(67) Al-Waajid (Yang Maha Menemukan) ; (68) Al-Maajid (Yang Maha
Mulia)
Al-Waajid adalah al-Ghanii (Yang Maha Kaya); al-Jidah
adalah kemahaluasan dan kemahakayaan. Dalam keduanya terkandung al-‘Aalim (Yang
Mengetahui), seperti firman Allah:
“Wa wajadallahu ‘indahu”
Artinya: “Dan mendapatkan Allah di sisinya” (QS.
al-Nuur [24]: 39).
Maksud “mendapatkan” dalam ayat di atas “mengetahui-Nya”.
Barangsiapa sudah mengetahui bahwa Dia Maha Mengetahui, maka hendaknya ia
berlindung kepada-Nya.
Al-Waajid adalah yang dikenai oleh al-Wajdu,
sedang al-Wajdu bagi orang-orang sufi berarti: “Apa yang didapati oleh
manusia dan yang mengenai dirinya dari rasa hati, dan tentang hal-hal yang
tanpa dicari-cari dan tanpa memaksakan diri”. Juga ada yang mengatakan: “Al-Wajdu
adalah penyingkapan asraar (rahasia-rahasia) dengan penyaksian kepada al-Mahbuub
(Yang Dicintai)”.
Menurut al-Syibli: “Al-Wajdu adalah al-Faqdu (kehilangan
sesuatu), dan kehilangan sesuatu dalam al-Wajdu adalah wajdu pula
(mendapatkan)”.
Al-Wajdu dapat pula berarti bertiup angina mesra (nasiim),
angin kasih sayang penuh kelembutan, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Yakub
as.:
“Innanii la ajidu riiha yuusufa”
Artinya: “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf” (QS.
Yusuf [12]: 94).
Al-Junaid berkata: “Al-Wajdu adalah putus sifat-sifat
dari penyaksian”. Ditambahkannya: “Membaranya api keakraban (al-uns)
yang dinyatakan oleh hembusan kudus”.
Al-Murtha’isy mengatakan: “Barangsiapa ber-tawaajud (bercinta),
tetapi dalam tawaajud-nya tidak melihat kelebihan dalam agama;
seharusnya ia merasa malu dan segera bertaubat”.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata: “Setiap wajdu yang
tampak nyata pada anggota tubuh luar dan di dalam jiwa hanya sedikit kesannya,
maka yang demikian itu tercela”.
Al-Nashr Abadi: “Mawaajid (rasa cinta yang dipenuhi
kerinduan) di dalam hati akan tampak dalam keberkahan atas tubuh; dan mawajid
dalam arwah akan nyata keberkahannya atas asraar”.
Al-Junaid berkata: “Tidaklah berakibat buruk berkurang-nya wajdu
dengan bertambah ilmu, tetapi yang berakibat buruk adalah bertambahnya wajdu
dengan berkurangnya ilmu”. Al-Junaid menyambung: “Menurut al-Sari, al-Wajdu
itu bisa meningkat, yaitu andaikata wajahnya ditebas pedang, tidaklah terasa”.
Aku berani berkata demikian, karena pada diriku terdapat perasaan yang demikian.
Sahl ibn Abdullah tertimpa “al-Wajdu”, maka ia
pantang makan dua puluh lima
hari lamanya dan mencucurkan keringat di musim dingin, sedang baju yang dipakai
hanyalah gamis tipis. Kalau ada orang bertanya kepada ia, maka ia menjawab,
“Saat begini kamu bertanya macam-macam, kalau kujawab engkau pun tidak akan
mengerti”.
Al-Nuri pernah ber-tawaajud, maka ia berdiri di dalam
Masjid al-Asyunziah selama sebulan. Kalau tiba waktu salat, ia pun salat tetapi
setelah itu kembali lagi berdiri. Keadaan ini dilaporkan orang kepada
al-Junaid, kemudian ia berkomentar: “Tidak, tidak… memang ahli mawaajiid
terpelihara di antara kedua tangan Allah dan bagi mereka lisan celaan tidak
berlaku sama sekali”.
Note:
Wajdu atau wajd berarti ekstase (keadaan di
luar kesadaran; khusyu’). Ekstase spiritual datang ke dalam hati secara tak
terduga-duga. Mereka yang mengalaminya tak lagi menyaksikan dirinya sendiri dan
orang lain. Kemabukan datang melalui energi spiritual yang dahsyat yang turun
kepada sang hamba. Hal ini menyelimuti indera-indera dan menyebabkan reaksi
fisik yang hebat. Kemabukan menguasai tubuh, pikiran, dan hati. Wajd
bisa menampakkan keindahan manakala keindahan Allah mendominasi; bisa pula
menampakkan keperkasaan manakala Keagungan Allah mendominasi. Selama sama’
sang pencinta dapat mengalami kemabukan ini. Kemabukan ini merupakan anugerah
dari Allah yang Maha Pemurah kepada pencinta-Nya. Tanpa anugerah wajd sang
pencinta tidak dapat menanggung luapan cinta dan kerinduan yang terdapat di
dalam hatinya (Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hlm. 313). –
penerj.
Uns (keakraban): keakraban spiritual ketika hati
dipenuhi cinta dan keindahan, kelembutan dan belas kasih, serta pengampunan
Allah. Keindahan uns tidak dapat terlukiskan. Ini dapat dialami oleh
pendengar dalam konser spiritual (sama) yang menyebabkannya mengalami
kemabukan (wajd) ketika menemukan Allah. “Orang-orang yang mendengar” (ahl
sama) mengalami keakraban (uns) karena mereka hanya mendengarkan
Allah dalam setiap waktu dan setiap suara. Selama perjalanan sang penempuh
mula-mula dapat mengalami keakraban demikian secara singkat. Tetapi berkat
rahmat Allah, setelah jauh menempuh dengan penyucian hati serta berbagai
“penyingkapan” dan “pencerahan”, sang pecinta bakal selalu mengalami kedekatan
dengan Allah, bahkan ketika Allah menjaga jarak dengan dirinya (Amatullah
Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hlm. 305) – penerj.
Tawaajud: mengundang kemabukan. Sama’ (musik
spiritual) merupakan salah satu cara paling kuat untuk mengundang kemabukan.
Sang pencinta Allah memiliki gerak batin yang merindukan Allah. Ketika Allah
menjaga jarak dengan pencinta-Nya, gerak batin ini lemah sekali. Dalam
kerinduannya terhadap sang Kekasih, sang Pencinta Allah menggunakan segala cara
untuk “mendapatkan” Allah kembali. Inilah tawaajud. Sebuah Hadis
mengatakan: “Menangislah, dan kalau engkau tak bisa, berusahalah menangis”.
– penerj.
<=== To Be Continued ===>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar