Asma al-Husna : al-Mu'iz ; Asma al-Husna : al-Mudzil
(25) al-Mu'iz (Yang Memuliakan) ; (26) al-Mudzil (Yang Menghinakan)
Kedua nama Allah ini merupakan sifat perbuatan Allah Swt
yang terlaksana baik di dunia maupun di akhirat kelak, sebagaimana sifat al-Khaafidh
dan al-Faafi’ (silakan dibaca uraian sebelumnya).
Orang memandang kemuliaan di dunia ini diukur dengan harta
kekayaan (al-maal) dan keadaan (al-haal). Harta kekayaan untuk
menghias yang lahir, dan keadaan untuk menghias yang batin. Maka, bagi seorang zahid
dapat memperoleh kemuliaan dengan jalan memalingkan diri dari dunia;
seorang ‘abid bisa memperoleh kemuliaan dengan jalan menyelamatkan
jiwanya dari mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginan serta segala yang
digemari oleh keduanya; seorang murid akan memperoleh kemuliaan dengan jalan zuhud
daripada berteman dengan manusia-manusia, dan menyeberang ke pintu al-Maula
(Maha Pelindung); seorang ‘arif dapat mencapai memperoleh kemuliaan
dengan menekuni keahliannya di maqam munajat; seorang pencinta (al-muhib)
dapat memperoleh kemuliaan dengan penyingkapan (kasyaf) kekekalan (baqa’)
dan kesirnaan (fana’) dari apa pun selain Allah; dan ahli tauhid dapat
memperoleh kemuliaan dengan penyaksian Jalal (Kebesaran) yang hanya
bagi-Nya Keindahan (al-Baha’) dan kekekalan (al-Baqa’).
Ketahuilah! Bahwa al-Haq menganugerahkan kemuliaan kepada
hamba-hamba-Nya dimulai dari qana’ah (menerima apa adanya), karena semua
kehinaan dan kerendahan itu berpangkal di dalam kerakusan (thama’).
Kami ingin mengingatkan kepada Anda kisah seekor burung al-Baazii
atau al-‘Uqaab (gagak) yang terbang tinggi di angkasa dengan penuh
kemegahan dan kemuliaan sampai di batas pandangan mata. Namun sangat
disayangkan, si burung yang susah payah terbang tinggi itu ternyata masih
tertarik dengan sepotong daging yang ditaruh oleh anak-anak di bawahnya, di
atas tanah, yang sebenarnya hanya umpan (perangkap). Si burung itu pun serta
merta turun untuk menyambar daging. Tak dinyana, ia masuk dalam perangkap dan
menjadi mainan anak-anak.
Itulah perumpamaan bagi mereka yang rakus. Andaikan bukan
kerakusan yang menipu, niscaya orang-orang yang bebas merdeka tidak akan
diperbudak oleh sesuatu yang tidak berarti. Tepat kiranya ungkapan yang
mengatakan:
Sebaik-baik pakaian yang dipakai putra ibu merdeka
adalah, keselamatan dan kemuliaan yang tidak dinodai kerakusan.
Allah Swt pernah mewahyukan kepada Nabi Dawud dengan
firman-Nya: “Hendaknya engkau peringatkan kepada sahabat-sahabatmu, agar mereka
jangan selalu menuruti syahwatnya. Karena hati yang cenderung pada syahwat
dunia, akan terhijab dari syahwat hawa nafsu-Ku”.
Dikisahkan seorang guru tasawuf yang bertamu ke rumah
muridnya, dan dijamu dengan menghidangkan sepotong roti tanpa disertai bumbu
penyedap rasa roti apa pun. Terlintas dalam pikirannya: “Alangkah baiknya kalau
roti ini diberi penyedap rasa roti, sehingga guruku bisa menikmatinya?” Sang
guru – yang mempunyai ketajaman visi spiritual – bisa mambaca pikiran muridnya.
Segera sang guru berdiri dan mengajak muridnya keluar menuju penjara.
Sesampainya di sana,
diperlihatkan betapa keadaan orang-orang hukuman yang didera, ada yang dipotong
tangannya, dibentang di tiang salib, dan ada pula yang peras badannya. Sang
guru itu pun berkata kepada muridnya: “Inilah keadaan orang yang tidak bersabar
makan roti tanpa bumbu penyedap rasa”.
Dikisahkan lagi. Ada
orang tua berdiri di ambang pintu rumah seorang bangsawan. Orang tua ini heran
melihat banyak orang yang sulit menemui bangsawan, sedang di situ ada pelayan
yang seenaknya saja keluar masuk tanpa terhalang oleh apa pun. Ia pun bertanya:
“Bagaimana asalnya sampai pelayan itu seenaknya saja keluar masuk?” Dijawab:
“Pelayan itu sudah kehilangan alat syahwatnya”. Orang itu menimpali: “Maha Suci
Allah yang menganugerahkan peringatan kepadaku setelah aku mencapai usia tujuh
puluh tahun, dan memberi dorongan padaku bahwa siapa yang berkeinginan datang
kepada al-Maula (Maha Pelindung) tanpa hijab, hendaknya meninggalkan
syahwatnya”.
Para Syekh berkata: “Seorang hamba yang melihat kehinaan
dirinya adalah seorang hamba yang dimuliakan oleh Allah Swt. Sebaliknya,
seorang hamba yang mengkhayalkan kalau dirinya adalah seorang yang mulia,
ketahuilah, ia adalah hamba yang dihinakan oleh Allah Swt”. Ini sesuai dengan
firman-Nya:
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki (QS. Ali ‘Imran [3]: 26).
Maksud “Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki”
adalah bahwa Allah menjadi untukmu, denganmu, bersamamu dan dihadapanmu. Dan
makna “Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki” yakni orang yang
berada dalam perangkap dirinya dan tertutup oleh segala syahwat dan dipenjara
oleh keinginan-keinginan yang tidak kunjung habis, pagi hari terhijab dan
petangnya menemui kehampaan. Kami berlindung kepada Allah dari hal yang
demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar