Asma al-Husna : Laa Ilaaha illallaah
(2) Laa Ilaaha illallaah (Tiada Tuhan Selain Allah)
Dari Mu’a — r.a. berkata, Rasullullah Saw. Bersabda, “Barang
siapa yang akhir perkataannya: Laa ilaaha illa Allaah (tidak ada Tuhan selain
Allah), maka ia masuk surga” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim, dan mengatakan
isnad hadis ini sahih).
Di Hadis lain, Nabi Swa. Bersabda:
“Laa ilaaha illa Allaah (tidak ada Tuhan selain Allah)
adalah kunci surga”.
Hakikat seorang hamba yang mengucapkan laa ilaaha illa
Allaah adalah ucapan yang diikuti hatinya, sebagaimana disebutkan dalam
Hadis: “Siapa mengucapkan laa ilaaha illa Allaah dengan tulus ikhlas,
niscaya ia masuk surga”, yakni apabila ia seorang yang arif (yang bermakrifat
denagn Tuhannya). Setiap orang yang memahami dan membaca kalimat ini dengan
hati yang ikhlas, diharapkan kematiannya pun dalam keadaan yang ikhlas pula.
Ahli isyarat mengatakan: “Jika seseorang dengan ikhlas
mengucapkan (kalimat itu), maka berhaklah ia dengan surga-Nya”.
Firman Allah: “Dan bagi orang yang takut saat menghadap
Tuhannya, tersedia dua surga” (QS. Al-Rahman [55]: 46). Maksudnya, surga
yang disegerakan, berupa kelezatan taat dan munajat, kemanisan iman, kemesraan
dan keramahan, dan berbagai ungkapan lainnya. Dan surga yang kemudian, berupa
tempat peristirahatan abadi dan ketinggian derajat.
Sebagian guru tasawuf memaknai Laa ilaaha illa Allaah
sebagai menafikan atau meniadakan apa pun yang mustahil kejadiannya dan
menetapkan apa pun yang mustahil lenyapnya. Di kalangan sufi, ada yang berkata
kepada rekannya: “Mengapa Anda mengucapkan Allah, Allah, dan tidak mengucapkan Laa
ilaaha illa Allaah?” Rekannya menjawab: “Aku tidak ingin menafikan pada-Nya
satu lawan”. Rekannya itu menimpali: “Berilah kepada kami yang lebih dari itu?”
Jawabnya: “Tidak ada sedikit pun terlintas di lidahku kalimat pengingkaran”.
Di lain kesempatan terjadi dialog antara al-Syibli dengan
rekannya sesama sufi: “Kami menginginkan yang lebih tinggi dari yang ini”. Rekannya
menjawab dengan mengutip al-Qur’an; Katakanlah: “Allah saja, kemudian
biarkan mereka” (QS. Al-An’am [6]:91). Jawaban ini diucapkan dengan
teriakan yang disertai dengan keluar ruh (kematian)-nya. Keluarga rekan
al-Syibli tidak terima dengan kematian itu, karena menganggapnya tidak wajar.
Mereka menuntut al-Syibli ke hadapan Khalifah agar soal kematian ini
diselesaikan secara hukum. Khalifah lalu memanggil al-Syibli dan memerintahkan
kepada seorang pengawal untuk menginterogasinya.
Al-Syibli dengan tenang menjawab: “Itulah ruh yang saling
merindukan dan penuh harap (untuk bertemu dengan-Nya)… lalu ia pun terpanggil…
dan panggilan itu diterima; lantas apa kesalahanku?” Di balik dinding, Khalifah
berteriak: “Lepaskan dia! Bebaskan dia! Tidak ada kesalahan apa pun yang
dilakukannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar