorang
sufi menghimpun budi pekerti dengan kebaikan-kebaikan niscaya mendapat dukungan
menuju fana dan menghilangkan bekas-bekas selain Allah dan akan lebih lancar
dan mempercepat langkah menuju gerbang Hadirat Ilahi”.
To Be Continued ===>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar