Asma al-Husna : al-Ghaffaar
(15) al-Ghaffaar (Yang Maha Pengampun)
Dari nama-nama-Nya, al-Ghaafir berarti mengampuni.
Sedangkan al-Ghafuur dan al-Ghaffaar berarti mengampuni dalam
pengertian yang lebih mendalam lagi. Namun ketiganya, yang lebih tepat adalah al-Ghaffaar,
yang berasal dari kata al-Ghafr, yang berarti ‘selubung atau tutup’.
Adapun maghfirah dari Allah Swt adalah penutupan atas
dosa-dosa dan pemaafan-Nya dengan anugerah rahmat-Nya, bukan karena tobat si
hamba atau ketaatannya. Ini harus benar-benar dipahami. Dalam sebuah Hadis
disebutkan:
“Hamba-Ku! Andaikan engkau datang kepada-Ku dengan dosa
sebanyak tanah di bumi, Kusambut kedatanganmu dengan ampunan sebanyak itu pula,
asalkan engkau tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun”.
Dalam khabar musnad dikisahkan, ada seorang sedang disuruh
masuk ke neraka. Setelah orang itu sampai pada jarak sepertiga perjalanan, ia
menoleh, kemudian melanjutkan perjalanannya. Sesampai di pertengahan perjalanan
ia menoleh lagi, dan setelah sampai pada jarak dua pertiga perjalanan, ia
menoleh. Kemudian Allah berfirman: “Bawa kembali orang itu ke sini!”
Lalu Allah bertanya kepadanya: “Mengapa kamu menoleh sampai tiga kali?” si
hamba tadi menjawab: “Setelah hamba sampai di sepertiga perjalanan, hamba
teringat akan firman-Mu: ‘Dan Tuhanmulah Yang Maha Pengampun lagi mempunyai
rahmat’ (QS. al-Kahfi [18]: 58). Karena teringat akan firman-Mu inilah,
hamba menoleh dengan penuh harapan akan ampunan dan rahmat-Mu”.
“Ketika hamba berada separoh perjalanan, hamba teringat lagi
firman-Mu, ‘Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah’ (QS.
Ali ‘Imran [3]: 135). Dengan firman-Mu ini semakin bertambah harapan hamba,
sehingga hamba pun menoleh untuk yang kedua. Dan ketika berada di dua pertiga
perjalanan terakhir, hamba ingat firman-Mu, ‘Katakan: ‘Hai hamba-hamba-Ku
yang melampaui batas atas diri mereka sendiri, janganlah kamu putus asa dari
rahmat Allah’ (QS. al-Zumar [39]: 53). Sehingga semakin mantaplah harapan
hamba akan ampunan dan rahmat-Mu”.
Mendengar pengakuan hamba-Nya ini, Allah pun berfirman,
“Pergilah engkau! Sesungguhnya Aku sudah mengampunimu’.
Di ayat yang lain Allah juga berfirman:
Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan atau menganiaya
dirinya sendiri, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-Nisaa’ [4]: 110).
Ayat di atas mengisyaratkan keterkabulan tobat para orang
tua yang sudah menghabiskan umur dan masa mudanya dalam kesalahan dan dosa.
Kemudian mereka bertobat sebelum kematiannya. Karena kata tsumma
(kemudian) dalam ayat di atas berarti “al-taraakhii” (penguluran,
perpanjangan waktu) dan juga terkandung ke-lathiif-an lainnya. Yaitu,
melakukan maksiat kepada-Nya dengan perbuatan, kemudian menaaati-Nya dengan
ucapan lisan, maka Allah rela dengan hal itu. Dan ada ke-lathiif-an
lain, yaitu permohonan ampunan, sehingga engkau dapati Allah berfirman: “Kemudian
ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (QS. al-Nisaa [4]: 110).
Bukanlah hal aneh, jika seorang musafir yang mencari air
mendapatkan Yusuf dalam sumur, tetapi yang lebih aneh adalah seorang hamba yang
bermaksiat, lalu memohon ampun, dan ia mendapatkan Allah (mengampuninya).
Ada
seorang laki-laki yang selalu mengucapkan: “Tuhanku! Tuhanku! Aku terlambat!”;
lalu ia memperoleh jawaban dari hatinya yang mengatakan: “Tidak! Engkau tidak
terlambat! Yang terlambat itu adalah meraka yang sudah meninggal dunia dan
belum bertobat”.
Dalam sebuah Hadis yang bersumber dari Sa’id al Khudri, Nabi
saw. Mengisahkan kisah tobatnya seorang pembunuh 100 orang manusia.
Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri r.a katanya, Nabi
s.a.w bersabda: “Seorang laki-laki dari kalangan umat sebelum kamu telah
membunuh sebanyak sembilan puluh sembilan orang manusia, lalu ia mencari
seseorang yang paling alim. Setelah ditunjukkan kepadanya seorang pendeta, ia
terus berjumpa pendeta tersebut kemudian berkata: Aku telah membunuh sembilan
puluh sembilan orang manusia, adakah tobatku masih diterima? Pendeta tersebut
menjawab: Tidak. Mendengar jawaban itu, ia terus membunuh pendeta tersebut dan
genaplah seratus orang manusia yang telah dibunuhnya. Tanpa putus asa ia
mencari lagi seseorang yang paling alim. Setelah ditunjukkan kepadanya seorang
Ulama, ia kemudian berjumpa Ulama tersebut dan berkata: Aku membunuh seratus
orang manusia. Adakah tobatku masih diterima? Ulama tersebut menjawab: Ya!
Siapakah yang boleh menghalangi kamu dari bertobat? Pergilah ke Negeri si
Fulan, karena di sana
ramai orang yang beribadat kepada Allah. Kamu beribadatlah kepada Allah Swt
bersama mereka dan jangan pulang ke negerimu karena negerimu adalah negeri yang
sangat hina. Laki-laki tersebut bergerak menuju ke tempat yang dijelaskan sang
ulama tadi. Ketika berada di pertengahan jalan tiba-tiba dia mati, menyebabkan
Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab berselisih mengenainya. Malaikat Rahmat
berkata: Dia datang dalam keadaan bertobat dan menghadapkan hatinya kepada
Allah Swt. Sementara Malaikat Azab berkata pula: Ia tidak pernah melakukan
kebaikan. Lalu Malaikat yang lain datang dalam keadaan berupa manusia dan
mencoba menghakimi mereka sambil berkata: Ukurlah jarak di antara dua tempat.
Mana yang lebih dekat, itulah tempatnya. Lantas mereka mengukurnya. Ternyata
mereka dapati laki-laki tersebut lebih dekat kepada negeri yang ditujunya. Akhirnya
ia diambil oleh Malaikat Rahmat" (HR. Bukhari da Muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar