Asma al-Husna: al-Aziiz
(9) al-Aziiz (Yang Maha Perkasa)
Kata al-‘aziiz berasal dari akar kata yang terdiri
atas huruf-huruf ‘ain dan za’
yang maknanya adalah kekokohan, kekuatan dan kemantapan.
Dalam bentuknya ‘azza-ya’uzzu maka ia berarti “mengalahkan”,
sebagaimana firman Allah:
“Wa ‘azzanii fi al-khithaabi
Artinya: “…dan ia mengalahkan aku dalam perdebatan” (QS.
Shaad [38]: 23)
Dari pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa lewat
asma-Nya ini, keperkasaan-Nya tidak satu pun yang bisa menyamai-Nya, termasuk
manusia. Sebab, Dialah yang berkuasa, Yang Maha Perkasa, yang tidak dapat
dicapai, ibarat benteng kokoh yang sulit dicapai sekalipun telah mengerahkan
seluruh kemampuan.
Al-Mu’iz adalah sifat zat yang berarti “yang
meninggikan derajat siapa saja yang dikehendaki-Nya”.
Hanya mereka yang mengenal dengan pengenalan yang
sebenarnyalah yang dapat memuliakan dan menjunjung tinggi perintah-Nya dengan
pendengaran dan ketaatan yang sesungguhnya pula. Bagi mereka yang meremehkan
perintah-Nya, maka tidaklah mungkin akan dapat merasakan dengan penuh keyakinan
akan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, siapa yang sudah mengenal ke-Mahamuliaan
dan keperkasaan-Nya mengharuskan bersyukur terhadap apa yang luput atau hilang,
yang tidak diperoleh. Selain itu senantiasa bersabar terhadap ujian yang dihadapi
serta merasa nikmat dalam ketidakberhasilannya dan kehinaan karena hukum-Nya.
Dan harus diingat baik-baik bahwa qalb (hati) itu
mempunyai potensi luar biasa untuk mnegangkat segala bentuk kesukaran dan
mengangkat derajat menuju kemuliaan. Karena itu, seperti disinggung dalam Hadis
Nabi, hati menjadi raja bagi seluruh anggota tubuh. Jika hati baik, maka
baiklah perilaku dan cara pikir seseorang, dan sebaliknya. Jika hati busuk,
maka cara pikirnya adalah hal-hal yang busuk dan perilakunya memperlihatkan
akhlak yang jelek.
Ada
seseorang bertanya kepada seorang arif: “Bagaimana cara mengetahui lorong jalan
yang menuju kepada-Nya?” Si arif tadi menjawab: “Seandainya Anda telah
mengenal-Nya dengan baik, niscaya Anda dapat mengenal jalan menuju kepada-Nya”.
Di kalangan sufi seringkali saling bertanya sesama mereka:
“Apakah tandanya bahwa Anda mengenal-Nya?”Rekannya ada yang menjawab: “Bila aku
bermaksud menyalahi atau melanggar perintah-Nya, niscaya hati nuraniku akan
memperingatkan, “Hendaklah engkau malu kepada-Ku.”
Keniscayaan bagi orang yang mengklaim telah mengenal bahwa
Dia Yang Maha Mulia dan Maha Perkasa untuk tidak lagi membesar-besarkan sesama
makhluk. Karena Nabi saw pernah bersabda:
“Barang siapa bertawadhu (merendahkan diri) kepada orang
kaya karena kekayaanya, niscaya akan hilang sepertiga agamanya”.
Mengomentari Hadis Nabi saw di atas, Abu Ali al-Daqqaq
berkata: “Perhatikanlah! Mengapa Nabi saw mengatakan hilang sepertiga agamanya
hanya karena tawadhu’ (kepada orang kaya karena kekayaanya?)”.
Dijelaskan lebih lanjut oleh al-Daqqaq, disebabkan tawadhu’ itu terjadi
dengan tiga perkara; pertama, dengan lisan; kedua, dengan badan;
dan ketiga, denga hati (qalb). Dengan demikian, jika yang bertawadhu’
itu lisan dan badan saja, sedang hatinya tidak, serta tidak beriktikad
membesar-besarkan, maka hilanglah dua pertiga dari agamanya. Jika sampai hati
ikut-ikutan ber-tawadhu’, maka hilanglah seluruh agamanya.
Di sini dapat ditarik suatu pemahaman bahwa ketika seseorang
membesar-besarkan Allah Swt dalam hatinya, niscaya akan tampak baginya betapa
tidak berarti makhluk dalam pandangannya.
Nah, kalau Anda sudah mengenal bahwa Dialah yang
menganugerahi kemuliaan kepada hamba-hamba-Nya, niscaya Anda tidak akan
mengejar kemuliaan selain hanya kepada-Nya saja. Dan harus diingat, kemuliaan
itu akan diperoleh melalui ketaatan.
Mungkin orang akan bertanya bagaimana meng-kompromikan dua
firman Allah berikut:
Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi
Allahlah kemuliaan itu semuanya (QS. Fathir [35]: 10).
Dengan ayat:
Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi
rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-Munaafiquun [63]: 8).
Menurut saya, dua ayat di atas tidak ada pertentangan sama
sekali, bahkan saling menguatkan. Kemuliaan yang ada pada rasul dan orang-orang
yang beriman, kesemuanya milik mutlak Allah, sebagai Pemilik dan Pencipta
sekaligus. Sedangkan kemuliaan di sisi Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi
adalah suatu sifat bagi-Nya, sehingga semua kemuliaan haruslah hanya milik-Nya
saja. Yang lainnya tidak layak mengklaim memiliki kemuliaan, apalagi sampai
merasa bisa memberikan kemuliaan pada orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar