(69) Al-Waahid ; (70) Al-Ahad
Yang Maha Esa
Dua nama Allah ini tercantum dalam al-Qur’an, mempunyai
makna yang sama: Yang Maha Esa.
“Wa ilaahukum ilaahu waahidun”
Artinya: “Dan Tuhan kamu itu Tuhan yang Maha Esa”
(QS. al-Baqarah [2]: 163).
Dalam ayat lain disebutkan:
“Qul huwa-Allahu Ahad”
Artinya: Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Esa” (QS.
al-Ikhlash [112]: 10.
Al-Waahid benar-benar tidak dapat dibagi dan
dikecualikan. Inilah hakikat menurut ahli kebenaran; kalau dikatakan “suatu
rumah” masih merupakan majazi, dapat dibenarkan dengan mengecualikan
sebagian.
Menururt ibn Furik al-Waahid dalam sifat mempunyai
tiga arti. Pertama, tidak terbagi-bagi dalam Zat; kedua, tidak
ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya; ketiga, tidak ada sekutu
bagi-Nya dalam perbuatan, sebagaimana orang Arab mengatakan: Fulaanun
mutawwahidun bi hadzaa al-amri (Fulan menangani sendiri persoalan ini).
Sejak dulu telah disepakati bahwa tiga arti di atas layak
bagi Allah Swt, sedangkan lafal al-tauhiid adalah suatu hakikat dalam menafikan
pembagian, akan tetapi merupakan metaforis dalam bagian yang lain.
Adapun al-Ahad, asalnya secara kebahasaan adalah wahdun;
dikatakan rajulun wahada, wahdun, yakni dengan memfathahkan huruf ha’
dan mensukunkannya. Dan dari sini kemudian terbentuk bentuk lain: wahiid;
proses ini terjadi sebagaimana dikatakan rajulun farada, fard, dan fariid.
Sebagian orang tidak dapat membedakan arti al-Waahid dan
al-Ahad; dan ada pula berusaha membedakannya. Al-Waahid (tunggal) adalah angka
permulaan dari bilangan (satu, dua, dan selanjutnya)… sedang ahad (yang Esa)
adalah nama yang sebutannya menafikan bilangan selanjutnya.
Dalam percakapan dikatakan “ahad” karena sebutan itu
bersamaan dengan menafikan, misalnya “maa jaa ‘anii ahad” ( tiada
mendatangi ahad) artinya menafikan kedatangan al-waahid atau siapa pun.
Dikatakan jaa’anii waahid (telah mendatangi waahid), dan tidak dikatakan
jaa’anii ahad ( telah mendatangiku ahad). Dikatakan al-Ahad,
karena dapat memberi pengertian itsbaat (menetapkan) dalam menyifati Allah
Azza wa Jalla atas wajah kekhususan; firman Allah Swt: “Qul huwa
Allaahu ahad”. (Katakanlah:: “Allah itu Maha Esa”), tidak dapat dikatakan
terdapat seseorang dengan sebutan al-Ahad. Bagi orang ia hanya boleh
disebut waahid atau wahiid.
Tauhid itu adalah suatu hukum bahwasannya Allah Swt
adalah waahid (tunggal), dan hukum itu dapat terlaksana dengan ucapan, ilmu
pengetahuan dan isyarat jari.
Tauhid ada tiga; pertama,
tauhid Allah Swt terhadap diri-Nya, ini mencakup ilmu Allah, bahwa Dia-lah waahid,
dan pemberian kadarnya bahwa Dia-lah waahid. Kedua, tauhid hamba
kepada al-Haq, itu pun termasuk ilmunya. Ketiga, tauhid al-Haq terhadap
seorang hamba; ini merupakan pemberian-Nya, yang merupakan wujud anugerah
tauhid dan taufik-Nya kepada hamba-Nya.
Al-Syibli berkata: “Al-Tauhiid adalah penunggalan al-Qidam
daripada al-Hadats (yang baru)”.
Menurut Zun Nun, al-Tauhiid itu bahwa engkau mengetahui
bahwa kekuasaan Allah Ta’ala dalam segala sesuatu tanpa campur tangan siapa
pun, karya tangan-Nya terhadap segala sesuatu tanpa ‘ilaaj ( bercampur
dengan bahan-bahan campuran) dan tanpa ‘illat (proses sebab akibat);
segala sesuatu adalah karya tangan-Nya, dan tidak berlaku sebab akibat bagi
perbuatan-Nya, sehingga apa pun yang terlintas pada khayalan, bagi Allah itu tidak
ada sama sekali.
Di bagian lain, al-Tauhiid itu adalah lenyapnya
bentuk gambar dari kenyataan nama. Karena itu al-Tauhiid itu adalah bahwa engkau mengetahui apa pun yang
terlintas dalam ingatan, pemikiran, dan yang mendaki pada Kaifiyah Ta’ala
(bagaimana-Nya) atau berkesudahan kepada Kammiyah (kadar berapa-Nya)
atau sampai pada kesudahan Mahiat-Nya (ke-Dia-an-Nya) atau yang layak
dengan menyifati Anniyatuhu (Akulah Dia-Nya); maka Allah Jalla
Jalaaluhu merupakan kebalikan dari semua urutan itu.
Sebagian sufi berpendapat bahwa tidaklah dibenarkan
menuntut-Nya, lantaran Dia itu tunggal denganmu. Mereka menegaskan, “Diharuskan
seorang hamba mengesakan Dia dan keharusan baginya untuk mengenal-Nya
sebaik-baiknya. Bahwa tauhidnya itu dengan Dia; berharap dan menuntut sesuatu
hanya dengan-Nya”.
Sebagai hamba-Nya, kita juga harus mengetahui bahwa
eksistensi yang ada disamping-Nya adalah karena dan dari-Nya.
Dialah yang memulai, Dialah yang menganugerahi dan menyempurnakan. Maha Suci
Allah, Tuhan semesta alam.
<=== To Be Continued ===>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar