Selasa, 03 Juli 2012

(29) Asma al-Husna : al-Hakam ; (30) Asma al-Husna : al-'Adl

Asma al-Husna : al-Hakam ;  Asma al-Husna : al-'Adl




(29) al-Hakam (Yang Memutuskan Hukum)     ;  (30) al-'Adl (Yang Maha Adil)

Al-Hakam adalah yang menghakimi segala sesuatu dengan hukum-Nya, dan ini termasuk sifat zat, karena hukum-Nya juga yang berlaku atas hamba-hamba-Nya. Makna lainnya, Dia menciptakan sesuatu dengan rupa dan bentuk yang dikehendaki-Nya.

Ada juga yang memaknai, Bahwa Dia menghukum si Fulan dengan memberi suatu kenikmatan. Sedangkan kepada yang lain dengan malapetaka. Menurut pengertian, al-Hakam merupakan sifat perbuatan.

Al-‘Adl adalah sifat zat-Nya. Dapat diartikan bahwa Dia berhak berbuat apa pun yang dikehendaki terhadap kerajaan-Nya dan seluruh makhluk yang merupakan bagian dari kerajaan-Nya.

Dengan demikian, siapa yang mengenal-Nya bahwa Dia adalah Yang Maha Adil, niscaya tidak akan menjelek-jelekkan segala sesuatu yang telah ada dan tidak pula merasakan keberatan atas hukum Allah Swt yang menimpa dirinya. Bahkan hukum ini dihadapi dengan kerelaan dan kesabaran. Betapa pun beratnya musibah yang menimpa, ia tidak akan pernah berkeluh-kesah. Dia sadar bahwa semua ini sudah ada dalam pengetahuan-Nya, karena Dia Maha Adil. Jadi, tidak mungkin Dia mengambil keputusan bagi makhluk-Nya tanpa berlandaskan keadilan. Berkenaan dengan hal ini, Abu ‘Ustman al-Maghribi berkata; “Jiwa-jiwa para arif selalu terbuka untuk menerima takdir apa pun yang akan datang, sekalipun datangnya secara mendadak”.

Allah Swt menghukum segala sesuatu yang dikehendaki-Nya dengan ketentuan-Nya di dalam azal, sehingga siapa pun yang sudah diputuskan bahwa baginya kebahagiaan, niscaya bahagialah untuk selama-lamanya. Dan siapa pun yang sudah diputuskan buruk, maka kebahagiaan akan menjauh darinya. Oleh karena itu dikatakan bahwa: “Siapa yang dijauhkan oleh ketentuan masa silam tidak akan dapat didekatkan oleh sebab-musabab; dan siapa yang digagalkan oleh kegiatannya, tidak akan memperoleh manfaat dari usahanya”.

Manusia terbagi atas empat golongan. Pertama, Ashhaab al-Sawaabiq (golongan para pendahulu), yakni orang-orang yang pemikirannya setuju pada ketentuan mula pertamanya. Ketentuan Allah ini tidak lepas sedikit pun dari hukum azali dan tidak akan berubah oleh kasab (usaha) hamba. Kedua, Ashhaab al-‘Awaaqib (golongan serba akibat), mereka adalah yang pemikirannya setuju pada akhir dari sesuatu. Semua persoalan dinantikan di saat akhirnya. Namun karena akhir sesuatu itu masih merupakan misteri, maka kepada golongan ini dikatakan: “Janganlah kalian terperdaya oleh kejernihan suasana, karena di dalamnya terdapat kebinasaan yang samar atau kerusakan yang terselubung”.

Ketiga, Ashaab al-Waqt (golongan waktu), yakni yang bebas, tidak memikirkan yang azali (kekal) maupun kesudahan, bahkan mereka giat bekerja dengan sangat serius terhadap masalah yang dihadapi saat ini dengan ketentuan hukum yang berlaku. Mereka yang masuk golongan ini disebut juga “putera waktu” (ibn waqt). Bagi sufi, mereka tidak terikat oleh waktu, baik yang berlalu maupun yang akan datang kemudian. Seorang fakir mimpi bertemu Abu Bakar al-Shiddiq – semoga Allah meridhainya – dan dia minta diberi wasiat olehnya. Abu Bakar pun berwasiatkan kepadanya:”Kun ibna waqtika” (Jadilah kamu putera waktumu)”.

Keempat, Ashhaab al-Dawaam (golongan dawam); kelompok terakhir ini selalu melakukan zikir al-Haq dan hatinya sibuk dengan penyaksian al-Haq tanpa memperhatikan waktu. Al-Junaid berkata  bahwa Pada suatu hari aku berjumpa sahabatku al-Sari dan aku katakan kepadanya: “Bagaimana keaadan Anda pada pagi hari ini?” Jawabnya: Tidak lepas dari sisi Allah, di waktu pagi maupun sore”.

Ucapan ini mengisyaratkan bahwa al-Sari tidak mengakui waktu dengan sebenar-benarnya, ia sudah tenggelam dalam penyaksian Yang Maha Mengadakan waktu. Dan ia menggubah sebuah syair:

Dulu aku memanglah belum ada
Lalu bagaimana aku mengetahui masa dulunya
Tiadalah kuketahui akan wujud diriku
Sekalipun aku tahu bahwa aku ada.
Tiadalah terjadi bila kuketahui kalau tiada
Wahai, yang dengan-Nya aku ada
Wujudku antara keluhan dan kesedihan.

Mungkin uraian ini agak berlebihan. Padahal manusia secara fitrahnya terikat pada perasaan, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:

Dan engkau mengira bahwa mereka itu bangun padahal mereka  itu nyenyak (QS. al-Kahfi [18]: 18).

Dikisahkan, ada seorang datang mengetuk pintu rumah Abu Yazid, kemudian ia menanyakan dari dalam rumah: “Siapa yang Anda kehendaki?” Si pengetuk pintu menjawab: “Yang aku kehendaki adalah Abu Yazid”. Dari dalam ia menjawab: “Abu Yazid tidak ada di rumah”.

Pernah pula terjadi bahwa ada orang bertanya kepada al-Syibli: “Di mana kiranya aku dapat menjumpai al-Syibli?” Jawab al-Syibli: “Mengenai keadaan al-syibli sudah mati, dan semoga Allah tidak memberi rahmat kepadanya”.

Sekali waktu Zun Nun al Mishri mengutus seorang pergi ke negeri Bustham untuk menyelidiki hal-ihwal; Abu Yazid, lalu orang suruhan itu kembali membawa berita tentang ia. Dikisahkan bahwa ia sudah menjumpai Abu Yazid di dalam mesjid. Ia pun memberi salam kepada Abu Yazid, kemudian Abu Yazid bertanya kepadanya: “Apa yang hendak Anda inginkan?” Jawab suruhan itu: “Saya ingin menjumpai Abu Yazid?” Abu Yazid menjawab: “Ya saya juga mencarinya, di mana gerangan Abu Yazid?” Dalam hati orang itu berkata: “Rupanya orang ini sudah gila, untuk apa aku bersusah payah menemuinya?”

Ketika hal itu diceritakan kepada Zun Nun al-Mishri, ia pun menangis sembari berkata: “Saudaraku, Abu Yazid telah pergi bersama mereka yang telah pergi dalam menuju Allah Jalla Jalaluhu”.

Abu ‘Ali al-Daqqaq pernah memberikan komentar berkenaan dengan firman Allah Swt mengenai Nabi Ibrahim:

Sesungguhnya aku hendak pergi kepada Tuhanku! Dia akan membingbingku (QS. al-Shaffat [37]: 99).

Nabi Ibrahim bepergian untuk Allah, untuk itulah ia pergi kepada Allah. Bepergiannya demi Allah, mewajibkannya bepergian kepada Allah.

Ketahuilah bahwa lafal-lafal ini pada lahirnya membingungkan bagi mereka yang tidak biasa melakukan dan mendalami ilmu-ilmu kaum sufi. Namun bagi mereka yang telah mengenal hakikat-hakikat usul dan sudah mencium bau sesuatu dari ilmu-ilmu mereka, maka mereka akan mengerti makna-makna yang dikandung dan memahami rumus-rumus mereka. Namun sangat disayangkan, mereka yang mengklaim “peneliti kebenaran” pastilah akan menentang ini, bahkan akan menyesatkan mereka. Semoga Allah melindungi kita semua.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...