Asma al-Husna : al-Jabbaar
(10) al-Jabbaar )Yang Kehendak-Nya Tidak
Diingkari atau Yang Maha Pemaksa)
Al-Jabbaar diambil dari akar kata yang popular
diucapka, yaitu pada kalimat “nakhlatun jabbaaratun idzaa faaqatil aidii”
(pohon korma itu terlalu tinggi ketika tanganku mencapainya). Inilah sekedar
mengilustrasikan Allah Ta’ala. Namun makna hakikinya adalah bahwa Dia tidak
dapat dicapai oleh “tangan-tangan” anianya dari manusia-manusia yang zalim dan
tidak dapat dilawan oleh para penentangnya.
Dalam konteks ini, al-Jabbaar merupakan sifat zat-Nya
karena memberi keterangan tentang eksistensi-Nya. Yaitu, sifat kebenaran dan
kebesaran. Sehingga al-Jabbaar sama dengan al-Mutakabbir dan al-Jabbaruut,
yang berarti takabur (sombong). Takabur sebagai sifat Azza wa Jalla adalah
terpuji, sedangkan bagi makhluk, sifat ini amatlah tercela.
Dapat juga dikatakan al-Jabbaar dengan makna al-Mujbir
yang berarti mamaksakan. Ini dilansir dari percakapan di kalangan sebagian
orang Arab: jabartuhu ‘alaa al-amri (aku memaksanya atas perkara ini).
Ucapan jabartuhu dan ajbartuhu, bermakna satu. Namun pemakaian ajbartuhu
dengan makna: sangat memaksa”, lebih populer dipakai daripada jabartuhu.
Sebagai sifat Allah Ta’ala, maka tidak ada wujud bagi makhluk-makhluk-Nya
melainkan apa yang dikehendaki-Nya, baik mereka itu bersedia ataupun menolak.
Dari pengertian ini, maka jadilah al-Jabbaar sebagai sifat
perbuatan-Nya.
Di lain pihak, al-Jabbar juga bisa berarti al-Mushlih
(Yang Memperbaiki). Pengertian ini diambil dari ucapan: jabartu al-kasra
(aku memperbaiki yang rusak). Juga dari sebait syair berikut:
Sesungguhnya Tuhan telah memperbaiki agama, maka menjadi
baik.
Berdasarkan keterangan di atas, maka al-Jabbaar
merupakan sifat perbuatan-Nya. Artinya, dengan asma-Nya ini, Dia mempunyai
otoritas memperbaiki kerusakan yang dialami oleh hamba-Nya. Sehingga, bagi
mereka yang menyeru dan berdoa dengan asma-Nya ini, berarti telah menyeru dan
berdoa dengan semua arti yang terkandung di dalam asma tersebut.
Sebagai wujud akhlak yang baik, maka bagi mereka yang sudah
mengenal nama-Nya ini, akan timbul keyakinan dalam dirinya bahwa tidak ada cara
atau jalan untuk sampai kepada-Nya, melainkan tetap konsisten dengan
perintah-Nya yang harus tetap dilaksanakan. Dan dapat dikatakan bahwa saat ini
kita baru dalam taraf “pengenalan”, sedangkan di hari kemudian merupakan “saat
pengampunan-Nya”.
Sikap dan cara pandang mereka yang sudah mengenal asma-Nya
ini adalah bahwa segala persoalan hanya Dia yang dapat menyelesaikannya.
Sehingga dalam dirinya timbul ketawakalan kepada-Nya atas semua masalah. Bila
ia memperoleh kebaikan, segera ia sadar bahwa kebaikan itu semata-mata
karunia-Nya; kalau musibah yang menimpanya, ia juga sadar sepenuhnya bahwa
hanya Dia saja yang bisa menyingkirkan atau melenyapkan musibah tersebut. Buah
dari ini adalah lenyap rasa takut terhadap segala sesuatu yang akan menimpa
dirinya, disebabkan ia bersandar pada sandaran yang sangat kokoh, yaitu Allah al-Jabbaar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar