Asma al-Husna : al-'Aliim
(20) al-'Aliim (Yang Maha Mengetahui atau
Sumber Ilmu)
Al-‘Aalim, al-‘Aliim, dan al-‘Allaam,
termasuk nama-nama Allah Swt yang termaktub dalam al-Qur’an. Kata yang
digunakan sebagai asma-Nya ini harus diperhatikan benar-benar. Kita tidak
diperkenankan memakai atau menyebut nama untuk-Nya kecuali yang telah
disebutkan dalam al-Qur’an, Hadis Nabi atau yang telah disepakati oleh
ahli-ahli Islam (ijma’). Karena itu kita tidak boleh menyebut Allah
dengan nama ‘Aarif (Maha Arif), ‘Aaqila (Yang Berakal), atau Fathanaa
(Yang Cerdas).
Barangsiapa telah meyakini bahwa Dia Yang Maha Mengetahui
atau Sumber Ilmu, maka atas dasar ilmu-Nya, seseorang akan menerima segala
hukum atau keputusan yang berlaku pada dirinya dengan rela, merasa senang dan
tenteram atas sesuatu yang menimpa dirinya.
Kami ingin memberi ilustrasi ketika Malaikat Jibril
berhadapan dengan Nabi Ibrahim yang sedang berada di udara karena dilepas dari
alat pelontar menuju ke sasaran api pembakaran. Pada saat itu terjadi dialog di
antara mereka berdua:
Jibril :
“Apakah engkau perlu sesuatu?”
Ibrahim :
“Kalau kepadamu tidak”.
Jibril :
“Kalau begitu, mohonlah kepada Allah?”
Ibrahim :
“Cukup bagi ilmu-Nya tentang keadaan diriku”.
Seorang arif pernah ditanya: “Apakah seorang hamba
diharuskan menuntut rezekinya?” Jawabnnya: “Kalau memang hamba itu mengetahui
di mana letak rezekinya, bolehlah ia
menuntut”. Kemudian ditanya lagi: “Apakah ia harus memohon rezekinya kepada
Allah Swt?” Jawab si arif: “Bila ia mengetahui bahwa Allah Swt melupakannya,
maka hendaklah ia memperingatkan-Nya”.
Bagi mereka yang sudah mengenal bahwa Allah Swt itu Maha
Mengetahui atas segala sesuatu, sekalipun terlintas di hatinya bisikan yang
meragukan, hendaknya merasa malu (hayaa’) kepada-Nya; menghentikan semua
maksiat, tidak pernah letih memohon sitr ( hijab)-Nya; takut akan
penaklukan-Nya yang datangnya secara mendadak dan takut pula pada makar-Nya.
Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak
bersembunyi dari Allah, padahal Dia bersama mereka (QS. al-Nissa’ [4]:
108).
Dalam al-Kitab al-Samawiyah dikatakan: “Jika
kalian tidak mengetahui bahwa Aku melihat kalian, maka kerusakan itu berada
dalam iman kalian; dan jika kalian telah mengetahui bahwa sesungguhnya Aku
melihat kalian, maka janganlah menjadikan Aku serendah-rendah yang melihat
kalian”.
Mereka yang telah “ber-maqam” di sisi Allah, jika
hatinya sewenang-wenang kepada makhluk-Nya, jelas akan dibalas seketika itu
juga. Seorang di antara mereka menceritakan pengalamannya:
Pada waktu aku merasa sangat lapar, dan aku ceritakan
pada kawan-kawanku, tak seorang pun di antara mereka yang merespons apalagi
memberi makanan. Aku pun pergi, dan di tengah jalan aku menemukan uang satu
dirham. Uang itu kuambil dan terbaca tulisan: “Tidakkah Allah Swt mengetahui
tentang laparmu, mengapa engkau meminta kepada selain-Nya?”
Abu Sa’id al-Kharraz bercerita tentang kejadian yang pernah
dialaminya: “Setelah aku melintasi padang pasir,
tibalah aku di kota
Kufah dalam keadaan lapar. Teringat oleh seorang teman bernama al-Jarari yang
biasa kutemui kalau aku sedang berada di kota
Kufah. Aku langsung menuju kedainya, tetapi tidak bertemu dengannya, karena
kebetulan ia sedang keluar. Kebetulan di dekat kedainya ada sebuah surau, aku
masuk sambil mengucapkan:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, salam sejahtera atas kami dan atas
hamba-hamba Allah yang bertawakal.
Aku pun duduk menanti kedatangan al-Jarari. Tiba-tiba ada
orang masuk ke surau dengan mengucapkan:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam; Maha Suci
Allah yang mengosongkan bumi dari orang-orang yang bertawakal, dan salam
sejahtera atas kami dan semua para pendusta.
Wahai Abu Sa’id yang mengaku bertawakal! Tawakal itu apabila
engkau berada di gurun pasir atau di bukit pegunungan, dan bukan berada dalam kota sambil menanti
kedatangan al-Jarari. Aku mencari-cari siapa yang berkata demikian. Namun tak
seorang pun kutemukan.
Demikianlah sunnah Allah Swt berlaku atas orang-prang
tertentu dari para hamba-Nya. Yaitu tidak membiarkan kelengahanya walaupun
sekejab. Tidak ada maaf walaupun hanya
sesaat. Tetap dituntut baik banyak atau sedikit. Diperhitungkan sekalipun
remeh. Namun, bagi orang yang bermartabat agak rendah dan nilainya serba kurang,
maka sunnah Allah ini tidak berlaku. Bahkan mereka dibiarkan terperdaya dalam
kelalaiannya. Adapun mereka yang sangat lengah, menyombongkan diri dan
berkeliaran tidak tentu arah, mereka itulah yang sewaktu-waktu secara mendadak
akan disekap tanpa dirasakan. Kami berlindung kepada Allah atas makar-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar