Jumat, 29 Juni 2012

(27) Asma al-Husna : al-Samii' ; (28) Asma al-Husna : al-Bashiir


Asma al-Husna : al-Samii' ;  Asma al-Husna : al-Bashiir




(27) al-Samii'  (Yang Maha Mendengar)   ;  (28) al-Bashiir (Yang Maha Melihat)

Pendengaran dan penglihatan Allah Swt merupakan dua sifat tambahan atas ilmu-Nya – berlawanan dengan mahzab Qadariyah – dan kedua sifat ini merupakan pencapaian bentuk lain bagi zat-Nya.

Tidak satu pun yang lolos dari tangkapan pendengaran-Nya, tidak satu wujud pun yang luput dari penglihatan-Nya, dan tiada sesuatu dinding yang mampu menutupi kedua sifat-Nya ini. Dia mendengar sesuatu yang dibisikkan atau dirahasiakan, dan dapat melihat sesuatu yang berada di kerak bumi sekalipun.

Maka bagi mereka yang telah mengenal bahwa Dia mempunyai sifat demikian, hendaknya senantiasa menetapi sopan santun agar selalu waspada dan menuntut pada dirinya dengan memperhitungkan secara teliti.

Diceritakan tentang seorang raja yang perhatiannya tertuju pada salah seorang pelayannya melebihi dari pelayan-pelayan yang lain. Pelayan ini sebenarnya biasa-biasa saja, tidak ada istemewa pada parasnya. Karena itulah banyak orang yang merasa heran dengan “keistemewaan” yang diperolehnya,. Pada suatu hari sang raja melakukan perjalanan dengan diiringi oleh para pengawal, teman dekat, dan para pelayan – termasuk pelayan yang diistemawakan tadi. Perjalanan menempuh lautan pasir yang amat luas. Raja naik ke bukit dan melihat sebuah gunung salju. Setelah asyik memandang salju itu, sang raja menundukkan wajahnya. Melihat perilaku rajanya, si pelayan “istimewa “ tadi tanggap. Tanpa sepengetahuan rajanya, ia segera memacu kudanya dan naik ke gunung bersalju dan secepatnya kembali membawa salju, dan kemudian dipersembahkan kepada raja.

Pelayan itu ditanya: “Dari mana engkau tahu kalau raja menginginkan salju?” Pelayan itu menjawab: “Karena aku melihat paduka raja mengarahkan pandangannya pada gunung, dan tiadalah pandangan seorang raja itu yang tidak mengandung arti”. Maka raja pun berkomentar: “Kedudukanmu akan kudekatkan dan akan kujadikan pemimpin atas mereka, karena mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri, sedangkan engkau memahami keadaanku”.

Syekh Junayd memiliki seorang darwis muda yang sangat ia cintai. Darwis Junayd lainnya, yang lebih tua, menjadi iri. Suatu hari Junayd menyuruh para darwisnya untuk membeli seekor ayam. Masing-masing disuruh menyembelih ayam itu di tempat yang tak seorang pun dapat melihatnya. Apa pun yang mereka lakukan, mereka harus kembali paling lambat pada saat matahari terbenam.

Satu per satu para darwis kembali menghadap Junayd, masing-masing membawa ayam yang telah mereka sembelih. Terakhir, darwis muda itu kembali dengan membawa seekor ayam yang masih hidup. Para darwis tua tertawa dan saling berbisik di antara mereka, bahwa si darwis muda akhirnya menunjukkan betapa bodoh dirinya.Ia bahkan tidak dapat menjalankan perintah syekhnya.

Junayd menanyakan masing-masing darwisnya, bagaimana mereka telah menjalankan perintahnya. Darwis yang pertama kali mengatakan bahwa ia telah membawa ayam tersebut ke rumahnya, mengunci pintu, lalu menyembelih ayam tersebut. Darwis kedua mengatakan bahwa ia membawa ayam tersebut ke rumahnya, mengunci pintu, menutup tirai, kemudian masuk ke dalam lemari tertutup, lalu menyembelihnya. Darwis ketiga juga membawa ayam tersebut ke dalam lemari bahkan tidak dapat melihat proses penyembelihan tersebut. Darwis lain bahkan pergi ke daerah gelap, yang terpencil di dalam hutan, untuk menyembelih ayamnya. Darwis terakhir pergi ke sebuah gua yang gelap gulita.

Akhirnya, sampailah pada giliran si darwis muda. Ia menundukkan kepalanya dengan malu. Ayamnya masih berkotek di dalam pelukannya. Dengan lirih ia berkata, “Aku telah membawa ayam ini ke dalam rumah, Tetapi Tuhan berada di segala isi rumah itu. Aku pergi ke tempat paling terpencil di hutan, tetapi Tuhan tetap ikut bersamaku. Bahkan, di gua paling gelap sekalipun, Tuhan berada di sana. Tidak ada satu tempat pun di mana Tuhan tidak dapat melihatku”. Darwis muda tersebut memiliki ihsan. Darwis lainnya pun kemudian mengetahui mengapa syekh mereka mencintainya.

Siapa yang memelihara pendengaran dan penglihatannya dari hal-hal yang tidak halal didengar dan dilihat untuk Allah, niscaya akan dicintai oleh Allah. Sehingga dengan pendengaran dan penglihatan-Nya itulah ia mendengar dan melihat sesuatu.

Sahl ibn ‘Abdullah berkata: “Sudah sekian tahun aku bertutur kata bersama Allah, sedangkan orang-orang menyangka bahwa aku berkata-kata dengan mereka”.

Perlu ditegaskan di sini bahwa apabila seorang hamba sudah mengerti bahwa al-Maula (Yang Maha Pelindung) dapat mendengarkan apa saja yang dikatakan oleh setiap orang, maka keniscayaan bagi si hamba merasa cukup dengan pendengaran dan penglihatan-Nya. Dan tidak memerlukan lagi balas dendam atau menuntut bela untuk kemenangan dirinya, karena ia sudah mengetahui dengan benar-benar bahwa pembelaan Allah (nashrah al-Haq) lebih sempurna daripada pembelaan dirinya sendiri. Sebagaimana firman-Nya kepada Nabi-Nya, Muhammad saw:

Dan sungguh Kami telah mengetahui, betapa sesak dadamu disebabkan kata-kata yang mereka ucapkan (QS. al-Hijr [15]: 97).

Kemudian perhatikan bagaimana Allah menghibur Nabi-Nya dengan sesuatu yang dapat meringankan beban gangguan itu dengan firman-Nya:

Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu (QS. al-Hijr [15]: 98).

Maksud firman Allah di atas, apabila Anda terganggu atau merasa sakit hati karena mendengar berita yang buruk tentang diri Anda, maka segeralah dirimu dihibur dengan memperbanyak puji-pujian kepada-Nya. Dan kemudian buatlah hati serta pikiran Anda sejernih-jernihnya dengan berzikir terus-menerus dan melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Karena yang tahu perihal Anda adalah Anda sendiri dan Allah. Pasrah segala persoalan kepada-Nya, bukan kepada perasaan Anda dan orang lain. Karena mereka tidak jarang hanya akan membuat masalah menjadi rumit dan membebani Anda.

Memang secara spesifik ayat di atas diperuntukkan bagi Nabi Muhammad saw yang tengah dilanda kegalauan hati akibat ulah mereka yang membenci dia. Meskipun demikian, nasihat ini sangat berguna untuk diri kita. Karena nasihat itu berasal dari Allah, maka Nabi mematuhi-Nya. Karena Dialah tempat berlindung dan mengadu.

Kita bisa bayangkan, Nabi yang diutus untuk menyelamatkan umat manusia dituduh orang gila. Namun Allah membantah dan membela ia dengan firman-Nya:

…, demi kalam dan apa yang dituliskan (QS. al-Qalam [68]: 1).

Ayat ini adalah demi meringankan penderitaan Rasulullah saw karena hati ia yang galau, apalagi setelah ia mematuhi untuk bertasbih menyucikan Tuhan. Allah pun kemudian mencaci orang-orang yang melontarkan kata-kata buruk kepada Nabi-Nya dengan kata-kata gila. Maka, sepuluh sifat buruk dicercakan Allah kepada mereka dalam firman-Nya:

Janganlah diikuti setiap orang yang suka bersumpah lagi hina (QS. al-Qalam [68]: 10).

Hingga pada firman-Nya:

(Ini adalah) dongeng-dongeng orang-orang dahulu kala (QS. al-Qalam [68]: 15).

Inilah pembelaan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dan itu pulalah cercaan-Nya yang ditujukan kepada mereka, melebihi kesempurnaan pembelaan Nabi pada dirinya. Karena ayat-ayat al-Qur’an al-Karim kekal dan diulang oleh lisan-lisan sampai tiba Hari Kiamat.

Note:

Dalam sebuah hadis sebagaimana dikutip al-Qusyairi dalam kitabnya yang lain, Risalah al-Qusyairiyah, bab “Cinta”, disebutkan: “Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena ia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Selain itu ia senantiasa mendekati-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya (HR. Ibn al-Dunya, al-Hakim dan Ibn Mardawaih). Dalam Hadis versi Bukhari ada tambahan: “ …Apabila Aku telah mencintainya, Akulah pendengarannya, yang dengan itu ia mendengar, Aku penglihatannya, yang dengan itu ia melihat, Akulah tangannya, yang dengan itu ia meraba, Aku kakinya, dengan itu ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Aku kabulkan permohonannya, dan kalau ia meminta perlindunga-Ku, Aku melindunginya”.—penerj.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...