Asma al-Husna : al-Samii' ; Asma al-Husna : al-Bashiir
(27) al-Samii' (Yang Maha Mendengar) ; (28) al-Bashiir (Yang Maha Melihat)
Pendengaran dan penglihatan Allah Swt merupakan dua sifat
tambahan atas ilmu-Nya – berlawanan dengan mahzab Qadariyah – dan kedua sifat
ini merupakan pencapaian bentuk lain bagi zat-Nya.
Tidak satu pun yang lolos dari tangkapan pendengaran-Nya,
tidak satu wujud pun yang luput dari penglihatan-Nya, dan tiada sesuatu dinding
yang mampu menutupi kedua sifat-Nya ini. Dia mendengar sesuatu yang dibisikkan
atau dirahasiakan, dan dapat melihat sesuatu yang berada di kerak bumi
sekalipun.
Maka bagi mereka yang telah mengenal bahwa Dia mempunyai
sifat demikian, hendaknya senantiasa menetapi sopan santun agar selalu waspada
dan menuntut pada dirinya dengan memperhitungkan secara teliti.
Diceritakan tentang seorang raja yang perhatiannya tertuju
pada salah seorang pelayannya melebihi dari pelayan-pelayan yang lain. Pelayan
ini sebenarnya biasa-biasa saja, tidak ada istemewa pada parasnya. Karena
itulah banyak orang yang merasa heran dengan “keistemewaan” yang diperolehnya,.
Pada suatu hari sang raja melakukan perjalanan dengan diiringi oleh para
pengawal, teman dekat, dan para pelayan – termasuk pelayan yang diistemawakan
tadi. Perjalanan menempuh lautan pasir yang amat luas. Raja naik ke bukit dan
melihat sebuah gunung salju. Setelah asyik memandang salju itu, sang raja
menundukkan wajahnya. Melihat perilaku rajanya, si pelayan “istimewa “ tadi
tanggap. Tanpa sepengetahuan rajanya, ia segera memacu kudanya dan naik ke
gunung bersalju dan secepatnya kembali membawa salju, dan kemudian
dipersembahkan kepada raja.
Pelayan itu ditanya: “Dari mana engkau tahu kalau raja
menginginkan salju?” Pelayan itu menjawab: “Karena aku melihat paduka raja
mengarahkan pandangannya pada gunung, dan tiadalah pandangan seorang raja itu
yang tidak mengandung arti”. Maka raja pun berkomentar: “Kedudukanmu akan
kudekatkan dan akan kujadikan pemimpin atas mereka, karena mereka hanya
mementingkan diri mereka sendiri, sedangkan engkau memahami keadaanku”.
Syekh Junayd memiliki seorang darwis muda yang sangat ia
cintai. Darwis Junayd lainnya, yang lebih tua, menjadi iri. Suatu hari Junayd
menyuruh para darwisnya untuk membeli seekor ayam. Masing-masing disuruh
menyembelih ayam itu di tempat yang tak seorang pun dapat melihatnya. Apa pun
yang mereka lakukan, mereka harus kembali paling lambat pada saat matahari
terbenam.
Satu per satu para darwis kembali menghadap Junayd,
masing-masing membawa ayam yang telah mereka sembelih. Terakhir, darwis muda
itu kembali dengan membawa seekor ayam yang masih hidup. Para
darwis tua tertawa dan saling berbisik di antara mereka, bahwa si darwis muda
akhirnya menunjukkan betapa bodoh dirinya.Ia bahkan tidak dapat menjalankan
perintah syekhnya.
Junayd menanyakan masing-masing darwisnya, bagaimana mereka
telah menjalankan perintahnya. Darwis yang pertama kali mengatakan bahwa ia
telah membawa ayam tersebut ke rumahnya, mengunci pintu, lalu menyembelih ayam
tersebut. Darwis kedua mengatakan bahwa ia membawa ayam tersebut ke rumahnya,
mengunci pintu, menutup tirai, kemudian masuk ke dalam lemari tertutup, lalu
menyembelihnya. Darwis ketiga juga membawa ayam tersebut ke dalam lemari bahkan
tidak dapat melihat proses penyembelihan tersebut. Darwis lain bahkan pergi ke
daerah gelap, yang terpencil di dalam hutan, untuk menyembelih ayamnya. Darwis
terakhir pergi ke sebuah gua yang gelap gulita.
Akhirnya, sampailah pada giliran si darwis muda. Ia
menundukkan kepalanya dengan malu. Ayamnya masih berkotek di dalam pelukannya.
Dengan lirih ia berkata, “Aku telah membawa ayam ini ke dalam rumah, Tetapi
Tuhan berada di segala isi rumah itu. Aku pergi ke tempat paling terpencil di
hutan, tetapi Tuhan tetap ikut bersamaku. Bahkan, di gua paling gelap
sekalipun, Tuhan berada di sana.
Tidak ada satu tempat pun di mana Tuhan tidak dapat melihatku”. Darwis muda
tersebut memiliki ihsan. Darwis lainnya pun kemudian mengetahui mengapa syekh
mereka mencintainya.
Siapa yang memelihara pendengaran dan penglihatannya dari
hal-hal yang tidak halal didengar dan dilihat untuk Allah, niscaya akan
dicintai oleh Allah. Sehingga dengan pendengaran dan penglihatan-Nya itulah ia
mendengar dan melihat sesuatu.
Sahl ibn ‘Abdullah berkata: “Sudah sekian tahun aku bertutur
kata bersama Allah, sedangkan orang-orang menyangka bahwa aku berkata-kata
dengan mereka”.
Perlu ditegaskan di sini bahwa apabila seorang hamba sudah
mengerti bahwa al-Maula (Yang Maha Pelindung) dapat mendengarkan apa
saja yang dikatakan oleh setiap orang, maka keniscayaan bagi si hamba merasa
cukup dengan pendengaran dan penglihatan-Nya. Dan tidak memerlukan lagi balas
dendam atau menuntut bela untuk kemenangan dirinya, karena ia sudah mengetahui
dengan benar-benar bahwa pembelaan Allah (nashrah al-Haq) lebih sempurna
daripada pembelaan dirinya sendiri. Sebagaimana firman-Nya kepada Nabi-Nya,
Muhammad saw:
Dan sungguh Kami telah mengetahui, betapa sesak dadamu
disebabkan kata-kata yang mereka ucapkan (QS. al-Hijr [15]: 97).
Kemudian perhatikan bagaimana Allah menghibur Nabi-Nya
dengan sesuatu yang dapat meringankan beban gangguan itu dengan firman-Nya:
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu (QS. al-Hijr
[15]: 98).
Maksud firman Allah di atas, apabila Anda terganggu atau
merasa sakit hati karena mendengar berita yang buruk tentang diri Anda, maka
segeralah dirimu dihibur dengan memperbanyak puji-pujian kepada-Nya. Dan
kemudian buatlah hati serta pikiran Anda sejernih-jernihnya dengan berzikir
terus-menerus dan melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Karena yang tahu
perihal Anda adalah Anda sendiri dan Allah. Pasrah segala persoalan kepada-Nya,
bukan kepada perasaan Anda dan orang lain. Karena mereka tidak jarang hanya
akan membuat masalah menjadi rumit dan membebani Anda.
Memang secara spesifik ayat di atas diperuntukkan bagi Nabi
Muhammad saw yang tengah dilanda kegalauan hati akibat ulah mereka yang
membenci dia. Meskipun demikian, nasihat ini sangat berguna untuk diri kita.
Karena nasihat itu berasal dari Allah, maka Nabi mematuhi-Nya. Karena Dialah
tempat berlindung dan mengadu.
Kita bisa bayangkan, Nabi yang diutus untuk menyelamatkan
umat manusia dituduh orang gila. Namun Allah membantah dan membela ia dengan
firman-Nya:
…, demi kalam dan apa yang dituliskan (QS. al-Qalam
[68]: 1).
Ayat ini adalah demi meringankan penderitaan Rasulullah saw
karena hati ia yang galau, apalagi setelah ia mematuhi untuk bertasbih
menyucikan Tuhan. Allah pun kemudian mencaci orang-orang yang melontarkan
kata-kata buruk kepada Nabi-Nya dengan kata-kata gila. Maka, sepuluh sifat
buruk dicercakan Allah kepada mereka dalam firman-Nya:
Janganlah diikuti setiap orang yang suka bersumpah lagi
hina (QS. al-Qalam [68]: 10).
Hingga pada firman-Nya:
(Ini adalah) dongeng-dongeng orang-orang dahulu kala
(QS. al-Qalam [68]: 15).
Inilah pembelaan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dan itu
pulalah cercaan-Nya yang ditujukan kepada mereka, melebihi kesempurnaan
pembelaan Nabi pada dirinya. Karena ayat-ayat al-Qur’an al-Karim kekal dan
diulang oleh lisan-lisan sampai tiba Hari Kiamat.
Note:
Dalam sebuah hadis sebagaimana dikutip al-Qusyairi dalam kitabnya
yang lain, Risalah al-Qusyairiyah, bab “Cinta”, disebutkan: “Barangsiapa
menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku.
Dan tidaklah Aku merasa ragu-ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana
keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena ia membenci
kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian itu harus terjadi. Tak
ada cara taqarrub yang paling Kucintai bagi seorang hamba-Ku dibanding
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Selain itu
ia senantiasa mendekati-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku
mencintainya. Dan siapa pun yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan,
dan tiang penopang yang kokoh baginya (HR. Ibn al-Dunya, al-Hakim dan Ibn
Mardawaih). Dalam Hadis versi Bukhari ada tambahan: “ …Apabila Aku telah
mencintainya, Akulah pendengarannya, yang dengan itu ia mendengar, Aku
penglihatannya, yang dengan itu ia melihat, Akulah tangannya, yang dengan itu
ia meraba, Aku kakinya, dengan itu ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Aku
kabulkan permohonannya, dan kalau ia meminta perlindunga-Ku, Aku melindunginya”.—penerj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar