Rabu, 13 Juni 2012

(1) Asma Al-Husna : Allah

 Asma Al-Husna : Allah


Menurt al-Khalil, nama Allah tidak berasal dari pengambilan kata apapun. Pendapat ini didukung oleh al-Syafi’I dan para ahli kebenaran (ahl al-haq) lainnya. Tidak terdapat sesuatu pun yang diberi nama Allah, melainkan hanya Dia yang pantas menyandangnya; Dia Yang Maha Tinggi dan Maha Suci. Karenanya, sebagian syekh menasehati bahwa setiap nama dari nama-nama-Nya , pantas untuk menghiasi diri kecuali nama “Allah” ini, yang merupakan nama untuk bergantung, tetapi bukan untuk diteladani. Yang lainnya berpendapat, bahwa nama “Allah” itu berasal dari pengambilan kata. Namun, makna yang dimunculkannya simpang siur, dan berimplikasi pada makna yang saling bertentangan.

Perlu digarisbawahi, bahwa sedikit sekali orang yang memanjatkan doa penuh dengan keikhlasan hati, doanya tidak dikabulkan oleh Allah. Saya petikkan sebuah kisah yang bisa dijadikan pelajaran.

Seorang tua telah menjual budak perempuannya. Setelah budak itu berada di tangan orang lain, si tuan tadi merasa menyesal.  Untuk mengungkapkan penyesalannya itu, ia merasa gengsi. Tidak ada cara lain yang bisa ditempuh selain ia menulis hasrat hatinya itu ke telapak tangannya, lalu ia menengadahkannya ke langit — kepada Allah. Menjelang pagi, rumahnya diketuk seseorang. Dari dalam rumah ia bertanya, “Siapa datang pagi-pagi buta begini?” Dari luar menjawab, “Saya, orang yang kemarin membeli budak Anda. Sekarang saya bawa dia, dan akan kukembalikan pada Anda.” Dengan penuh keheranan, tuan itu menjawab,” Tunggu dulu, saat ini saya tidak punya uang penebus.”

“Anda tidak perlu memikirkan uang penebus, aku ikhlas mengembalikan budak ini pada Anda, karena aku akan memperoleh ganti melebihi hal ini”, jawabnya. “Bagaimana bisa Anda berpikiran demikian, “ tanyanya lagi. Orang itu pun menjelaskan, “Tadi malam aku bermimpi, Allah Swt berkata kepadaku: ‘Ketahuilah! Penjual budak itu adalah salah seorang wali dari wali-wali-Ku; hatinya sudah tertambat pada budak perempuannya itu, bila engkau rela mengembalikan kepada pemiliknya, maka bagimu Kusediakan surga.”

Al-Syibli, orang yang paling sering mengucapkan, “Wahai penuntun orang-orang yang kebingungan, Sudikah kiranya Engkau menambah kebingungan itu padaku.”

Dzu al-Nun al-Mishri – Semoga Allah merahmatinya – berkata: “Makrifat itu dimulai dari kebingungan, kemudian berlanjut dengan saling menyambung dan saling membutuhkan satu sama lain, kemudian kembali pada kebingungan lagi”.

Yahya ibn Mu’adz – Semoga Allah merahmatinya – berkata: “Andaikan lisan-lisan para arif berputar bersama manusia sebagaimana hati mereka berputar bersama Allah, niscaya mereka dikatakan orang-orang gila.”

Adapun tanda-tanda orang arif sejati adalah mereka yang berpegang teguh pada hukum syariat tanpa mengurangi sedikit pun dalam segala hal; menjaga dan memelihara waktu-waktu di saat menunaikan kewajibannya, sekalipun dalam keadaan tidak sadar. Seandainya terjadi pengurangan, perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai adanya keganjilan dalam dirinya.

Orang pernah bertanya kepada al-Syibli: “Apa tanda kebenaran menurut Anda?” Ia menjawab: “Tidak berlaku bagiku sesuatu yang berlawanan, baik yang kulakukan di waktu tidak sadar maupun yang kulakukan di waktu sadar.”

Yahya ibn Muadz berkata: “Awas! Riya itu benar-benar bergantung erat di hati; jika ini ada padamu, maka segeralah singkirkan; kemudian perbaikilah keadaan lahirmu.”

Para Syekh mengingatkan dengan nasehatnya, “Siapa yang berbangga diri (sombong), niscaya terhijab dari Allah Swt; dan kebanggan diri itu dapat dijadikan petunjuk maqam (stasiun) orang itu.” Membesarkan diri, membanggakan pangkat dan merasa diri paling taat, serta hanya melihat diri sendiri. Maka orang yang seperti ini harus segera disadarkan, bahwa amal-amal masa lalu yang pernah dilakukannya boleh jadi tidak seluruhnya dilandasi kesadaran dan keikhlasan. Mungkin saja kesadaran dan keikhlasan hanya sekali saja.

Kisah segala maksiat yang pernah dilakukan (makhluk Allah), antara lain, kisah kebanggaan Iblis. Dan kisah ini dapat dijadikan peringatan bagi mereka yang suka membanggakan diri dan membusungkan dada. Iblis dengan sombong mengklaim: “Aku lebih baik darinya (Adam)”, hingga terjadi apa yang seharusnya terjadi (Iblis diusir dari surga oleh Allah). Hal yang sama, kisah Qarun – seorang hartawan di zaman Musa – ketika keluar kepada kaumnya dengan penuh hiasan pada dirinya, sehingga ia sendiri mengagumi dirinya sendiri dan berbangga diri. Namun berakhir dengan dibenamkan ke dalam bumi. Kisah Fir’aun ketika ia berkata kepada kaumnya: “ Hai kaumku! Bukankah kepunyaanku seluruh kerajaan Mesir?” (QA. Al-Zukhruf [43]:51). Contoh-contoh yang diberikan Allah – Sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an – cukup kiranya menjadi peringatan keras agar kita dapat menahan diri.

Sebuah kitab mengisahkan bahwa ikan laut yang menahan bumi kita ini pernah menyombongkan diri sambil menyebarkan berita yang bernada congkak atas kesanggupannya menahan bumi yang berat ini. Lalu Allah menugaskan seekor nyamuk untuk menyengat hidungnya; pedihnya sengatan nyamuk rupanya membuatnya terdiam, tidak berani menggerakkan tubuhnya. Ikan itu menjadi takut, karena nyamuk tidak beranjak darinya, malah menetap di antara kedua matanya.

Diantara sifat seorang arif adalah ia tidak menghiraukan, segala macam caci-maki yang datang bertubi-tubi. Karena teman bicaranya adalah al-Haq, berdirinya dengan al-Haq, dan dalam agama-Nya itu ia memperoleh kekuatan. Karena itu, prakondisi makrifat adalah memandang sepele akan keberadaan takdir selain takdir-Nya, dan menafikan segala bentuk zikir selain zikir kepada-Nya. Sehingga, ketika seseorang itu berucap, maka ia berucap bersama Allah. Bila diam, maka ia pun diam bersama Allah. Semulia-mulia sesuatu di sisi Zat Yang Maha Ditakuti dan diharap-harapkan adalah ucapan yang benar.
Alkisah, di zaman dahulu pernah terjadi sekelompok orang menyembah sebuah pohon yang dianggap “keramat”, dan di situ hidup seorang mukmin. Orang mukmin itu berniat menebang pohon kayu yang dianggapnya sebagai biang kesyirikan. Juga demi menegakkan agama Allah dan perasaan cemburu yang meluap-luap. Namun, di tengah perjalanan, ia dihentikan oleh Iblis yang menyerupai seorang manusia, dan bertanya: “Mau ke mana Anda dengan kapak itu?” Si mukmin tadi menjawab:”Aku mau menebang pohon yang di sembah penduduk di sini”. Iblis pun membujuk: “Sebaiknya urungkan saja niat Anda itu; untuk apa susah-susah. Saya bersedia memberi Anda dua dirham setiap hari, dan itu Anda terima setiap pagi di bawah bantal Anda.”

Mendengar janji Iblis Si mukmin tadi timbul nafsu serakahnya. Ia pun urung menebang pohon itu. Tetapi sial, selama tiga hari berturut-turut uang yang dijanjikan itu tidak kunjung datang. Ia pun marah dan bertekad menebang pohon itu lagi. Tak ayal lagi. Iblis pun bereaksi: “Mau ke mana kawan?” Si mukmin menjawab: “Kali ini benar-benar akan kutebang pohon itu”. Iblis berkata: “Percuma saja! Lebih baik Anda pulang atau jika kamu nekad menebang pohon itu akan kujerat lehermu. Ingat itu! Pertama kali Anda akan menebang pohon itu karena takut kepada Allah. Tetapi kali ini kedatanganmu didorong oleh perasaan marah disebabkan Anda kehilangan kesempatan memperoleh beberapa dirham. Kusarankan Anda pulang saja, karena Anda tidak akan mampu menebang pohon itu”.

Ketahuilah, sifat orang arif itu adalah menerima dengan baik sesuatu yang mengganggu dirinya. Menurut Sahl ibn Abdullah al-Tustari, “seorang sufi adalah orang yang darah dan hak miliknya tertumpah bagi siapa saja yang menghendaki. Resapilah baik-baik! Bahwa orang-orang yang hidup bersamamu di dunia ini adalah tetangga dan teman seperjalananmu dalam perjalanan menuju akhirat. Oleh karena itu, yang paling berbudi, itulah yang paling mulia”.

Dikisahkan, Malik ibn Dinar menyewa rumah seorang Yahudi, kemudian Si Yahudi itu memindahkan toiletnya bersebelahan dengan rumah yang disewa Malik. Tembok pemisah kedua rumah itu sudah rapuh dan berlubang di beberapa bagian, sehingga air najis dari rumah Si Yahudi merembes dan membasahi rumah yang ditempati Malik ibn Dinar, bahkan membasahi mihrab salatnya.

Si Yahudi tampaknya memang sengaja berbuat demikian untuk mengganggu Malik ibn Dinar, Namun Malik tidak marah, setiap hari ia dengan tekun membersihkan mihrabnya yang terkena najis, dan belum pernah sepatah kata pun keluar dari mulutnya berkenaan denga peristiwa tersebut. Si Yahudi malah heran dengan kesabaran si Malik ibn Dinar. Suatu hari ia menemui Malik dan bertanya, “Apa yang menyebabkan anda bersabar sedemikian rupa dan betah dengan penderitaan ini?” Ia menjawab, “Nabi kami – Muhammad Saw. – pernah bersabda bahwa Malaikat Jibril tidak henti-hentinya berwasiat kepadaku berkenaan dengan tetangga, hingga aku menyangka bahwa tetangga itu berhak memperoleh harta warisan”. Memperoleh penjelasan demikian, si Yahudi itu pun masuk Islam dan menjadi pemeluk yang baik.

Kembali mengenai nama “Allah” banyak pendapat dari guru-guru sufi yang ucapannya menyerupai rumus, kadang-kadang memerlukan penjelasan dan interpretasi khusu. Umpamanya, perkataan al-Syibli, “Tidak ada seorang pun yang mengatakan Allah melainkan Allah sendiri”. Karena setiap orang yang mengatakan Allah telah mengikuti dalam ucapannya itu sesuai dengan tingkat intelektualitasnya, sedangkan esensinya jauh sekali dari yang dapat dicapai oleh pendapat pribadinya. Zikir makhluk kepada-Nya tidak sebagaimana zikir Allah kepada zat-Nya sendiri Yang Suci. Sudah menjadi rumus umum bahwa sesuatu yang nilai kadarnya berkurang dengan utuh, maka harganya pun tidak berharga sama sekali.

Abu Sa’id al-Kharaz berkata: “Di antara orang-orang yang berzikir ada yang telah melampaui kadar dirinya, hingga mencapai tingkat sirna diri dan lupa ingatan, menyatu kepada Allah Yang Maha Tinggi; lupa pada kebutuhan dirinya, karena berhadapan dengan Yang Maha Memiliki kebesaran dan kemuliaan. Hingga seandainya tiap-tiap anggota tubuhnya dapat berkata-kata, tentu saja yang diucapkannya ialah “Allah”, “Allah”, “Allah”. Keadaan ini pernah menimpa seseorang yang kejatuhan batu besar hingga kepalanya mengucurkan darah. Darah tersebut menggenang di tanah membentuk tulisan Allah.

Dikisahkan bahwa Aba al-Husain al-Nuri pernah berdiri tegak tujuh hari tujuh malam tanpa makan, minum, dan tidur, sementara lisannya terus-menerus mengucapkan Allah,Allah,Allah. Peristiwa ini disampaikan kepada al-Junaid. Al-Junaid pun bertanya: “Coba kalian selidiki, apakah waktu-waktu salatnya terpelihara sebagaimana disyariatkan?” Orang-orang melaporkan: “Salat fardunya terpelihara dengan baik, sebagaimana disyariatkan”.

Mendengar laporan itu, al-Junaid pun berkomentar: “Segala puji bagi Allah yang telah menutup semua jalan syaitan”. Kemuadian ia berkata lagi: “Marilah kita berkunjung kepadanya, nanti akan kita temukan salah satu dari dua hal: kita mendapat sesuatu darinya atau kita memberi sesuatu kepadanya.”

Sesampainya di sana, al-Junaid masuk dan memberi salam, kemudia bertanya: “Wahai Aba al-Husain! Apakah yang menimpamu saat ini?” Ia menjawab: “aku sedang mengucapkan Allah, Allah, maka hendaklah kalian memberikan tambahan kepadaku”. Al-Junaid pun menimpali: “Cobalah Anda selidiki dengan teliti dan jujur: apakah ucapanmu (“Allah”) itu dengan Allah ataukah dengan perkataanmu sendiri? Kalau dengan Allah, berarti bukanlah Anda yang mengatakan kepada-Nya; kalau dengan perkataanmu, berarti untuk dirimu dan seharusnyalah Anda bersama dirimu”.

Orang bertanya kepada Aba al-Husain: “Apakah yang dimaksud al-walah (hilang kesadaran) dan al-hayrah (keheranan atau kebingungan) itu?” Aba al-Husain menjawab: “Alangkah baiknya Anda dalam mendidik!” Sejak itu redalah walah Aba al-Husain al-Nuri.

Berkaitan dengan nama “Allah” rupanya ada juga sebagian sufi yang berpendapat bahwa huruf alif dari nama Allah itu mengisyaratkan al-wahdaniyah (keesaan), dan huruf lam yang pertama adalah isyarat yang menghapus isyarat, lam kedua adalah menghapus penghapusan dalam pengungkapan huruf ha.

Dikisahkan al-Syibli berada di majelis al-Junaid, ia berada dalam keadaan walah kepada Allah. Menyaksikan hal itu, al-Junaid menegur: “Hai Aba Bakr – sebutan untuk al-Syibli! Kegaiban (al-ghaibah) itu haram?” Kemudian al-Junaid menjelaskan: ‘Jika engkau berada dalam kegaiban, maka menyebut gaib itu sudah menjadi kegaiban, dan jika engkau berada dalam keadaan hadir, maka berarti engkau  telah meninggalkan yang haram”.

Abu Sa’id al-Kharaz berkata: “Aku pernah mengajukan pertanyaan kepada sebagian sufi, ‘Apakah kesudahan persoalan itu?’ Mereka menjawab, ‘Allah’. Lalu aku bertanya lagi, ‘Apakah makna jawabanmu (Allah) itu?’ Mereka menerangkan: ‘Ya Allah, bimbinglah aku kepada-Mu dan jadikanlah agar aku selalu berada di sisi-Mu, dan jangan Engkau jadikan aku termasuk kelompok orang-orang yang rela dengan sesuatu selain-Mu sebagai pengganti-Mu; dan tetapkanlah hatiku di sisi pertemuan-Mu”.



Note:

(1)
Allah adalah nama Tuhan yang paling populer. Kata ini terulang di dalam Al-Qur’an sebanyak 2.698 kali. Nama Allah itu sendiri Tuhan yang menamainya, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku” (QS. Thana [20]: 14). Lafal Allah berasal dari kata ilaah yang merupakan kata jenis yang diberikan untuk semua sembahan, baik yang benar maupun yang batil, tetapi kemudian hanya diperuntukkan kepada sesembahan yang benar (haq), dan tidak diberikan kepada yang lain. Ia merupakan kata jadian yang berasal dari kata ilaahah, atau uluuhah, atau uluuhiyyah, yang semuanya berarti ibadah, hanya di sini istilah tersebut diartikan sebagai ma’bud (yang disembah).

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Jalaalah ini berasaldari kata alaha yang berarti tahayyana(bingung), sebab Allah Swt membuat akaldan pemahaman menjadi bingung memikirkan keadaan-Nya. Perbuatan atau ciptaan-Nya yang ada di alam semesta ini juga menakjubkan dan menimbulkan kekaguman bagi makhluk-Nya. Tidak seorang pun yang mampu menandingi ciptaan-Nya.

Pendapat lain mengatakan bahwa kata Allah itu berasal dari kata aliha-ya’lahu yang berarti “tenang”, karena harapan seluruh makhluk tertuju dan bermohon kepada-Nya.

Dari berbagai pendapat mengenai asal-usul kata Allah, Quraish Shihab dalam “MenyingkapTabir Ilahi menegaskan bahwa kata “Allah” mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata selainnya. Ia adalah kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna  maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai ”ismullah Al-A’zam” (nama Allah yang paling mulia), yang bila diucapkan dalam doa, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz, kata Allah terlihat keistemewaanya ketika dihapus huruf-hurufnya. Ketika kita membaca kata Allah dengan menghapus huruf awalnya (alif) akan berbunyi Lillaah yang berarti milik/bagi Allah; jika huruf awal dari kata Lillaah dihapus akan terbaca Lahu yang berarti bagi-Nya. Selanjutnya,jika huruf awal dari kata Lahu dihapus akan terdengar ucapan Huu yang berarti Dia (menunjuk Allah) dan bila dipersingkat lagi akan terdengar suara Aah yang sepintas atau pada lahirnya mengandung keluhan, tetapi pada hakekatnya adalah seruan permohonan kepada Allah.   

Pada dasarnya dalam diri manusia itu sudah ada fitrah akan adanya pengakuan Tuhan. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa orang-orang musyrik ketika ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka akan menjawab Allah (QS Al-Zumar [39]:38) – penerj.


(2)
 Istilah tahayyyur atau hayrah [keheranan atau kebingungan] dalam dunia sufi menunjukkan sebuah momen yang sangat membingungkan ketika pikiran berhenti bekerja dan tidak mampu memecahkan atau menemukan jawaban atas kebuntuan spiritual. Pada saat yang diberkahi seperti ini, sebab dengan rahmat Allah sajalah hayrah ini dicapai, sang murid harus berusaha agar tidak panik atau menyerah. Karena tali kebingungan inilah sebuah hakikat spiritual diberi kesempatan untuk mengungkapkan dirinya dalam kejelasan. Dalam menemukan Allah, mereka mengetahui bahwa Dia Maha Gaib dan tak bisa diketahui. Namun, setiap saat mereka selalu terbuka pada pengetahuan baru dan segar tentang Allah! “Karena itu, segala puji bagi Allah yang diketahui hanya lewat fakta bahwa Dia tidak bisa diketahui!” (Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, terj. M.S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 94) – penerj.     

(3)
Al-walaah (hilang kesadaran) merupakan suatu keadaan yang muncul karena ekstase berlebihan yang bergejolak. Gejolak demikian terjadi ketika hati sepenuhnya diliputi Cinta Allah; cinta yang murni, total, dan tanpa syarat. Cinta ini tidak membedakan antara Kemarahan dan Kelembutan Cinta Sang Kekasih. Sang hamba yang mengalaminya bahkan tidak melihat Sang Kekasih. Ia buta terhadap segala sesuatu karena ia menjadi satu dengan Sang Kekasih (Lihat Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hlm. 315) – penerj. 

<===  To Be Continued  ===>


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...