Asma al-Husna : al-Hakam ; Asma al-Husna : al-'Adl
(29) al-Hakam (Yang Memutuskan Hukum)
; (30) al-'Adl (Yang Maha Adil)
Al-Hakam adalah yang menghakimi segala sesuatu dengan
hukum-Nya, dan ini termasuk sifat zat, karena hukum-Nya juga yang berlaku atas
hamba-hamba-Nya. Makna lainnya, Dia menciptakan sesuatu dengan rupa dan bentuk
yang dikehendaki-Nya.
Ada
juga yang memaknai, Bahwa Dia menghukum si Fulan dengan memberi suatu
kenikmatan. Sedangkan kepada yang lain dengan malapetaka. Menurut pengertian, al-Hakam
merupakan sifat perbuatan.
Al-‘Adl adalah sifat zat-Nya. Dapat diartikan bahwa
Dia berhak berbuat apa pun yang dikehendaki terhadap kerajaan-Nya dan seluruh
makhluk yang merupakan bagian dari kerajaan-Nya.
Dengan demikian, siapa yang mengenal-Nya bahwa Dia adalah
Yang Maha Adil, niscaya tidak akan menjelek-jelekkan segala sesuatu yang telah
ada dan tidak pula merasakan keberatan atas hukum Allah Swt yang menimpa
dirinya. Bahkan hukum ini dihadapi dengan kerelaan dan kesabaran. Betapa pun
beratnya musibah yang menimpa, ia tidak akan pernah berkeluh-kesah. Dia sadar
bahwa semua ini sudah ada dalam pengetahuan-Nya, karena Dia Maha Adil. Jadi,
tidak mungkin Dia mengambil keputusan bagi makhluk-Nya tanpa berlandaskan
keadilan. Berkenaan dengan hal ini, Abu ‘Ustman al-Maghribi berkata; “Jiwa-jiwa
para arif selalu terbuka untuk menerima takdir apa pun yang akan datang,
sekalipun datangnya secara mendadak”.
Allah Swt menghukum segala sesuatu yang dikehendaki-Nya
dengan ketentuan-Nya di dalam azal, sehingga siapa pun yang sudah diputuskan
bahwa baginya kebahagiaan, niscaya bahagialah untuk selama-lamanya. Dan siapa
pun yang sudah diputuskan buruk, maka kebahagiaan akan menjauh darinya. Oleh
karena itu dikatakan bahwa: “Siapa yang dijauhkan oleh ketentuan masa silam
tidak akan dapat didekatkan oleh sebab-musabab; dan siapa yang digagalkan oleh
kegiatannya, tidak akan memperoleh manfaat dari usahanya”.
Manusia terbagi atas empat golongan. Pertama, Ashhaab
al-Sawaabiq (golongan para pendahulu), yakni orang-orang yang pemikirannya
setuju pada ketentuan mula pertamanya. Ketentuan Allah ini tidak lepas sedikit
pun dari hukum azali dan tidak akan berubah oleh kasab (usaha) hamba. Kedua,
Ashhaab al-‘Awaaqib (golongan serba akibat), mereka adalah yang
pemikirannya setuju pada akhir dari sesuatu. Semua persoalan dinantikan di saat
akhirnya. Namun karena akhir sesuatu itu masih merupakan misteri, maka kepada
golongan ini dikatakan: “Janganlah kalian terperdaya oleh kejernihan suasana,
karena di dalamnya terdapat kebinasaan yang samar atau kerusakan yang
terselubung”.
Ketiga, Ashaab al-Waqt (golongan waktu), yakni yang
bebas, tidak memikirkan yang azali (kekal) maupun kesudahan, bahkan
mereka giat bekerja dengan sangat serius terhadap masalah yang dihadapi saat
ini dengan ketentuan hukum yang berlaku. Mereka yang masuk golongan ini disebut
juga “putera waktu” (ibn waqt). Bagi sufi, mereka tidak terikat oleh
waktu, baik yang berlalu maupun yang akan datang kemudian. Seorang fakir mimpi
bertemu Abu Bakar al-Shiddiq – semoga Allah meridhainya – dan dia minta diberi
wasiat olehnya. Abu Bakar pun berwasiatkan kepadanya:”Kun ibna waqtika”
(Jadilah kamu putera waktumu)”.
Keempat, Ashhaab al-Dawaam (golongan dawam); kelompok
terakhir ini selalu melakukan zikir al-Haq dan hatinya sibuk dengan penyaksian
al-Haq tanpa memperhatikan waktu. Al-Junaid berkata bahwa Pada suatu hari aku berjumpa sahabatku
al-Sari dan aku katakan kepadanya: “Bagaimana keaadan Anda pada pagi hari ini?”
Jawabnya: Tidak lepas dari sisi Allah, di waktu pagi maupun sore”.
Ucapan ini mengisyaratkan bahwa al-Sari tidak mengakui waktu
dengan sebenar-benarnya, ia sudah tenggelam dalam penyaksian Yang Maha
Mengadakan waktu. Dan ia menggubah sebuah syair:
Dulu aku memanglah belum ada
Lalu bagaimana aku mengetahui masa dulunya
Tiadalah kuketahui akan wujud diriku
Sekalipun aku tahu bahwa aku ada.
Tiadalah terjadi bila kuketahui kalau tiada
Wahai, yang dengan-Nya aku ada
Wujudku antara keluhan dan kesedihan.
Mungkin uraian ini agak berlebihan. Padahal manusia secara
fitrahnya terikat pada perasaan, sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
Dan engkau mengira bahwa mereka itu bangun padahal mereka
itu nyenyak (QS. al-Kahfi [18]: 18).
Dikisahkan, ada seorang datang mengetuk pintu rumah Abu
Yazid, kemudian ia menanyakan dari dalam rumah: “Siapa yang Anda kehendaki?” Si
pengetuk pintu menjawab: “Yang aku kehendaki adalah Abu Yazid”. Dari dalam ia
menjawab: “Abu Yazid tidak ada di rumah”.
Pernah pula terjadi bahwa ada orang bertanya kepada
al-Syibli: “Di mana kiranya aku dapat menjumpai al-Syibli?” Jawab al-Syibli:
“Mengenai keadaan al-syibli sudah mati, dan semoga Allah tidak memberi rahmat
kepadanya”.
Sekali waktu Zun Nun al Mishri mengutus seorang pergi ke
negeri Bustham untuk menyelidiki hal-ihwal; Abu Yazid, lalu orang suruhan itu
kembali membawa berita tentang ia. Dikisahkan bahwa ia sudah menjumpai Abu
Yazid di dalam mesjid. Ia pun memberi salam kepada Abu Yazid, kemudian Abu
Yazid bertanya kepadanya: “Apa yang hendak Anda inginkan?” Jawab suruhan itu:
“Saya ingin menjumpai Abu Yazid?” Abu Yazid menjawab: “Ya saya juga mencarinya,
di mana gerangan Abu Yazid?” Dalam hati orang itu berkata: “Rupanya orang ini
sudah gila, untuk apa aku bersusah payah menemuinya?”
Ketika hal itu diceritakan kepada Zun Nun al-Mishri, ia pun
menangis sembari berkata: “Saudaraku, Abu Yazid telah pergi bersama mereka yang
telah pergi dalam menuju Allah Jalla Jalaluhu”.
Abu ‘Ali al-Daqqaq pernah memberikan komentar berkenaan
dengan firman Allah Swt mengenai Nabi Ibrahim:
Sesungguhnya aku hendak pergi kepada Tuhanku! Dia akan
membingbingku (QS. al-Shaffat [37]: 99).
Nabi Ibrahim bepergian untuk Allah, untuk itulah ia pergi
kepada Allah. Bepergiannya demi Allah, mewajibkannya bepergian kepada Allah.
Ketahuilah bahwa lafal-lafal ini pada lahirnya membingungkan
bagi mereka yang tidak biasa melakukan dan mendalami ilmu-ilmu kaum sufi. Namun
bagi mereka yang telah mengenal hakikat-hakikat usul dan sudah mencium bau
sesuatu dari ilmu-ilmu mereka, maka mereka akan mengerti makna-makna yang
dikandung dan memahami rumus-rumus mereka. Namun sangat disayangkan, mereka
yang mengklaim “peneliti kebenaran” pastilah akan menentang ini, bahkan akan
menyesatkan mereka. Semoga Allah melindungi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar