Asma al-Husna : al-Lathiif
(31) al-Lathiif (Yang Maha Lembut)
Al-Lathiif dari segi bahasa mempunyai tiga arti; pertama,
mengetahui persoalan-persoalan yang halus, samar, rumit, dan musykil. Kedua,
sesuatu yang kecil dan lembut (lawan dari tebal dan lebat). Ketiga,
keramah-tamahan dalam menyampaikan sesuatu yang bermanfaat, yang diperlukan
tentang hal yang tidak diketahui.
Lathiif di sisi Allah mempunyai arti: pertama;
wajib, yaitu merupakan sifat zat-Nya. Kedua adalah mustahil. Arti ketiga,
yaitu yang berbuat baik atau menyampaikan segala yang bermanfaat dengan
kelunakan, kelembutan dan keramah-tamahan, termasuk sifat perbuatan,
sebagaimana firman-Nya:
Allah itu lemah lembut terhadap hamba-hamba-Nya (QS.
al-Syura [42]: 19).
Dapat pula berarti ganda, yaitu Maha Mengetahui terhadap
hamba-hamba-Nya, Maha Mengetahui tempat-tempat di mana mereka melakukan
kejahatan, dan memberi rezeki kepada yang dikehendaki-Nya.
Lathiif terhadap hamba-Nya berarti berbuat baik
terhadapnya serta memberinya karunia dan sikap lemah lembut. Kalau ayat di atas
berangkat dari sifat zat, berarti ada kaitan erat, sehingga dengan memberi
dalil bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap penyakit-penyakit yang tersembunyi dan
mengetahui atas pelanggaran-pelanggaran yang sekecil-kecilnya sesuai dengan
bunyi ayat:
Allah mengetahui kedipan mata khianat dan segala yang
disembunyikan dalam dada-dada (QS. al-Mu’min [40]: 19).
Dengan demikian mengharuskan si hamba untuk “qabadh”
(bersempit dada) ketika ia mengetahui dan menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui
dan selalu di bawah pengawasan-Nya.
Atas dasar ini, sebagian guru tasawuf berkata: “Sesungguhnya
di balik ketaatan, masih terdapat kebejatan-kebejatan yang setaraf dengan
tindak pelanggaran; ibarat seorang jatuh pailit yang menyangka dirinya seorang
yang kaya, namun setelah dibuka buku neracanya. Tampaklah bahwa ia sebenarnya
seorang yang sudah jatuh pailit, namun tidak menyadarinya, atau sengaja
menutup-nutupinya.
Lebih jauh, jika kita memahami ke-Lathiif-an Yang
Maha Suci terhadap hamba-hamba-Nya, maka akan muncul kesadaran dalam diri kita
bahwa Dia telah memberi kita kenikmatan-kenikmatan lebih dari apa yang kita
sangka. Nikmat lahir dan batin; “Dan melimpahkan atasmu nikmat-nikmat-Nya,
baik lahir maupun batin” (QS. Luqman [31]: 20). Sekalipun demikian, Dia
tidak membebani kita dengan beban yang berat yang setimpal dengan nikmat-nikmat
yang diberikan-Nya kepada kita, seperti difirmankan-Nya: “Sekali-kali tiada
membebani kamu dengan suatu kesukaran dalam beragama” (QS. al-Haj [22]:
78).
Bukti bahwa Dia tidak mempersulit kita, terlihat dalam
masalah ibadah. Allah Swt meringankan hamba-hamba-Nya sehingga kewajiban salat
atas setiap hamba hanya lima
kali dalam sehari-semalam. Beban itu pun tidak sekaligus, tetapi dalam waktu
yang terpisah-pisah, dan dianjurkan pula dikerjakan dalam berjamaah maupun
sendiri-sendiri. Disamping itu, Dia telah memberi kepada sang hamba rezeki yang
cukup untuk masa yang sudah ditentukan. Tetapi, si hamba masih juga mengeluh
dan tetap menuntut yang lebih.
Kalau kita perdalami lebih jauh ke-Lathiif-an Allah;
pahamlah kita bahwa Dia menyampaikan kebutuhan kita, tanpa kita susah payah
memikul beban berat dan sukar yang mengiringi kedatangan nikmat itu. Misalnya
saja sepotong roti, kalau kita mau menelusuri jalan dari awal sampai terciptanya
sebuah roti, maka betapa berat cara yang harus dilalui, mulai dari mata yang
tidak terbilang banyaknya yang berjaga di malam hari; dari para petani atau
pedagang atau penabur biji-bijian tanaman, penyiram air, pengawas, penuai,
pengetam sampai pada penggiling; dari penggiling berpindah ke tangan peremas
dan pengepal hingga adonan itu masuk ke tungku pembakaran. Berbagai cabang
kerja dilalui, belum lagi terhitung benda-benda yang diperlukan mulai dari
pedati, kayu, batu, besi, dan tali-temali. Nah, kalau kita hendak menghitung
maka tidak sangguplah kita merinci. Itu baru satu macam nikmat, sudah harus
melalui aneka cara dan jalan. Begitulah cara Allah memberi kenikmatan kepada
hamba-Nya, makanan, minuman, serta pakaian. Andaikan semuanya ini hendak
ditangani sendiri, niscaya ia tidak sanggup dan tidak mampu melaksanakannya.
Mengingat demikian rumit “mata rantai” roti yang harus dilalui.
Karena ke-Lathiifan-Nya juga, Dia memberi taufik dan
hidayah untuk melakukan ibadah, taat dan patuh, serta menjaga kita agar jangan
sampai tergelincir dalam maksiat dan pelanggaran. Pemeliharaan-Nya terhadap
tauhid kita di dalam hati dengan penetapan iman dan mengekalkan makrifat atas
kita, sekalipun teriring oleh maksiat dan pelanggaran dosa. Dia tetap tidak
serta merta menghukum kita. Dia memberi tenggang waktu agar kita mau menyadari
apa yang telah kita lakukan pada-Nya.
Yang lebih mengherankan lagi adalah tempat pengeluaran air
susu pada binatang, kantong susu itu berada diantara kotoran dan darah. Tetapi
sunnah Allah yang Maha Suci telah memelihara kemurnian air susu itu, dan dengan
ke-Lathiifan-Nya, Dia menjaga agar air susu tidak tercemari.
Tidakkah Anda mau merenungkan bagaimana Allah Swt menjadikan
perut bumi tempat tambang logam, emas dan perak, serta intan permata. Dalam
kulit kerang terdapat mutiara; pada binatang penyengat terdapat tempat keluar
madu, dan dalam ulat yang menjijikkan keluar benang sutera. Demikian pula
dengan hati kita yang senantiasa terkait dengan Allah Swt, padahal ia segumpal
daging.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar