Rabu, 10 Oktober 2012

(67) Asma al-Husna : Al-Waajid; (68) Asma al-Husna : Al-Maajid






(67) Al-Waajid (Yang Maha Menemukan) ; (68) Al-Maajid (Yang Maha Mulia)

Al-Waajid adalah al-Ghanii (Yang Maha Kaya); al-Jidah adalah kemahaluasan dan kemahakayaan. Dalam keduanya terkandung al-‘Aalim (Yang Mengetahui), seperti firman Allah:

“Wa wajadallahu ‘indahu”

Artinya: “Dan mendapatkan Allah di sisinya” (QS. al-Nuur [24]: 39).

Maksud “mendapatkan” dalam ayat di atas “mengetahui-Nya”. Barangsiapa sudah mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui, maka hendaknya ia berlindung kepada-Nya.

Al-Waajid adalah yang dikenai oleh al-Wajdu, sedang al-Wajdu bagi orang-orang sufi berarti: “Apa yang didapati oleh manusia dan yang mengenai dirinya dari rasa hati, dan tentang hal-hal yang tanpa dicari-cari dan tanpa memaksakan diri”. Juga ada yang mengatakan: “Al-Wajdu adalah penyingkapan asraar (rahasia-rahasia) dengan penyaksian kepada al-Mahbuub (Yang Dicintai)”.

Menurut al-Syibli: “Al-Wajdu adalah al-Faqdu (kehilangan sesuatu), dan kehilangan sesuatu dalam al-Wajdu adalah wajdu pula (mendapatkan)”.

Al-Wajdu dapat pula berarti bertiup angina mesra (nasiim), angin kasih sayang penuh kelembutan, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Yakub as.:

“Innanii la ajidu riiha yuusufa”

Artinya: “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf” (QS. Yusuf [12]: 94).

Al-Junaid berkata: “Al-Wajdu adalah putus sifat-sifat dari penyaksian”. Ditambahkannya: “Membaranya api keakraban (al-uns) yang dinyatakan oleh hembusan kudus”.

Al-Murtha’isy mengatakan: “Barangsiapa ber-tawaajud (bercinta), tetapi dalam tawaajud-nya tidak melihat kelebihan dalam agama; seharusnya ia merasa malu dan segera bertaubat”.

Abu Sa’id al-Kharraz berkata: “Setiap wajdu yang tampak nyata pada anggota tubuh luar dan di dalam jiwa hanya sedikit kesannya, maka yang demikian itu tercela”.

Al-Nashr Abadi: “Mawaajid (rasa cinta yang dipenuhi kerinduan) di dalam hati akan tampak dalam keberkahan atas tubuh; dan mawajid dalam arwah akan nyata keberkahannya atas asraar”.

Al-Junaid berkata: “Tidaklah berakibat buruk berkurang-nya wajdu dengan bertambah ilmu, tetapi yang berakibat buruk adalah bertambahnya wajdu dengan berkurangnya ilmu”. Al-Junaid menyambung: “Menurut al-Sari, al-Wajdu itu bisa meningkat, yaitu andaikata wajahnya ditebas pedang, tidaklah terasa”. Aku berani berkata demikian, karena pada diriku terdapat perasaan yang demikian.

Sahl ibn Abdullah tertimpa “al-Wajdu”, maka ia pantang makan dua puluh lima hari lamanya dan mencucurkan keringat di musim dingin, sedang baju yang dipakai hanyalah gamis tipis. Kalau ada orang bertanya kepada ia, maka ia menjawab, “Saat begini kamu bertanya macam-macam, kalau kujawab engkau pun tidak akan mengerti”.

Al-Nuri pernah ber-tawaajud, maka ia berdiri di dalam Masjid al-Asyunziah selama sebulan. Kalau tiba waktu salat, ia pun salat tetapi setelah itu kembali lagi berdiri. Keadaan ini dilaporkan orang kepada al-Junaid, kemudian ia berkomentar: “Tidak, tidak… memang ahli mawaajiid terpelihara di antara kedua tangan Allah dan bagi mereka lisan celaan tidak berlaku sama sekali”.

Note:

Wajdu atau wajd berarti ekstase (keadaan di luar kesadaran; khusyu’). Ekstase spiritual datang ke dalam hati secara tak terduga-duga. Mereka yang mengalaminya tak lagi menyaksikan dirinya sendiri dan orang lain. Kemabukan datang melalui energi spiritual yang dahsyat yang turun kepada sang hamba. Hal ini menyelimuti indera-indera dan menyebabkan reaksi fisik yang hebat. Kemabukan menguasai tubuh, pikiran, dan hati. Wajd bisa menampakkan keindahan manakala keindahan Allah mendominasi; bisa pula menampakkan keperkasaan manakala Keagungan Allah mendominasi. Selama sama’ sang pencinta dapat mengalami kemabukan ini. Kemabukan ini merupakan anugerah dari Allah yang Maha Pemurah kepada pencinta-Nya. Tanpa anugerah wajd sang pencinta tidak dapat menanggung luapan cinta dan kerinduan yang terdapat di dalam hatinya (Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hlm. 313). – penerj.

Uns (keakraban): keakraban spiritual ketika hati dipenuhi cinta dan keindahan, kelembutan dan belas kasih, serta pengampunan Allah. Keindahan uns tidak dapat terlukiskan. Ini dapat dialami oleh pendengar dalam konser spiritual (sama) yang menyebabkannya mengalami kemabukan (wajd) ketika menemukan Allah. “Orang-orang yang mendengar” (ahl sama) mengalami keakraban (uns) karena mereka hanya mendengarkan Allah dalam setiap waktu dan setiap suara. Selama perjalanan sang penempuh mula-mula dapat mengalami keakraban demikian secara singkat. Tetapi berkat rahmat Allah, setelah jauh menempuh dengan penyucian hati serta berbagai “penyingkapan” dan “pencerahan”, sang pecinta bakal selalu mengalami kedekatan dengan Allah, bahkan ketika Allah menjaga jarak dengan dirinya (Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hlm. 305) – penerj.

Tawaajud: mengundang kemabukan. Sama’ (musik spiritual) merupakan salah satu cara paling kuat untuk mengundang kemabukan. Sang pencinta Allah memiliki gerak batin yang merindukan Allah. Ketika Allah menjaga jarak dengan pencinta-Nya, gerak batin ini lemah sekali. Dalam kerinduannya terhadap sang Kekasih, sang Pencinta Allah menggunakan segala cara untuk “mendapatkan” Allah kembali. Inilah tawaajud. Sebuah Hadis mengatakan: “Menangislah, dan kalau engkau tak bisa, berusahalah menangis”. – penerj.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...