Asma al-Husna : al-Qaabidh ; Asma al-Husna : al-Baasith
(21) al-Qaabidh (Maha Menyempitkan) ; (22) al-Baasith (Maha Melapangkan)
Al-Qaabidh dan al-Baasith merupakan nama-nama
Allah yang tercantum dalam al-Qur’an dan Hadis. Keduanya adalah sifat perbuatan
Allah Swt yang dapat diartikan Dia yang memegang dan mengendalikan ruh-ruh dari
penampakan-penampakannya saat kematian dan saat hidup.
Dapat pula diartikan, bahwa Allah Swt yang memegang dan
menerima sedekah-sedekah dari orang kaya, lalu menyalurkan rezeki itu kepada
fakir miskin, yakni memberikan atau menghibahkan.
Allah Swt pula yang menggenggam hati (menyempitkan dan
menyedihkan) melalui kebodohan dan kelengahan; serta melapangkan hati melalui
ilmu dan makrifat.
Perlu diketahui, bahwa “menyempitkan” dan “melapangkan”
dalam istilah ahli makrifat adalah berkecamuknya “rasa cemas” dan “harap” dalam
hati. Maka orang yang hatinya dihinggapi rasa takut disebut dengan “ahli
qabidh” dan barangsiapa yang terbiasa dengan perasaan penuh kelapangan dada
disebut “ahli basith”.
Apabila Allah Swt mengungkapkan kepada seorang hamba dengan jalaal-Nya,
maka hamba tadi “ disempitkan”, dan kalau mengungkapkan kepada seorang hamba
dengan jamaal-Nya, maka hamba tadi “dilapangkan”. Bila Allah Swt
mengembalikan seorang hamba pada kodrat manusiawinya, maka hamba tadi
“disempitkan” hingga tidak mampu memikul sebutir debu, tetapi Allah Swt
mengambil dari seorang hamba sifat-sifat manusiawinya, maka hamba tadi mampu
mengangkat segala sesuatu yang dibebankan kepadanya dengan penuh kekuatan dan
kesanggupan.
Diceritakan mengenai al-Khawwash yang bersama saya
(al-Qusyairi) melakukan pengembaraan. Setelah lama dalam perjalanan, kami
berhenti di bawah sebuah pohon, tiba-tiba datang seekor harimau yang langsung
bersuara di dekat kami. Karena merasa takut, aku pun naik ke atas pohon dan
duduk di cabangnya sambil menanti sampai menjelang pagi hari, tetapi
al-Khawwash enak saja tidur sampai pagi tanpa perasaan takut sedikit pun. Pada
malam kedua kami bermalam di masjid,
pada saat kami tidur, tiba-tiba al-Khawwash bangun, lalu aku tanyakan apa yang
terjadi. Ia mengatakan kalau wajahnya kejatuhan kepinding.
Aku katakan kepadanya: “Ini suatu keajaiban! Malam kemarin
Anda nyenyak saja tidur bersebelahan dengan seekor harimau, dan malam ini hanya
seekor kepinding Anda berteriak membangunkan diriku?” Jawabnya: “Malam ini aku
dikembalikan pada diriku, karena itu aku merasa takut”.
Imam Syafi’i berkata: “Barangsiapa yang telah mengenal Allah
Swt, niscaya akan dapat mengangkat langit dan bumi dengan bulu matanya.
Barangsiapa yang tidak mengenal Allah, maka andaikan sayap seekor nyamuk
bergantung pada dirinya, niscaya ia akan ribut”. Demikian gambaran ia tentang
“yang disempitkan dan yang dilapangkan”.
Sufi lain berkata: “Sesungguhnya Allah Swt apabila
‘menyempitkan’, habislah semua daya, dan apabila ‘melapangkan’ tidak ada lagi
hajat yang diperlukan”.
Menurut al-Syaikh Abu Ali al-Daqqaq: “Menyempitkan itu
adalah hak Allah Swt atas seorang hamba, dan melapangkan itu adalah nasib sang
hamba dari karunia Allah Swt”. Dengan demikian, yang lebih sempurna bagi
seorang hamba adalah mengutamakan hak Allah Swt atas dirinya daripada
mengutamakan nasib dirinya dari karunia-Nya. Layak sekali bagi sang hamba
menjauhkan diri dari ‘kejemuan dan kemuakan’ di saat qaabidh-Nya dan
konsisten dengan akhlak yang baik di saat baasith-Nya karena kedua
persoalan itu mempunyai arti yang amat besar.
Note:
Al-Qaabidh terambil dari akar kata yang makna
dasarnya berarti sesuatu yang diambil. Dan keterhimpunan pada sesuatu. Dari sana lahir makna-makna seperti,
menahan , menggenggam, menghalangi, kikir, dan menyempitkan.—penerj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar