Jumat, 29 Juni 2012

(25) Asma al-Husna : al-Mu'iz ; (26) Asma al-Husna : al-Mudzil


 Asma al-Husna : al-Mu'iz ;  Asma al-Husna : al-Mudzil



(25) al-Mu'iz (Yang Memuliakan)    ;  (26)  al-Mudzil (Yang Menghinakan)

Kedua nama Allah ini merupakan sifat perbuatan Allah Swt yang terlaksana baik di dunia maupun di akhirat kelak, sebagaimana sifat al-Khaafidh dan al-Faafi’ (silakan dibaca uraian sebelumnya).

Orang memandang kemuliaan di dunia ini diukur dengan harta kekayaan (al-maal) dan keadaan (al-haal). Harta kekayaan untuk menghias yang lahir, dan keadaan untuk menghias yang batin. Maka, bagi seorang zahid dapat memperoleh kemuliaan dengan jalan memalingkan diri dari dunia; seorang ‘abid bisa memperoleh kemuliaan dengan jalan menyelamatkan jiwanya dari mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginan serta segala yang digemari oleh keduanya; seorang murid akan memperoleh kemuliaan dengan jalan zuhud daripada berteman dengan manusia-manusia, dan menyeberang ke pintu al-Maula (Maha Pelindung); seorang ‘arif dapat mencapai memperoleh kemuliaan dengan menekuni keahliannya di maqam munajat; seorang pencinta (al-muhib) dapat memperoleh kemuliaan dengan penyingkapan (kasyaf) kekekalan (baqa’) dan kesirnaan (fana’) dari apa pun selain Allah; dan ahli tauhid dapat memperoleh kemuliaan dengan penyaksian Jalal (Kebesaran) yang hanya bagi-Nya Keindahan (al-Baha’) dan kekekalan (al-Baqa’).

Ketahuilah! Bahwa al-Haq menganugerahkan kemuliaan kepada hamba-hamba-Nya dimulai dari qana’ah (menerima apa adanya), karena semua kehinaan dan kerendahan itu berpangkal di dalam kerakusan (thama’).

Kami ingin mengingatkan kepada Anda kisah seekor burung al-Baazii atau al-‘Uqaab (gagak) yang terbang tinggi di angkasa dengan penuh kemegahan dan kemuliaan sampai di batas pandangan mata. Namun sangat disayangkan, si burung yang susah payah terbang tinggi itu ternyata masih tertarik dengan sepotong daging yang ditaruh oleh anak-anak di bawahnya, di atas tanah, yang sebenarnya hanya umpan (perangkap). Si burung itu pun serta merta turun untuk menyambar daging. Tak dinyana, ia masuk dalam perangkap dan menjadi mainan anak-anak.

Itulah perumpamaan bagi mereka yang rakus. Andaikan bukan kerakusan yang menipu, niscaya orang-orang yang bebas merdeka tidak akan diperbudak oleh sesuatu yang tidak berarti. Tepat kiranya ungkapan yang mengatakan:

Sebaik-baik pakaian yang dipakai putra ibu merdeka adalah, keselamatan dan kemuliaan yang tidak dinodai kerakusan.

Allah Swt pernah mewahyukan kepada Nabi Dawud dengan firman-Nya: “Hendaknya engkau peringatkan kepada sahabat-sahabatmu, agar mereka jangan selalu menuruti syahwatnya. Karena hati yang cenderung pada syahwat dunia, akan terhijab dari syahwat hawa nafsu-Ku”.

Dikisahkan seorang guru tasawuf yang bertamu ke rumah muridnya, dan dijamu dengan menghidangkan sepotong roti tanpa disertai bumbu penyedap rasa roti apa pun. Terlintas dalam pikirannya: “Alangkah baiknya kalau roti ini diberi penyedap rasa roti, sehingga guruku bisa menikmatinya?” Sang guru – yang mempunyai ketajaman visi spiritual – bisa mambaca pikiran muridnya. Segera sang guru berdiri dan mengajak muridnya keluar menuju penjara. Sesampainya di sana, diperlihatkan betapa keadaan orang-orang hukuman yang didera, ada yang dipotong tangannya, dibentang di tiang salib, dan ada pula yang peras badannya. Sang guru itu pun berkata kepada muridnya: “Inilah keadaan orang yang tidak bersabar makan roti tanpa bumbu penyedap rasa”.

Dikisahkan lagi. Ada orang tua berdiri di ambang pintu rumah seorang bangsawan. Orang tua ini heran melihat banyak orang yang sulit menemui bangsawan, sedang di situ ada pelayan yang seenaknya saja keluar masuk tanpa terhalang oleh apa pun. Ia pun bertanya: “Bagaimana asalnya sampai pelayan itu seenaknya saja keluar masuk?” Dijawab: “Pelayan itu sudah kehilangan alat syahwatnya”. Orang itu menimpali: “Maha Suci Allah yang menganugerahkan peringatan kepadaku setelah aku mencapai usia tujuh puluh tahun, dan memberi dorongan padaku bahwa siapa yang berkeinginan datang kepada al-Maula (Maha Pelindung) tanpa hijab, hendaknya meninggalkan syahwatnya”.

Para Syekh berkata: “Seorang hamba yang melihat kehinaan dirinya adalah seorang hamba yang dimuliakan oleh Allah Swt. Sebaliknya, seorang hamba yang mengkhayalkan kalau dirinya adalah seorang yang mulia, ketahuilah, ia adalah hamba yang dihinakan oleh Allah Swt”. Ini sesuai dengan firman-Nya:

Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki (QS. Ali ‘Imran [3]: 26).

Maksud “Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki” adalah bahwa Allah menjadi untukmu, denganmu, bersamamu dan dihadapanmu. Dan makna “Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki” yakni orang yang berada dalam perangkap dirinya dan tertutup oleh segala syahwat dan dipenjara oleh keinginan-keinginan yang tidak kunjung habis, pagi hari terhijab dan petangnya menemui kehampaan. Kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...