Asma al-Husna : al-Khaafidh ; Asma al-Husna : al-Raafi'
(23) al-Khaafidh (Yang Merendahkan) ; (24) al-Raafi' (Yang Meninggikan)
Al-Khaafidh dan al-Raafi’ di antara nama-nama
Allah Swt yang banyak disebut dalam hadis Nabi saw. Keduanya termasuk sifat
perbuatan. Allah mengangkat derajat orang yang dikehendaki-Nya, dan merendahkan
martabat orang yang dikehendaki-Nya dengan pembalasan siksa-Nya.
Dalam hal ini, siapa yang rela dengan derajat yang ada
padanya saat ini meski merasa tidak puas, niscaya Allah akan mengangkat
martabat yang dicita-citakannya. Maksudnya, orang harus puas dengan dirinya
sekarang ini, dan untuk mencapai derajat yang lebih baik, ia harus berusaha
mencapainya. Tentu saja, untuk mencapai ini harus senantiasa menyertakan Allah
dalam setiap langkahnya.
Sebuah hikayat menuturkan, ada seseorang melihat manusia
yang sedang berdiri di udara, ia lalu bertanya: “Bagaimana Anda bisa mencapai
derajat yang demikian, hingga bisa berdiri di udara?” Jawabnya: “Aku jadikan
nafsuku di bawah telapak kakiku dan hasilnya adalah udara ini ditundukkan
padaku”.
Ketahuilah, bahwa “mengangkat” (al-raf u) dan “merendahkan”
(al-khafdhu) di dunia ini hanya metafora (majaazi) belaka,
sedangkan dalam persoalan agama – persoalan akhlak dan sifat-sifat batin –
adalah hakikat. Oleh karena itu, siapa yang memperbaiki akhlak dan menyucikan
jiwanya, niscaya derajatnya akan terangkat. Siapa yang merusak akhlaknya,
mengotori jiwanya, dan rela sebagai tawanan hawa nafsunya, niscaya ia akan
dijauhkan dari pertolongan dan derajatnya akan direndahkan.
Dengarlah sebuah cerita. Ada seorang wanita, namanya Miskinah,
berprofesi sebagai cleaning service mesjid. Pada suatu malam ada orang
memimpikan wanita itu, dan ia bertanya kepada Miskinah: “Puaskah kamu dengan
kehidupanmu sekarang, Miskinah!” Jawabnya: “Aku bersyukur dengan keadaanku
sekarang, karena sudah dijauhkan dari kemiskinan”.
Ketahuilah! Barangsiapa yang di dunia ini merendahkan
dirinya demi Allah Swt niscaya Allah akan mengangkat derajatnya kelak di
akhirat. Nabi saw bersabda:
Tiada seorang bertawadhu’ karena Allah, melainkan Allah
akan mengangkat derajatnya.
Derajat yang dimaksudkan di sini, jangan dipahami dalam
pengertian duniawi, tetapi derajat di akhirat sebagaimana difirmankan-Nya,
berupa kenikmatan surga:
Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat
berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar (QS. al-Insaan [76]: 20).
Dalam kitab tafsir dijelaskan bahwa yang dimaksud ‘mulkan
kabiiraa (kerajaan besar)” adalah sebagaimana kejadian berikut ini:
Pernah terjadi, bahwa Allah mengutus malaikat kepada
wali-Nya dengan membawa sepucuk surat
dan berpesan kepada malaikat itu: “Sebelum engkau masuk, hendaklah engkau
memohon izin pada hamba-Ku, bila hamba-Ku memberi izin, maka masuklah, bila
tidak, kembalilah. Malaikat itu baru memperoleh izin setelah melalui tujuh
puluh penjaga pintu, lalu masuklah malaikat itu memberikan surat kepadanya. Di sampul surat itu tertulis: “Dari Yang Maha Hidup,
tiada mati kepada yang hidup tiada mati”. Lalu surat itu dibuka, di dalamnya
didapati tulisan: “Wahai hamba-Ku! Aku telah rindu padamu, hendaklah engkau
datang kepada-Ku!” Hamba itu lalu menanyakan kepada malaikat: “Apakah Anda
datang bersama Buraq?” Malaikat itu menjawab: “Ya”. Langsung saja wali Allah
itu memacu Buraq demi rindu yang terpendam lama -- rindu seorang kekasih --,
agar cepat-cepat sampai ke permadani pertemuan. Tetapi kerinduan yang
bergejolak rupanya malah mampu mempercepat kecepatan dirinya, sehingga si Buraq
tertinggal di belakang.
Perlu kami garis bawahi di sini bahwa orang yang direndahkan
martabatnya, kelak di akhirat lebih rendah dari tanah yang selalu diinjaknya
setiap hari; tempat ia buang kotoran. Keadaan ini dijelaskan oleh Allah dalam
firman-Nya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar