Asma Al-Husna : Allah
Menurt al-Khalil, nama Allah tidak berasal dari pengambilan
kata apapun. Pendapat ini didukung oleh al-Syafi’I dan para ahli kebenaran (ahl
al-haq) lainnya. Tidak terdapat sesuatu pun yang diberi nama Allah,
melainkan hanya Dia yang pantas menyandangnya; Dia Yang Maha Tinggi dan Maha
Suci. Karenanya, sebagian syekh menasehati bahwa setiap nama dari nama-nama-Nya
, pantas untuk menghiasi diri kecuali nama “Allah” ini, yang merupakan nama
untuk bergantung, tetapi bukan untuk diteladani. Yang lainnya berpendapat,
bahwa nama “Allah” itu berasal dari pengambilan kata. Namun, makna yang
dimunculkannya simpang siur, dan berimplikasi pada makna yang saling
bertentangan.
Perlu digarisbawahi, bahwa sedikit sekali orang yang
memanjatkan doa penuh dengan keikhlasan hati, doanya tidak dikabulkan oleh
Allah. Saya petikkan sebuah kisah yang bisa dijadikan pelajaran.
Seorang tua telah menjual budak perempuannya. Setelah budak
itu berada di tangan orang lain, si tuan tadi merasa menyesal. Untuk mengungkapkan penyesalannya itu, ia
merasa gengsi. Tidak ada cara lain yang bisa ditempuh selain ia menulis hasrat
hatinya itu ke telapak tangannya, lalu ia menengadahkannya ke langit — kepada
Allah. Menjelang pagi, rumahnya diketuk seseorang. Dari dalam rumah ia
bertanya, “Siapa datang pagi-pagi buta begini?” Dari luar menjawab, “Saya,
orang yang kemarin membeli budak Anda. Sekarang saya bawa dia, dan akan
kukembalikan pada Anda.” Dengan penuh keheranan, tuan itu menjawab,” Tunggu
dulu, saat ini saya tidak punya uang penebus.”
“Anda tidak perlu memikirkan uang penebus, aku ikhlas
mengembalikan budak ini pada Anda, karena aku akan memperoleh ganti melebihi
hal ini”, jawabnya. “Bagaimana bisa Anda berpikiran demikian, “ tanyanya lagi.
Orang itu pun menjelaskan, “Tadi malam aku bermimpi, Allah Swt berkata
kepadaku: ‘Ketahuilah! Penjual budak itu adalah salah seorang wali dari
wali-wali-Ku; hatinya sudah tertambat pada budak perempuannya itu, bila engkau
rela mengembalikan kepada pemiliknya, maka bagimu Kusediakan surga.”
Al-Syibli, orang yang paling sering mengucapkan, “Wahai
penuntun orang-orang yang kebingungan, Sudikah kiranya Engkau menambah
kebingungan itu padaku.”
Dzu al-Nun al-Mishri – Semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Makrifat itu dimulai dari kebingungan, kemudian berlanjut dengan saling
menyambung dan saling membutuhkan satu sama lain, kemudian kembali pada
kebingungan lagi”.
Yahya ibn Mu’adz – Semoga Allah merahmatinya – berkata:
“Andaikan lisan-lisan para arif berputar bersama manusia sebagaimana hati
mereka berputar bersama Allah, niscaya mereka dikatakan orang-orang gila.”
Adapun tanda-tanda orang arif sejati adalah mereka yang
berpegang teguh pada hukum syariat tanpa mengurangi sedikit pun dalam segala
hal; menjaga dan memelihara waktu-waktu di saat menunaikan kewajibannya,
sekalipun dalam keadaan tidak sadar. Seandainya terjadi pengurangan, perbuatan
tersebut dapat dianggap sebagai adanya keganjilan dalam dirinya.
Orang pernah bertanya kepada al-Syibli: “Apa tanda
kebenaran menurut Anda?” Ia menjawab: “Tidak berlaku bagiku sesuatu yang
berlawanan, baik yang kulakukan di waktu tidak sadar maupun yang kulakukan di
waktu sadar.”
Yahya ibn Muadz berkata: “Awas! Riya itu benar-benar
bergantung erat di hati; jika ini ada padamu, maka segeralah singkirkan;
kemudian perbaikilah keadaan lahirmu.”
Para Syekh mengingatkan dengan nasehatnya, “Siapa yang
berbangga diri (sombong), niscaya terhijab dari Allah Swt; dan kebanggan diri
itu dapat dijadikan petunjuk maqam (stasiun) orang itu.” Membesarkan
diri, membanggakan pangkat dan merasa diri paling taat, serta hanya melihat
diri sendiri. Maka orang yang seperti ini harus segera disadarkan, bahwa
amal-amal masa lalu yang pernah dilakukannya boleh jadi tidak seluruhnya
dilandasi kesadaran dan keikhlasan. Mungkin saja kesadaran dan keikhlasan hanya
sekali saja.
Kisah segala maksiat yang pernah dilakukan (makhluk Allah),
antara lain, kisah kebanggaan Iblis. Dan kisah ini dapat dijadikan peringatan
bagi mereka yang suka membanggakan diri dan membusungkan dada. Iblis dengan
sombong mengklaim: “Aku lebih baik darinya (Adam)”, hingga terjadi apa
yang seharusnya terjadi (Iblis diusir dari surga oleh Allah). Hal yang sama,
kisah Qarun – seorang hartawan di zaman Musa – ketika keluar kepada kaumnya
dengan penuh hiasan pada dirinya, sehingga ia sendiri mengagumi dirinya sendiri
dan berbangga diri. Namun berakhir dengan dibenamkan ke dalam bumi. Kisah
Fir’aun ketika ia berkata kepada kaumnya: “ Hai kaumku! Bukankah kepunyaanku
seluruh kerajaan Mesir?” (QA. Al-Zukhruf [43]:51). Contoh-contoh yang diberikan
Allah – Sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an – cukup kiranya menjadi
peringatan keras agar kita dapat menahan diri.
Sebuah kitab mengisahkan bahwa ikan laut yang menahan bumi kita
ini pernah menyombongkan diri sambil menyebarkan berita yang bernada congkak
atas kesanggupannya menahan bumi yang berat ini. Lalu Allah menugaskan seekor
nyamuk untuk menyengat hidungnya; pedihnya sengatan nyamuk rupanya membuatnya
terdiam, tidak berani menggerakkan tubuhnya. Ikan itu menjadi takut, karena nyamuk
tidak beranjak darinya, malah menetap di antara kedua matanya.
Diantara sifat seorang arif adalah ia tidak menghiraukan,
segala macam caci-maki yang datang bertubi-tubi. Karena teman bicaranya adalah
al-Haq, berdirinya dengan al-Haq, dan dalam agama-Nya itu ia memperoleh
kekuatan. Karena itu, prakondisi makrifat adalah memandang sepele akan
keberadaan takdir selain takdir-Nya, dan menafikan segala bentuk zikir selain
zikir kepada-Nya. Sehingga, ketika seseorang itu berucap, maka ia berucap
bersama Allah. Bila diam, maka ia pun diam bersama Allah. Semulia-mulia sesuatu
di sisi Zat Yang Maha Ditakuti dan diharap-harapkan adalah ucapan yang benar.
Alkisah, di zaman dahulu pernah terjadi sekelompok orang
menyembah sebuah pohon yang dianggap “keramat”, dan di situ hidup seorang
mukmin. Orang mukmin itu berniat menebang pohon kayu yang dianggapnya sebagai
biang kesyirikan. Juga demi menegakkan agama Allah dan perasaan cemburu yang
meluap-luap. Namun, di tengah perjalanan, ia dihentikan oleh Iblis yang menyerupai
seorang manusia, dan bertanya: “Mau ke mana Anda dengan kapak itu?” Si mukmin
tadi menjawab:”Aku mau menebang pohon yang di sembah penduduk di sini”. Iblis
pun membujuk: “Sebaiknya urungkan saja niat Anda itu; untuk apa susah-susah.
Saya bersedia memberi Anda dua dirham setiap hari, dan itu Anda terima setiap
pagi di bawah bantal Anda.”
Mendengar janji Iblis Si mukmin tadi timbul nafsu
serakahnya. Ia pun urung menebang pohon itu. Tetapi sial, selama tiga hari
berturut-turut uang yang dijanjikan itu tidak kunjung datang. Ia pun marah dan
bertekad menebang pohon itu lagi. Tak ayal lagi. Iblis pun bereaksi: “Mau ke
mana kawan?” Si mukmin menjawab: “Kali ini benar-benar akan kutebang pohon
itu”. Iblis berkata: “Percuma saja! Lebih baik Anda pulang atau jika kamu nekad
menebang pohon itu akan kujerat lehermu. Ingat itu! Pertama kali Anda akan
menebang pohon itu karena takut kepada Allah. Tetapi kali ini kedatanganmu
didorong oleh perasaan marah disebabkan Anda kehilangan kesempatan memperoleh
beberapa dirham. Kusarankan Anda pulang saja, karena Anda tidak akan mampu
menebang pohon itu”.
Ketahuilah, sifat orang arif itu adalah menerima dengan baik
sesuatu yang mengganggu dirinya. Menurut Sahl ibn Abdullah al-Tustari, “seorang
sufi adalah orang yang darah dan hak miliknya tertumpah bagi siapa saja yang
menghendaki. Resapilah baik-baik! Bahwa orang-orang yang hidup bersamamu di
dunia ini adalah tetangga dan teman seperjalananmu dalam perjalanan menuju
akhirat. Oleh karena itu, yang paling berbudi, itulah yang paling mulia”.
Dikisahkan, Malik ibn Dinar menyewa rumah seorang Yahudi,
kemudian Si Yahudi itu memindahkan toiletnya bersebelahan dengan rumah yang
disewa Malik. Tembok pemisah kedua rumah itu sudah rapuh dan berlubang di
beberapa bagian, sehingga air najis dari rumah Si Yahudi merembes dan membasahi
rumah yang ditempati Malik ibn Dinar, bahkan membasahi mihrab salatnya.
Si Yahudi tampaknya memang sengaja berbuat demikian untuk
mengganggu Malik ibn Dinar, Namun Malik tidak marah, setiap hari ia dengan tekun
membersihkan mihrabnya yang terkena najis, dan belum pernah sepatah kata pun
keluar dari mulutnya berkenaan denga peristiwa tersebut. Si Yahudi malah heran
dengan kesabaran si Malik ibn Dinar. Suatu hari ia menemui Malik dan bertanya,
“Apa yang menyebabkan anda bersabar sedemikian rupa dan betah dengan
penderitaan ini?” Ia menjawab, “Nabi kami – Muhammad Saw. – pernah bersabda
bahwa Malaikat Jibril tidak henti-hentinya berwasiat kepadaku berkenaan dengan
tetangga, hingga aku menyangka bahwa tetangga itu berhak memperoleh harta
warisan”. Memperoleh penjelasan demikian, si Yahudi itu pun masuk Islam dan
menjadi pemeluk yang baik.
Kembali mengenai nama “Allah” banyak pendapat dari guru-guru
sufi yang ucapannya menyerupai rumus, kadang-kadang memerlukan penjelasan dan
interpretasi khusu. Umpamanya, perkataan al-Syibli, “Tidak ada seorang pun
yang mengatakan Allah melainkan Allah sendiri”. Karena setiap orang yang
mengatakan Allah telah mengikuti dalam ucapannya itu sesuai dengan tingkat
intelektualitasnya, sedangkan esensinya jauh sekali dari yang dapat dicapai
oleh pendapat pribadinya. Zikir makhluk kepada-Nya tidak sebagaimana zikir
Allah kepada zat-Nya sendiri Yang Suci. Sudah menjadi rumus umum bahwa sesuatu
yang nilai kadarnya berkurang dengan utuh, maka harganya pun tidak berharga
sama sekali.
Abu Sa’id al-Kharaz berkata: “Di antara orang-orang yang
berzikir ada yang telah melampaui kadar dirinya, hingga mencapai tingkat sirna
diri dan lupa ingatan, menyatu kepada Allah Yang Maha Tinggi; lupa pada kebutuhan
dirinya, karena berhadapan dengan Yang Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan.
Hingga seandainya tiap-tiap anggota tubuhnya dapat berkata-kata, tentu saja
yang diucapkannya ialah “Allah”, “Allah”, “Allah”. Keadaan ini pernah menimpa
seseorang yang kejatuhan batu besar hingga kepalanya mengucurkan darah. Darah
tersebut menggenang di tanah membentuk tulisan Allah.
Dikisahkan bahwa Aba
al-Husain al-Nuri pernah berdiri tegak tujuh hari tujuh malam tanpa makan,
minum, dan tidur, sementara lisannya terus-menerus mengucapkan
Allah,Allah,Allah. Peristiwa ini disampaikan kepada al-Junaid. Al-Junaid pun
bertanya: “Coba kalian selidiki, apakah waktu-waktu salatnya terpelihara
sebagaimana disyariatkan?” Orang-orang melaporkan: “Salat fardunya terpelihara
dengan baik, sebagaimana disyariatkan”.
Mendengar laporan itu, al-Junaid pun berkomentar: “Segala
puji bagi Allah yang telah menutup semua jalan syaitan”. Kemuadian ia berkata
lagi: “Marilah kita berkunjung kepadanya, nanti akan kita temukan salah satu
dari dua hal: kita mendapat sesuatu darinya atau kita memberi sesuatu
kepadanya.”
Sesampainya di sana,
al-Junaid masuk dan memberi salam, kemudia bertanya: “Wahai Aba al-Husain!
Apakah yang menimpamu saat ini?” Ia menjawab: “aku sedang mengucapkan Allah,
Allah, maka hendaklah kalian memberikan tambahan kepadaku”. Al-Junaid pun
menimpali: “Cobalah Anda selidiki dengan teliti dan jujur: apakah ucapanmu
(“Allah”) itu dengan Allah ataukah dengan perkataanmu sendiri? Kalau dengan
Allah, berarti bukanlah Anda yang mengatakan kepada-Nya; kalau dengan
perkataanmu, berarti untuk dirimu dan seharusnyalah Anda bersama dirimu”.
Orang bertanya kepada Aba
al-Husain: “Apakah yang dimaksud al-walah (hilang kesadaran) dan al-hayrah
(keheranan atau kebingungan) itu?” Aba
al-Husain menjawab: “Alangkah baiknya Anda dalam mendidik!” Sejak itu redalah walah
Aba al-Husain
al-Nuri.
Berkaitan dengan nama “Allah” rupanya ada juga sebagian sufi
yang berpendapat bahwa huruf alif dari nama Allah itu mengisyaratkan al-wahdaniyah
(keesaan), dan huruf lam yang pertama adalah isyarat yang menghapus
isyarat, lam kedua adalah menghapus penghapusan dalam pengungkapan huruf
ha.
Dikisahkan al-Syibli berada di majelis al-Junaid, ia berada
dalam keadaan walah kepada Allah. Menyaksikan hal itu, al-Junaid menegur:
“Hai Aba Bakr – sebutan untuk al-Syibli! Kegaiban (al-ghaibah) itu
haram?” Kemudian al-Junaid menjelaskan: ‘Jika engkau berada dalam kegaiban,
maka menyebut gaib itu sudah menjadi kegaiban, dan jika engkau berada dalam
keadaan hadir, maka berarti engkau telah
meninggalkan yang haram”.
Abu Sa’id al-Kharaz berkata: “Aku pernah mengajukan
pertanyaan kepada sebagian sufi, ‘Apakah kesudahan persoalan itu?’ Mereka
menjawab, ‘Allah’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apakah makna jawabanmu (Allah)
itu?’ Mereka menerangkan: ‘Ya Allah, bimbinglah aku kepada-Mu dan jadikanlah
agar aku selalu berada di sisi-Mu, dan jangan Engkau jadikan aku termasuk
kelompok orang-orang yang rela dengan sesuatu selain-Mu sebagai pengganti-Mu;
dan tetapkanlah hatiku di sisi pertemuan-Mu”.
Note:
(1)
Allah adalah nama Tuhan yang paling populer. Kata ini
terulang di dalam Al-Qur’an sebanyak 2.698 kali. Nama Allah itu sendiri Tuhan
yang menamainya, “Sesungguhnya Aku adalah
Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku” (QS. Thana [20]: 14).
Lafal Allah berasal dari kata ilaah
yang merupakan kata jenis yang diberikan untuk semua sembahan, baik yang benar
maupun yang batil, tetapi kemudian hanya diperuntukkan kepada sesembahan yang
benar (haq), dan tidak diberikan
kepada yang lain. Ia merupakan kata jadian yang berasal dari kata ilaahah, atau uluuhah, atau uluuhiyyah,
yang semuanya berarti ibadah, hanya di sini istilah tersebut diartikan sebagai ma’bud (yang disembah).
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Jalaalah ini berasaldari kata alaha
yang berarti tahayyana(bingung),
sebab Allah Swt membuat akaldan pemahaman menjadi bingung memikirkan keadaan-Nya.
Perbuatan atau ciptaan-Nya yang ada di alam semesta ini juga menakjubkan dan
menimbulkan kekaguman bagi makhluk-Nya. Tidak seorang pun yang mampu menandingi
ciptaan-Nya.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata Allah itu berasal dari
kata aliha-ya’lahu yang berarti “tenang”,
karena harapan seluruh makhluk tertuju dan bermohon kepada-Nya.
Dari berbagai pendapat mengenai asal-usul kata Allah, Quraish
Shihab dalam “Menyingkap” Tabir Ilahi menegaskan bahwa kata “Allah”
mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata selainnya. Ia adalah kata
yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna maknanya,
serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga sementara ulama
menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai ”ismullah
Al-A’zam” (nama Allah yang paling mulia), yang bila diucapkan dalam doa,
Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz, kata Allah terlihat keistemewaanya
ketika dihapus huruf-hurufnya. Ketika kita membaca kata Allah dengan menghapus
huruf awalnya (alif) akan berbunyi Lillaah yang berarti milik/bagi Allah; jika huruf awal dari
kata Lillaah dihapus akan terbaca Lahu yang berarti bagi-Nya. Selanjutnya,jika huruf awal dari kata Lahu dihapus akan terdengar ucapan Huu yang berarti Dia (menunjuk Allah) dan bila dipersingkat lagi akan terdengar
suara Aah yang sepintas atau pada
lahirnya mengandung keluhan, tetapi pada hakekatnya adalah seruan permohonan
kepada Allah.
Pada dasarnya dalam diri manusia itu sudah ada fitrah akan
adanya pengakuan Tuhan. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa orang-orang musyrik
ketika ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka akan menjawab
Allah (QS Al-Zumar [39]:38) – penerj.
(2)
Istilah tahayyyur atau hayrah [keheranan atau kebingungan] dalam dunia sufi menunjukkan
sebuah momen yang sangat membingungkan ketika pikiran berhenti bekerja dan
tidak mampu memecahkan atau menemukan jawaban atas kebuntuan spiritual. Pada
saat yang diberkahi seperti ini, sebab dengan rahmat Allah sajalah hayrah ini dicapai, sang murid harus
berusaha agar tidak panik atau menyerah. Karena tali kebingungan inilah sebuah
hakikat spiritual diberi kesempatan untuk mengungkapkan dirinya dalam
kejelasan. Dalam menemukan Allah, mereka mengetahui bahwa Dia Maha Gaib dan tak
bisa diketahui. Namun, setiap saat mereka selalu terbuka pada pengetahuan baru
dan segar tentang Allah! “Karena itu, segala puji bagi Allah yang diketahui
hanya lewat fakta bahwa Dia tidak bisa diketahui!” (Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj. M.S.
Nasrullah dan Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 94) – penerj.
(3)
Al-walaah (hilang
kesadaran) merupakan suatu keadaan yang muncul karena ekstase berlebihan yang bergejolak.
Gejolak demikian terjadi ketika hati sepenuhnya diliputi Cinta Allah; cinta
yang murni, total, dan tanpa syarat. Cinta ini tidak membedakan antara
Kemarahan dan Kelembutan Cinta Sang Kekasih. Sang hamba yang mengalaminya bahkan
tidak melihat Sang Kekasih. Ia buta terhadap segala sesuatu karena ia menjadi
satu dengan Sang Kekasih (Lihat Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hlm. 315) – penerj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar