Selasa, 03 Juli 2012

(31) Asma al-Husna : al-Lathiif


Asma al-Husna : al-Lathiif





(31) al-Lathiif (Yang Maha Lembut)

Al-Lathiif dari segi bahasa mempunyai tiga arti; pertama, mengetahui persoalan-persoalan yang halus, samar, rumit, dan musykil. Kedua, sesuatu yang kecil dan lembut (lawan dari tebal dan lebat). Ketiga, keramah-tamahan dalam menyampaikan sesuatu yang bermanfaat, yang diperlukan tentang hal yang tidak diketahui.

Lathiif di sisi Allah mempunyai arti: pertama; wajib, yaitu merupakan sifat zat-Nya. Kedua adalah mustahil. Arti ketiga, yaitu yang berbuat baik atau menyampaikan segala yang bermanfaat dengan kelunakan, kelembutan dan keramah-tamahan, termasuk sifat perbuatan, sebagaimana firman-Nya:

Allah itu lemah lembut terhadap hamba-hamba-Nya (QS. al-Syura [42]: 19).

Dapat pula berarti ganda, yaitu Maha Mengetahui terhadap hamba-hamba-Nya, Maha Mengetahui tempat-tempat di mana mereka melakukan kejahatan, dan memberi rezeki kepada yang dikehendaki-Nya.

Lathiif terhadap hamba-Nya berarti berbuat baik terhadapnya serta memberinya karunia dan sikap lemah lembut. Kalau ayat di atas berangkat dari sifat zat, berarti ada kaitan erat, sehingga dengan memberi dalil bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap penyakit-penyakit yang tersembunyi dan mengetahui atas pelanggaran-pelanggaran yang sekecil-kecilnya sesuai dengan bunyi ayat:

Allah mengetahui kedipan mata khianat dan segala yang disembunyikan dalam dada-dada (QS. al-Mu’min [40]: 19).

Dengan demikian mengharuskan si hamba untuk “qabadh” (bersempit dada) ketika ia mengetahui dan menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui dan selalu di bawah pengawasan-Nya.

Atas dasar ini, sebagian guru tasawuf berkata: “Sesungguhnya di balik ketaatan, masih terdapat kebejatan-kebejatan yang setaraf dengan tindak pelanggaran; ibarat seorang jatuh pailit yang menyangka dirinya seorang yang kaya, namun setelah dibuka buku neracanya. Tampaklah bahwa ia sebenarnya seorang yang sudah jatuh pailit, namun tidak menyadarinya, atau sengaja menutup-nutupinya.

Lebih jauh, jika kita memahami ke-Lathiif-an Yang Maha Suci terhadap hamba-hamba-Nya, maka akan muncul kesadaran dalam diri kita bahwa Dia telah memberi kita kenikmatan-kenikmatan lebih dari apa yang kita sangka. Nikmat lahir dan batin; “Dan melimpahkan atasmu nikmat-nikmat-Nya, baik lahir maupun batin” (QS. Luqman [31]: 20). Sekalipun demikian, Dia tidak membebani kita dengan beban yang berat yang setimpal dengan nikmat-nikmat yang diberikan-Nya kepada kita, seperti difirmankan-Nya: “Sekali-kali tiada membebani kamu dengan suatu kesukaran dalam beragama” (QS. al-Haj [22]: 78).

Bukti bahwa Dia tidak mempersulit kita, terlihat dalam masalah ibadah. Allah Swt meringankan hamba-hamba-Nya sehingga kewajiban salat atas setiap hamba hanya lima kali dalam sehari-semalam. Beban itu pun tidak sekaligus, tetapi dalam waktu yang terpisah-pisah, dan dianjurkan pula dikerjakan dalam berjamaah maupun sendiri-sendiri. Disamping itu, Dia telah memberi kepada sang hamba rezeki yang cukup untuk masa yang sudah ditentukan. Tetapi, si hamba masih juga mengeluh dan tetap menuntut yang lebih.

Kalau kita perdalami lebih jauh ke-Lathiif-an Allah; pahamlah kita bahwa Dia menyampaikan kebutuhan kita, tanpa kita susah payah memikul beban berat dan sukar yang mengiringi kedatangan nikmat itu. Misalnya saja sepotong roti, kalau kita mau menelusuri jalan dari awal sampai terciptanya sebuah roti, maka betapa berat cara yang harus dilalui, mulai dari mata yang tidak terbilang banyaknya yang berjaga di malam hari; dari para petani atau pedagang atau penabur biji-bijian tanaman, penyiram air, pengawas, penuai, pengetam sampai pada penggiling; dari penggiling berpindah ke tangan peremas dan pengepal hingga adonan itu masuk ke tungku pembakaran. Berbagai cabang kerja dilalui, belum lagi terhitung benda-benda yang diperlukan mulai dari pedati, kayu, batu, besi, dan tali-temali. Nah, kalau kita hendak menghitung maka tidak sangguplah kita merinci. Itu baru satu macam nikmat, sudah harus melalui aneka cara dan jalan. Begitulah cara Allah memberi kenikmatan kepada hamba-Nya, makanan, minuman, serta pakaian. Andaikan semuanya ini hendak ditangani sendiri, niscaya ia tidak sanggup dan tidak mampu melaksanakannya. Mengingat demikian rumit “mata rantai” roti yang harus dilalui.

Karena ke-Lathiifan-Nya juga, Dia memberi taufik dan hidayah untuk melakukan ibadah, taat dan patuh, serta menjaga kita agar jangan sampai tergelincir dalam maksiat dan pelanggaran. Pemeliharaan-Nya terhadap tauhid kita di dalam hati dengan penetapan iman dan mengekalkan makrifat atas kita, sekalipun teriring oleh maksiat dan pelanggaran dosa. Dia tetap tidak serta merta menghukum kita. Dia memberi tenggang waktu agar kita mau menyadari apa yang telah kita lakukan pada-Nya.

Yang lebih mengherankan lagi adalah tempat pengeluaran air susu pada binatang, kantong susu itu berada diantara kotoran dan darah. Tetapi sunnah Allah yang Maha Suci telah memelihara kemurnian air susu itu, dan dengan ke-Lathiifan-Nya, Dia menjaga agar air susu tidak tercemari.

Tidakkah Anda mau merenungkan bagaimana Allah Swt menjadikan perut bumi tempat tambang logam, emas dan perak, serta intan permata. Dalam kulit kerang terdapat mutiara; pada binatang penyengat terdapat tempat keluar madu, dan dalam ulat yang menjijikkan keluar benang sutera. Demikian pula dengan hati kita yang senantiasa terkait dengan Allah Swt, padahal ia segumpal daging.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...