Asma al-Husna : al-'Aliy ; Asma al-Husna : al-Kabiir
Ketinggian Allah Swt bukan ketinggian arah atau jarak, dan
bukan pula kebesaran-Nya merupakan kebesaran bentuk tubuh. Maha Suci Allah dari
anggapan yang demikian. Ketinggian bagi-Nya adalah kelayakan-Nya, layak bagi
sifat kebesaran dan keagungan-Nya. Maka, tafsir uraian ini adalah Dia
senantiasa meninggi dengan suatu ketinggian dan tidak dapat untuk menyifati
pada-Nya dengan besar, membesar atau bertambah besar.
Dari ketinggian dan kebesaran-Nya Swt tidak akan menambah
pujian para hamba kepada-Nya, baik dengan membesar-besarkan maupun dengan
menagung-agungkan-Nya; bahkan hanya mereka yang memperoleh taufikdaripada-Nya
saja yang dapat membesarkan dan mengagungkan. Maka siapa yang sudah mengenal
ketinggian dan keagungan-Nya selayaknya ber-tawadhu’, merendahkan diri
di antara kedua tangan-Nya dan di hadapan para shalihin. Jika dilakukan oleh si
hamba, keharusan bagi Allah untuk mengangkat derajatnya.
Dikisahkan, bahwa Allah Swt mewahyukan kepada Nabi Musa agar
datang ke sebuah bukit guna diajak berbicara. Setiap bukit pamer, membesar dan
meninggi, dengan maksud agar ditempatnyalah percakapan itu dilakukan. Dari
sekian banyak bukit, hanya Thurshina saja yang tidak mau pamer, ia mengecilkan
diri seraya berkata: “layakkah diriku dijadikan tempat berpijak tumit kaki Musa
di saat munajat?” Maka Allah mewahyukan kepada Musa untuk datang ke Thursina,
karena sikapnya yang merendahkan diri itu.
Hakikat dari sikap tawadhu adalah menerima kebenaran
dari siapa saja yang mengucapkan. Sebaliknya, takabur adalah sifat mengingkari
kebenaran. Dalam hal ini Allah berfirman: Dan apabila dikatakan kepadanya:
‘Bertawakalah kepada Allah!” Bangkitlah kebanggaannya untuk berbuat dosa” (
QS. al-Baqarah [2]: 206); juga
firman-Nya: “Karena sesungguhnya apabila dikatakan kepada mereka bahwa:
“Tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah’, mereka menyombongkan dirinya”
(QS. al-Shaffat [37]: 35).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar