Rabu, 27 Juni 2012

(20) Asma al-Husna : al-'Aliim



Asma al-Husna : al-'Aliim





(20) al-'Aliim (Yang Maha Mengetahui atau Sumber Ilmu)

Al-‘Aalim, al-‘Aliim, dan al-‘Allaam, termasuk nama-nama Allah Swt yang termaktub dalam al-Qur’an. Kata yang digunakan sebagai asma-Nya ini harus diperhatikan benar-benar. Kita tidak diperkenankan memakai atau menyebut nama untuk-Nya kecuali yang telah disebutkan dalam al-Qur’an, Hadis Nabi atau yang telah disepakati oleh ahli-ahli Islam (ijma’). Karena itu kita tidak boleh menyebut Allah dengan nama ‘Aarif (Maha Arif), ‘Aaqila (Yang Berakal), atau Fathanaa (Yang Cerdas).

Barangsiapa telah meyakini bahwa Dia Yang Maha Mengetahui atau Sumber Ilmu, maka atas dasar ilmu-Nya, seseorang akan menerima segala hukum atau keputusan yang berlaku pada dirinya dengan rela, merasa senang dan tenteram atas sesuatu yang menimpa dirinya.

Kami ingin memberi ilustrasi ketika Malaikat Jibril berhadapan dengan Nabi Ibrahim yang sedang berada di udara karena dilepas dari alat pelontar menuju ke sasaran api pembakaran. Pada saat itu terjadi dialog di antara mereka berdua:

Jibril                : “Apakah engkau perlu sesuatu?”
Ibrahim            : “Kalau kepadamu tidak”.
Jibril                : “Kalau begitu, mohonlah kepada Allah?”
Ibrahim            : “Cukup bagi ilmu-Nya tentang keadaan diriku”.

Seorang arif pernah ditanya: “Apakah seorang hamba diharuskan menuntut rezekinya?” Jawabnnya: “Kalau memang hamba itu mengetahui di mana letak  rezekinya, bolehlah ia menuntut”. Kemudian ditanya lagi: “Apakah ia harus memohon rezekinya kepada Allah Swt?” Jawab si arif: “Bila ia mengetahui bahwa Allah Swt melupakannya, maka hendaklah ia memperingatkan-Nya”.

Bagi mereka yang sudah mengenal bahwa Allah Swt itu Maha Mengetahui atas segala sesuatu, sekalipun terlintas di hatinya bisikan yang meragukan, hendaknya merasa malu (hayaa’) kepada-Nya; menghentikan semua maksiat, tidak pernah letih memohon sitr ( hijab)-Nya; takut akan penaklukan-Nya yang datangnya secara mendadak dan takut pula pada makar-Nya. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya:

Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Dia bersama mereka (QS. al-Nissa’ [4]: 108).

Dalam al-Kitab al-Samawiyah dikatakan: “Jika kalian tidak mengetahui bahwa Aku melihat kalian, maka kerusakan itu berada dalam iman kalian; dan jika kalian telah mengetahui bahwa sesungguhnya Aku melihat kalian, maka janganlah menjadikan Aku serendah-rendah yang melihat kalian”.

Mereka yang telah “ber-maqam” di sisi Allah, jika hatinya sewenang-wenang kepada makhluk-Nya, jelas akan dibalas seketika itu juga. Seorang di antara mereka menceritakan pengalamannya:

Pada waktu aku merasa sangat lapar, dan aku ceritakan pada kawan-kawanku, tak seorang pun di antara mereka yang merespons apalagi memberi makanan. Aku pun pergi, dan di tengah jalan aku menemukan uang satu dirham. Uang itu kuambil dan terbaca tulisan: “Tidakkah Allah Swt mengetahui tentang laparmu, mengapa engkau meminta kepada selain-Nya?”

Abu Sa’id al-Kharraz bercerita tentang kejadian yang pernah dialaminya: “Setelah aku melintasi padang pasir, tibalah aku di kota Kufah dalam keadaan lapar. Teringat oleh seorang teman bernama al-Jarari yang biasa kutemui kalau aku sedang berada di kota Kufah. Aku langsung menuju kedainya, tetapi tidak bertemu dengannya, karena kebetulan ia sedang keluar. Kebetulan di dekat kedainya ada sebuah surau, aku masuk sambil mengucapkan:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang bertawakal.

Aku pun duduk menanti kedatangan al-Jarari. Tiba-tiba ada orang masuk ke surau dengan mengucapkan:

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam; Maha Suci Allah yang mengosongkan bumi dari orang-orang yang bertawakal, dan salam sejahtera atas kami dan semua para pendusta.

Wahai Abu Sa’id yang mengaku bertawakal! Tawakal itu apabila engkau berada di gurun pasir atau di bukit pegunungan, dan bukan berada dalam kota sambil menanti kedatangan al-Jarari. Aku mencari-cari siapa yang berkata demikian. Namun tak seorang pun kutemukan.

Demikianlah sunnah Allah Swt berlaku atas orang-prang tertentu dari para hamba-Nya. Yaitu tidak membiarkan kelengahanya walaupun sekejab. Tidak ada maaf  walaupun hanya sesaat. Tetap dituntut baik banyak atau sedikit. Diperhitungkan sekalipun remeh. Namun, bagi orang yang bermartabat agak rendah dan nilainya serba kurang, maka sunnah Allah ini tidak berlaku. Bahkan mereka dibiarkan terperdaya dalam kelalaiannya. Adapun mereka yang sangat lengah, menyombongkan diri dan berkeliaran tidak tentu arah, mereka itulah yang sewaktu-waktu secara mendadak akan disekap tanpa dirasakan. Kami berlindung kepada Allah atas makar-Nya.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...