Asma al-husna: al-Mutakabbir
(11) al-Mutakabbir (Yang Memiliki Kebesaran)
Pakar bahasa berpendapat bahwa kata mutakabbir berarti
Yang Maha Besar, karena menurut mereka huruf ta’ dalam bahasa Arab
biasanya disisipkan pada kata, maka ia mengandung makna takalluf
(kesengajaan membuat-buat), sedang Allah Swt Maha Suci dari sifat kesengajaan
mebuat-buat kebesaran. Untuk apa Allah bertakallauf atau membuat-buat
kebesaran, padahal pada hakikatnya Dia Maha Besar lagi Maha Agung, serta
menyandang kibriyaa’ dan ‘azhamah, sebagaimana dalam Hadis Qudsi
disebutkan:
Sifat Kibriya (Kebesaran) itu adalah selendang-Ku dan
sifat ’Azhamah (Keagungan) itu adalah sarung-Ku. Maka barang siapa mencabutnya
dari-Ku, niscaya Aku akan memperkarakannya, dan Aku tidak perduli (HR. Ibnu
Majah via Ibn Abbas).
Dengan demikian, sebagai makhluk-Nya, kita tidak boleh
takabur karena perbuatan ini amat tercela, apalagi kita ini serba kekurangan.
Jika ada juga manusia yang nekat takabur, sebenarnya ia membebani dirinya
secara paksa, karena memaksakan diri dengan sifat yang tidak layak baginya.
Mereka yang sudah mengenal ketinggian Yang Maha Suci,
niscaya akan hidup dalam ketawadhu’an dan dengan senang hati merasa dirinya
hina. Seorang penyair berkata:
Telah mencabik tabir sirr-nya, siapa yang melampaui
kemampuannya.
Ketahuilah! Seorang fakir dengan pakaian buruk lebih baik
daripada memakai pakaian indah dan bagus tetapi milik orang lain. Tidak ada
sifat yang lebih indah bagi para pelayan selain bertawadhu’ di hadapan
tuan-tuannya yang terhormat.
Yahya ibn Mu’adz pernah ditanya tentang al-Mahabbah
(kecintaan). Ia menjawab:
Kecintaan itu tidak bertambah karena kebaikan,
Juga, tidak akan berkurang karena penolakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar