Tampilkan postingan dengan label Tasawuf - Allah di Mata sufi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tasawuf - Allah di Mata sufi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Oktober 2012

(85) Asma al-Husna : Maalik Al-Mulk ; (86) Asma al-Husna :Dzuu Al-Jalaal Wa Al-Ikraam





(85) Maalik Al-Mulk (Pemilik Kerajaan)



(86) Dzuu Al-Jalaal Wa Al-Ikraam (Pemilik Keluhuran dan Kemuliaan)

Arti nama al-Jalaal telah diterangkan sebelumnya Al-Jaliil berarti layak baginya sifat ketinggian, sifat-sifat kebesaran serta keagungan.

Barangsiapa yang sudah mengenal kebesaran-Nya hendaklah merendahkan dan menghinakan diri kepada-Nya.

Diriwayatkan bahwa ada malaikat yang mulai diciptakan, hingga kini dalam keadaan menangis, tiada terasa lemah maupun letih; dan setiap tetes airmatanya, oleh Allah dijadikan malaikat pula, tidaklah mereka mengangkat kepalanya sampai nanti tiba Hari Kiamat, dan yang selalu diucapkan adalah:

“Maha Suci Engkau, kami tidak menyembah-Mu dengan sebenar-benarnya penyembahan”.

Dikatakan bahwa ada di antara para malaikat pendukung Arasy, yang bentuknya seperti ‘ijil (anak sapi jantan), ketika Bani Israil menyembah anak sapi, para malaikat itu segera menutupi wajahnya karena malu kepada Allah Swt.

Ibn Jalaa’ berkata: “Pernah terjadi pada suatu ketika mengendarai seekor unta, lalu aku mengucapkan: “Jalla Allaah, unta itu pun mengucapkan sebagaimana yang aku ucapkan dengan fasih”.

Tiadalah kebesaran, keagungan dan kemuliaan Jalla Allah itu diiringi oleh pembantu dan bukan dikarenakan oleh sebab-sebab tertentu, tetapi Jalaal-Nya Ta’ala ialah sifat yang yang mengarah ke sifat-sifat ketinggian, kemuliaan, dan keagungan.

Al-Ikraam berdekatan dengan arti al-In’aam (pemberi nikmat), tetapi kata al-Ikraam lebih dikhususkan untuk-Nya. Dia memberi nikmat kepada siapa yang tidak diberi ikraam, dan Dia tidak memberi Ikraam melainkan kepada siapa yang diberi nikmat.

Ikraam Allah Swt kepada hamba-Nya disegerakan di kala di dunia ini dan di akhirat kelak. Dan atas serba kekurangan dan kelengahan yang ada pada diri si hamba, maka al-Haq Swt menganugerahi nikmat atasnya, sedang si hamba bersyukur kepada selain-Nya  dan memberi rezeki kepadanya, sedang ia berkhidmat dan memohon kepada selain-Nya.

<===  To Be Continued  ===>

(84) Asma al-Husna : Al-Ra’Uuf





(84) Al-Ra’Uuf (Yang Maha Pelimpah Kasih)

Al-Ra’fah adalah rahmat; semakna dengan al-Raafah dan al-Rahmah. Makna yang sebenarnya adalah menghendaki nikmat; rahmat dikatakan juga nikmat sebagai majaz, maka rahmat Allah Swt kepada hamba-hamba-Nya merupakan iradat, kehendak dan kemauan-Nya akan ihsan kepada para hamba-Nya tanpa sebab apa pun. Allah Swt itu lebih kasih sayang terhadap hamba-hamba-Nya daripada siapa pun. Dan rahmat-Nya di dunia ini bersifat umum, baik bagi orang-orang beriman maupun orang-orang kafir; sedangkan di akhirat, rahmat-Nya khusus diberikan kepada orang-orang beriman.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. ketika sedang melakukan perjalanan, ia berjumpa dengan seorang wanita sedang membuat roti. Wanita itu dikelilingi oleh anak-anaknya yang masih di bawah umur, dan bertanya kepada ia: “Wahai Rasul Allah, telah sampai berita kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah Swt sayang kepada hamba-hamba-Nya melebihi sayang seorang ibu kepada anak-anaknya; apakah benar ya Rasulullah?” Jawab Nabi: “Benar”. Wanita itu melanjutkan: ‘Sesungguhnya seorang ibu tidak akan sampai hati melemparkan anak-anaknya ke dalam tungku api ini”. Rasulullah menangis dan mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa dengan api neraka, melainkan kepada mereka yang enggan mengucapkan laa ilaaha illaa Allaah (tiada Tuhan selain Allah)”.

Dengan memberikan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya, berarti Dialah yang menghindarkan dan memelihara hamba-hamba-Nya dari balasan siksa-Nya. Sedangkan Ishmat Allah Swt menjaga hamba-hamba-Nya agar tidak tergelincir ke dalam dosa. Hal tersebut lebih tepat dan lebih utama mendekatkan ke pintu rahmat daripada mengampuni karena dosa maksiat.

Adakalanya rahmat, yang sebenarnya merupakan kenikmatan, tampak sebagai beban berat dan merupakan kekerasan atas hamba. Dan bagi si hamba tidaklah ia memperoleh apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya.

Betapa banyak hamba yang dalam kehidupannya penuh penderitaan dan sangat memerlukan uluran tangan dari sesamanya. Tetapi pada hakikatnya mereka dalam kenikmatan  yang dicita-citakan oleh para malaikat tanpa iri hati.

Seorang Nabi telah mengadukan keadaanya kepada Allah tentang penderitaan yang dialaminya. Lapar adalah keadaan setiap harinya, telanjang adalah hiasan dirinya, dan kutu-kutu yang memenuhi badannya, itulah yang selalu dirasakannya. Maka mewahyukan kepadanya: “Tidakkah engkau mengetahui apa yang telah Kubuat terhadap dirimu? Aku telah menutup rapat pintu-pintu syirik kepadamu”.

Di antara rahmat Allah yang banyaknya tidak dapat dihitung adalah penjagaan dan pemeliharaan terhadap penglihatan kepada aghyaar (apa pun selain Allah). Ini menegaskan kepada si hamba agar segala kebutuhannya hanya di sampaikan kepada-Nya. Tidak boleh kepada yang lain.

Ada orang yang mengatakan kepada seorang sufi: “Mohonkan apa yang menjadi hajatmu?” Jawabnya: “Siapa yang sudah menginjakkan telapak kakinya di atas permadani makrifat, tidaklah dibenarkan mengharap pemberian selain dari Allah Swt.”

Para saleh berkata kepada sesamanya: “Adakah Anda berhajat sesuatu?” Rekannya menjawab: “Aku tidak berhajat kepada siapa pun yang tidak mengetahui hajatku.”

<===  To Be Continued  ===>

(83) Asma al-Husna : Al-‘Afwu






(83) Al-‘Afwu (Yang Maha Pemaaf)

Al-‘Afwu merupakan arti mubalaghah dari al-‘Aafi. Al-‘Afwu mempunyai dua makna, salah satunya adalah al-Fadhlu (kelebihan), sebagaimana firman-Nya:

“Wa yas’alunaka maa d aa yunfiquuna quli al-‘afwa”

Artinya:  “Dan mereka menanyakan kepadamu apa yang harus mereka nafkahkan. Jawablah: ‘Kelebihan dari kebutuhan…” (QS. al-Baqarah [2]: 219).

Yang dimaksud adalah kelebihan harta kekayaan mereka.

“Hattaa ‘afaw”

Artinya:  “Hingga (keturunan dan harta) mereka menjadi banyak” (QS. al-A’raaf [7]:95).

Maksudnya: bertambah banyak.

Al-‘Afwu dengan dasar pengertian ini berarti yang banyak pemberian-Nya, besar sekali yang dihibahkan. Al-‘Aafii berarti yang menghapus atau yang menghilangkan, sebagaimana ucapan yang lazim dikatakan.

Berdasarkan contoh di atas, maka al-’Afwu dapat diartikan menghapuskan bekas-bekas dosa, menghilangkan noda-noda kesalahan hingga tidak berbekas lagi. Itulah hembusan angin maghfirah, sebagaimana firman-Nya: “Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya, dan menetapkan (apa yang dikehendaki-Nya)” (QS. al-Ra’d [13]: 39).

Dikisahkan tentang seorang saleh. Suatu hari mengatakan: Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni dosa si Fulan”. Maka Allah mewahyukan kepada Nabi di masa itu: “Katakan kepada si Fulan (orang yang disumpah atau dilaknat) bahwa Allah berkenan mengampuni dan menghapus dosanya, dan katakan kepada saleh yang penyumpah itu, bahwa Allah menyia-nyiakan dan menghapus amal kebaikannya”.

BArangsiapa sudah memahami bahwa Allah Swt. Maha Pengampun, maka seharusnya si hamba memohon ampunan-Nya. Jika ia sudah memohon ampunan-Nya,niscaya dirinya menjadi seorang pemaaf bagi sesamanya. Inilah cara Allah mendidik dan memberikan pelajaran kepada manusia. Firman-Nya: “Dan hendaklah mereka menghapuskan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. al- Nur [24]: 22).

Ketahuilah bahwa Yang Maha Pemurah apabila berkenan mengampuni seseorang, maka hati orang itu dipelihara dan dijaga, agar tidak lagi merasakan kesunyian. Sehingga apa  yang pernah dilakukannya, masa gelapnya di masa lalu tidak akan diungkapkan oleh Allah, karena Dia sudah mencabut dosa-dosa itu sampai ke akar-akarnya. Dan anugerah ampunan itu bagaikan baju baru baginya.

 <===  To Be Continued  ===>

(82) Asma al-Husna : Al-Muntaqim





(82) Al-Muntaqim (Yang Maha Pengancam)
 
Al-Intiqaam (pembalasan dengan siksa) berasal dari kata al-niqmah, yang berarti klimaks ungkapan kebencian terhadap sesuatu dengan diakhiri penyiksaan.
Firman-Nya:

“Wa maa naqamuu minhum”
Artinya:  “Dan mereka tidak menyiksa mereka (orang-orang mukmin)” (QS. al-Buruuj [85]: 8).

Dalam ayat lain disebutkan:

“Hal tanqimuuna minnaa”
Artinya:  “Apakah kamu memandang kami salah” (QS. al-Ma’idah [5]: 59).

Jadi intiqaam Allah Swt merupakan balasan siksa-Nya kepada ahli maksiat, karena perbuatan mereka menimbulkan kebencian Allah.Sedangkan kebencian dalam sifat berarti pencelaan terhadap yang berbuat dan menimpakan siksa kepadanya. Kata tersebut tidak dapat diartikan gusar, keterkejutan jiwa atau tertimpa kesusahan dan kepayahan, sebagaimana yang biasa terjadi di kalangan manusia.

Allah Swt sangat murka apabila suatu pelanggaran mengenai hak sesama makhluk, tetapi tidak demikian bila mengenai hak diri-Nya. siksa ditimpakan kepada orang yang melanggar hak makhluk, bukan mengenai hak diri-Nya.

Diriwayatkan dari Abu Darda ia berkata: “Adakalanya seorang hamba dalam suasana aman sentosa, kemudian Allah Ta’ala – demi menguji dan mencobanya – memerintahkan Malaikat Jibril agar mencabut suasana yang demikian itu dari hatinya. Apabila si hamba merasa terkejut dan takut serta menyadarinya, maka suasana sentosa itu akan dikembalikan lagi. Tetapi kalau si hamba tidak mempedulikan apa yang dialaminya, maka akan ditambah dengan siksa.

Adakalanya seorang hamba memohon bantuan Allah setelah ia melakukan pelanggaran dengan secepatnya, maka hamba itu pun memperoleh perhatian-Nya sebelum ditimpa balasan siksa. Yang demikian ini berarti Allah Swt membimbing si hamba pada pemeliharaan maghfirah-Nya dan disegerakan pemberian maaf dengan kelembutan kebaikan-Nya.

<===  To Be Continued  ===>

(81) Asma al-Husna : Al-Tawwaabu





(81) Al-Tawwaabu (Yang Maha Penerima Tobat)

 Al-Tawwaab merupakan nama di antara nama-nama Allah yang seringkali muncul dalam al-Qur’an, antara lain firman-Nya:

“Wastaghfirhu innahu kaana tawwaban”
Artinya:  “Dan mohon ampunlah kepada-Nya; sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat” (QS. al-Nashr [110]: 3).

Tobat artinya kembali (al-rujuu’), berasal dari kata taaba.

Al-Tawwaab sebagai sifat Allah menunjukkan bahwa Dia memberi dan menerima tobat hamba-Nya. Yang berarti Dia kembali kepada hamba-Nya dengan kehalusan dan kelemah-lembutan, memberi taufik dan memudahkan hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya:

“Tsumma taaba ‘alaihim liyatuubuu”
Artinya:  “Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya” (QS. al-Taubah [9]: 118).

Kita bisa memahami konteks ayat di atas dalam sebuah pengandaian. Misalnya, Dia tidak memberi tobat kepada hamba-Nya, maka ini berarti si hamba itu tidak akan dapat bertobat. Karena itu, tobat itu asalnya dari Allah Swt, kemudian Dia turunkan kepada hamba-Nya sebagai sarana untuk kembali kepada-Nya.


 <===  To Be Continued  ===>

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...