Asma al-Husna : al-Salaam
(5) al-Salaam (Yang Maha Sejahtera)
Yang memiliki kesejahteraan dan keselamatan; Yang memberi
tuntunan kepada manusia, agar menyucikan-Nya dari segala kebinasaan dan
kerusakan, serta menyucikan-Nya penyamaan dengan sifat-sifat makhluk.
Al-Salaam juga berarti Maha Penyelamat bagi para
makhluk dari siksa-Nya. Ini sejalan dengan Hadis:
Dari Abdullah ibn Amr al-‘Ash berkata: “Seseorang
bertanya kepada Rasullullah Saw:
Manakah Muslim yang terbaik?” Rasulullah Saw bersabda: “ Seseorang yang
menyelamatkan orang-orang Islam dengan dari lidah dan tangannya” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Di sisi lain, lewat asma-Nya ini juga mengindikasikan bahwa
Dia memiliki Salam Kesejahteraan atas wali-Nya, sebagaimana firman-Nya;
Katakanlah: “Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang
dipilih” (QS. Al-Naml [27]: 59).
Dikisahkan, di kalangan sufi ada yang melihat seseorang
mengumpat orang lain. Kemudian si pengumpat ditanya: “Apakah Anda pada tahun
sekian ikut serta berjuang membela tanah air dari serangan musuh?” Dijawab oleh
si pengumpat: “Tidak”. Sufi itu pun melanjutkan: “Bagaimana musuh-musuhmu dapat
selamat darimu, sedang saudaramu seagama dan setanah air tidak?”
Pernah ditanyakan kepada para sufi tentang al-wara’, mereka
menjawab: “Tuntutlah sifat ini pada dirimu, sebagaimana orang kikir menuntut
sesuatu yang tidak berari pada rekan seperdagangannya dengan bertengkar dan
berbantah”.
Dapat ditegaskan di sini bahwa mereka yang telah mengenal
nama al-Salaam, hendaknya kembali secara total kepada Pelindungnya
dengan hati Saliim (selamat sejahtera dari bahaya). Hati saliim (qalbun
saliim) adalah hati yang bersih dari dengki dan tipu muslihat, dendam dan
hasut. Tidak menyimpan suatu perasaan atas sesama Muslim, kecuali perasaan
tulus ikhlas, saling menasehati dan mengutamakan kebenaran. Berpikir positif (positive
thingking) terhadap sesama manusia, dan berburuk sangka pada dirinya
sendiri. Artinya, ia lebih suka menyelidiki dirinya sendiri lebih dahulu
sebelum menyelidiki orang lain.
Di samping itu, mereka yang mengenal asma Allah ini, juga
memperlakukan dengan baik hamba Allah yang usianya lebih tua. Karena yang lebih
tua biasanya orang-orang yang sudah arif dengan Allah dan terlebih dahulu taat
dibandingdirinya yang masih muda. Ia juga memandang yang lebih muda dengan cara
yang baik pula, karena maksiat yang dilakukannya masih belum seberapa
dibandingkan dengan maksiat yang dilakukan dirinya.
Karena itulah, para guru sufi senantiasa menasehati:
“Apabila tampak bagimu suatu aib pada saudaramu, hendaklah engkau mencarikan
tujuh puluh pintu alasan guna menutupi aibnya. Dan apabila jelas-jelas tidak
ada aib pada saudaramu, maka kembalikanlah celaan itu pada dirimu sendiri dan
katakana: Wahai diriku! Alangkah jeleknya engkau; engkau tidak akan menerima
satu alasan pun guna menutupi aibmu dari saudaramu”.
Diriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Apakah salah seorang di antara kalian tidak
berkesanggupan menjadi seperti Abu Dhamdham? Para
sahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Siapakah Abu Dhamdham itu?” Jawab Nabi: “Ia
adalah seorang laki-laki yang apabila keluar dari rumahnya selalu mengatakan
‘Ya Allah! Susungguhnya aku sedekahkan kehormatanku atas hamba-hamba-Mu”.
Maksudnya, jika ada orang lain yang mencela atau
mencaci-maki dirinya ia tidak membalas balik cacian itu.
Note:
Wara’ dalam kamus didefinisikan sebagai menahan diri
dari hal-hal yang tidak pantas dan sia-sia, serta menjauhkan diri secara ketat
dari hal-hal yang haram dan terlarang, atau menjauhkan diri dari hal-hal yang
meragukan. Prinsip Islam, “Tinggalkan apa-apa yang meragukan dirimu dan
ambillah apa-apa yang tidak engkau ragukan”. Ucapan Nabi, “Yang halal adalah
jelas dan yang haram juga jela,” merupakan penjelasan basis wara’. Penulis
Pandname, Aththar menjelaskan prinsip wara’ dengan cara yang sangat indah:
Wara’ membangkitkan rasa takut kepada Allah,
Orang tanpa wara’ jatuh dalam kehinaan
Siapa saja yang mengikuti jalan wara’ dengan benar,
Apa pun yang dia lakukan adalah semata-mata demi Allah
Orang yang menginginkan cinta dan persahabatan dengan Allah,
Tanpa wara’ pernyataan cintanya adalah palsu.
(Sumber: M. Fethullah Gulen, Kunci-kunci Rahasia Sufi
[Jakarta: Sri
Gunting, 2001, hlm. 91-92) – penerj.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar