Asma al-Husna : al-Mushawwir
(14) al-Mushawwir (Maha Pembentuk)
Al-Tashwiir adalah menjadikan sesuatu berbentuk.
Allah Maha Pencipta memberi rupa dan bentuk pada hamba-Nya, yang sebelumnya
tidak layak disebut sebagaimana ia dinamakan. Di sini, semestinya manusia tidak
layak membanggakan diri dengan keadaan yang ada padanya; juga tidak menepuk
dada karena amal perbuatan yang dilakukannya.
Bagaimana manusia bisa berbangga diri berdasarkan
asal-usulnya, sementara dirinya sendiri sebenarnya masih bermasalah. Mengapa
tidak membiasakan diri ber-tawadhu’ (rendah hati)? Bukankah kita ini sama
asal-usulnya? Dari setetes sperma dan pada akhirnya sama-sama menjadi bangkai (jiifah)?
Kalau saja manusia
mau memandang dirinya sebagai makhluk yang serba kekurangan, niscaya ia akan
mengenal Jalaal (Keagungan Allah), sebagaimana firman-Nya:
Dan dalam dirimu, apakah kamu tidak memperhatikan?
(QS. Al-Dzaariyaat [51]: 21).
Juga firman-Nya:
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri (QS.
Al-Qiyaamah [75]: 14).
Oleh karena itu, hendaklah setiap manusia itu merenungkan
dalam-dalam: bagaimana Allah Swt menghiasi anggota tubuhnya yang tampak indah;
bagaimana Allah menutupi kejelekan-kejelekan perbuatannya dalam kehidupan di
dunia ini, yang kelak ketika di Hari Pengadilan Allah bias saja membeberkan apa
yang pernah dilakukannya. Atau, Dia bisa saja mengampuninya.
Di kalangan sufi memberikan komentar mengenai firman Allah:
Dan di bumi ini terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang yakin; Dan (juga) dalam dirimu, apakah kamu tidak memperhatikan?
(QS. al-Dzaariyaat [51]: 20-21).
Di sini Allah mengungkapkan kebaikan budi pekerti itu
bagaikan bumi, meskipun yang dilemparkan kepada bumi itu benda-benda yang buruk
dan busuk. Namun bumi tetap saja menumbuhkan aneka ragam tumbuh-tumbuhan yang
sedap dipandang mata, indah, dan menebar wangi. Nah, seharusnya seorang mukmin
bisa mencontoh bumi; ia menelan apa pun yang menjengkelkan, tidak mendendam,
dan tidak berusaha membalas perlakuan orang lain yang menyakitkan itu.
Dikisahkan, ada seorang teman menyakiti hati temannya dengan
kata-kata pedas dan menusuk hati. Teman itu hanya diam dan mendengarkan saja. Namun ia tetap saja
mengoceh, hatinya panas, dada terasa sesak. Saking jengkelnya, ia mengeluarkan
kata-kata: “Goblok, kata-kataku ini kutujukan padamu!” Tetapi dengan tenang
teman yang diomeli tadi menjawab: “Padamu kawan! Aku harus berlapang dada dan
berkepala dingin”.
Marilah kita simak baik-baik firman Allah di ayat lain:
Dan (Dia) membentuk kamu lalu memperindah rupamu (QS.
al-Mu’min [40]: 64).
Perhatikanlah! Allah tidak mengatakan kepada makhluk-Nya
yang lain dengan kata-kata “memperindah rupamu”, melainkan hanya kepada
manusia demi memuliakannya.
Kemudian diperkuat-Nya lagi dengan firman-Nya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (QS. al-Tiin [95]: 4).
Ayat ini hanya ditujukan kepada manusia, bukan kepada yang
lainnya.
Disebutkan dalam atsaar yang bisa menjadi renungan
kita bersama:
- Allah Swt telah menciptakan Malaikat Jibril dengan enam ratus sayap. Semuanya bersepuh permata dari yaqut dan mutiara, dihiasi gantungan genta (lonceng) dari emas yang bisa mengeluarkan suara. Di dalam lonceng itu berisi wangi-wangian dari misik dan ambar; setiap lonceng mempunyai suara yang berbeda satu dengan yang lain.
- Bila Malaikat Israfil – salam sejahtera atasnya—bertasbih, bisa menggagalkan tasbih semua malaikat, karena keindahan, kemerduan, dan alunan iramanya yang indah dan mempesona.
- Cahaya matahari tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan cahaya Arasy, seperti perbandingan antara cahaya lampu dengan cahaya matahari.
Kendati begitu, kepada
ciptaan-ciptaan-Nya tersebut, Allah Swt tidak menganugerahkan sebagaimana yang
diberikannya kepada manusia seperti difirmankan-Nya dalam dua ayat di atas (QS.
al-Mu’min [40]: 64 dan al-Tiin [95]: 4).
Sekarang kita melangkah lebih
jauh, kita tidak lagi berbicara bentuk dan rupa, tetapi ada hal lain yang lebih
urgen, sebagaimana firman-Nya:
Dia (Allah) mencintai mereka
dan mereka pun mencintai-Nya (QS. al-Ma’idah [5]: 54).
Apakah sifat ini juga diberikan
kepada makhluk lain selain keturunan Adam? Ternyata tidak. Selain keindahan
rupa seperti tampak dari mata lahir, ada potensi lain yang diberikan Allah, dan
itu yang lebih utama. Yakni keindahan dan kesempurnaan akhlak. Meskipun
demikian, tidak semua manusia bisa menampilkan keindahan dan kesempurnaan
akhlaknya. Terjadi perbedaan yang mencolok antara satu dengan yang lainnya.
Akhlak orang awam tentu akan berbeda dengan akhlak orang-orang pilihan.
Di antara orang-orang pilihan itu
adalah Nabi Muhammad saw di mana keindahan dan keluhuran akhlaknya digambarkan
dengan indah oleh Allah:
Dan sesungguhnya engkau
(Muhammad) berakhlak yang agung (QS. al-Qalam [68]: 4).
Diceritakan, ada seorang ningrat
(bangsawan) bertanya kepada kawannya semeja tentang sejahat-jahatnya sesuatu.
Di antara mereka ada yang menjawab ‘perempuan yang jahat’. Yang lainnya
berpendapat ‘orang yang berakhlak buruk’. Yang lainnya lagi mengatakan
‘tetangga yang berakhlak buruk’ yang paling jahat. Karena ada tiga pendapat
yang berlainan, mereka sepakat untuk menyerahkan ‘pendapat mana yang benar’
kepada orang yang pertama kali mereka temui ketika mereka jalan-jalan ke kota. Di tengah
perjalanan, mereka bertemu orang awam yang biasa-biasa saja dan orang itu sedang
berjalan di samping seekor keledai yang dituntunnya. Kepadanya diajukan tiga
pertanyaan di atas. Orang itu pun memberi jawaban bahwa ‘yang paling jahat dari
tiga pertanyaan tadi adalah akhlak yang buruk’. Kalau perempuan jahat, kita
masih bisa menyelamatkannya dengan jalan menceraikannya; kalau tetangga yang
jahat, kita bisa pindah rumah; sedangkan bila akhlak yang buruk bagaimana kita
bisa menghindar, karena ke mana pun kita pergi, ia akan mengikuti. Ternyata
jawaban orang awam inilah yang bisa memuaskan hati bangsawan tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar