Senin, 25 Juni 2012

(9) Asma al-Husna: al-Aziiz



Asma al-Husna: al-Aziiz



(9) al-Aziiz (Yang Maha Perkasa)

Kata al-‘aziiz berasal dari akar kata yang terdiri atas huruf-huruf  ‘ain dan za’ yang maknanya adalah kekokohan, kekuatan dan kemantapan. Dalam bentuknya ‘azza-ya’uzzu maka ia berarti “mengalahkan”, sebagaimana firman Allah:

“Wa ‘azzanii fi al-khithaabi

Artinya: “…dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan” (QS. Shaad [38]: 23)

Dari pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa lewat asma-Nya ini, keperkasaan-Nya tidak satu pun yang bisa menyamai-Nya, termasuk manusia. Sebab, Dialah yang berkuasa, Yang Maha Perkasa, yang tidak dapat dicapai, ibarat benteng kokoh yang sulit dicapai sekalipun telah mengerahkan seluruh kemampuan.

Al-Mu’iz adalah sifat zat yang berarti “yang meninggikan derajat siapa saja yang dikehendaki-Nya”.

Hanya mereka yang mengenal dengan pengenalan yang sebenarnyalah yang dapat memuliakan dan menjunjung tinggi perintah-Nya dengan pendengaran dan ketaatan yang sesungguhnya pula. Bagi mereka yang meremehkan perintah-Nya, maka tidaklah mungkin akan dapat merasakan dengan penuh keyakinan akan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, siapa yang sudah mengenal ke-Mahamuliaan dan keperkasaan-Nya mengharuskan bersyukur terhadap apa yang luput atau hilang, yang tidak diperoleh. Selain itu senantiasa bersabar terhadap ujian yang dihadapi serta merasa nikmat dalam ketidakberhasilannya dan kehinaan karena hukum-Nya.

Dan harus diingat baik-baik bahwa qalb (hati) itu mempunyai potensi luar biasa untuk mnegangkat segala bentuk kesukaran dan mengangkat derajat menuju kemuliaan. Karena itu, seperti disinggung dalam Hadis Nabi, hati menjadi raja bagi seluruh anggota tubuh. Jika hati baik, maka baiklah perilaku dan cara pikir seseorang, dan sebaliknya. Jika hati busuk, maka cara pikirnya adalah hal-hal yang busuk dan perilakunya memperlihatkan akhlak yang jelek.

Ada seseorang bertanya kepada seorang arif: “Bagaimana cara mengetahui lorong jalan yang menuju kepada-Nya?” Si arif tadi menjawab: “Seandainya Anda telah mengenal-Nya dengan baik, niscaya Anda dapat mengenal jalan menuju kepada-Nya”.

Di kalangan sufi seringkali saling bertanya sesama mereka: “Apakah tandanya bahwa Anda mengenal-Nya?”Rekannya ada yang menjawab: “Bila aku bermaksud menyalahi atau melanggar perintah-Nya, niscaya hati nuraniku akan memperingatkan, “Hendaklah engkau malu kepada-Ku.”

Keniscayaan bagi orang yang mengklaim telah mengenal bahwa Dia Yang Maha Mulia dan Maha Perkasa untuk tidak lagi membesar-besarkan sesama makhluk. Karena Nabi saw pernah bersabda:

“Barang siapa bertawadhu (merendahkan diri) kepada orang kaya karena kekayaanya, niscaya akan hilang sepertiga agamanya”.

Mengomentari Hadis Nabi saw di atas, Abu Ali al-Daqqaq berkata: “Perhatikanlah! Mengapa Nabi saw mengatakan hilang sepertiga agamanya hanya karena tawadhu’ (kepada orang kaya karena kekayaanya?)”. Dijelaskan lebih lanjut oleh al-Daqqaq, disebabkan tawadhu’ itu terjadi dengan tiga perkara; pertama, dengan lisan; kedua, dengan badan; dan ketiga, denga hati (qalb). Dengan demikian, jika yang bertawadhu’ itu lisan dan badan saja, sedang hatinya tidak, serta tidak beriktikad membesar-besarkan, maka hilanglah dua pertiga dari agamanya. Jika sampai hati ikut-ikutan ber-tawadhu’, maka hilanglah seluruh agamanya.

Di sini dapat ditarik suatu pemahaman bahwa ketika seseorang membesar-besarkan Allah Swt dalam hatinya, niscaya akan tampak baginya betapa tidak berarti makhluk dalam pandangannya.

Nah, kalau Anda sudah mengenal bahwa Dialah yang menganugerahi kemuliaan kepada hamba-hamba-Nya, niscaya Anda tidak akan mengejar kemuliaan selain hanya kepada-Nya saja. Dan harus diingat, kemuliaan itu akan diperoleh melalui ketaatan.

Mungkin orang akan bertanya bagaimana meng-kompromikan dua firman Allah berikut:

Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allahlah kemuliaan itu semuanya (QS. Fathir [35]: 10).

Dengan ayat:

Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-Munaafiquun [63]: 8).

Menurut saya, dua ayat di atas tidak ada pertentangan sama sekali, bahkan saling menguatkan. Kemuliaan yang ada pada rasul dan orang-orang yang beriman, kesemuanya milik mutlak Allah, sebagai Pemilik dan Pencipta sekaligus. Sedangkan kemuliaan di sisi Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi adalah suatu sifat bagi-Nya, sehingga semua kemuliaan haruslah hanya milik-Nya saja. Yang lainnya tidak layak mengklaim memiliki kemuliaan, apalagi sampai merasa bisa memberikan kemuliaan pada orang lain.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...