(4) Al-Malik (Maha Raja)
Istilah al-Malik dapat dijumpai dalam al-Qur’an
al-Kariim:
Al-‘Aziiz al-Mulk :
Yang Maha Perkasa-Maha Raja
Maalik al-Mulk :
Yang Maha Memiliki segala kekuasaan
Malik yawm al-Diin :
Yang Memiliki Hari Pembalasan
Kata al-Malik terdapat dalam firman-Nya:
Di tempat kedudukan segala yang benar (yang disenangi),
di sisi Raja Yang Maha Kuasa (QS. Al-Qamar [54]: 55)
Secara bahasa, kata al-Malik berarti “peneguhan” (al-syadd)
dan “pengikatan” (al-rabth), misalnya dari percakapan sehari-hari, malaktul
‘ajiin (aku bersungguh-sungguh meremas-remas adonan tepung). Dapat juga
diartikan perjodohan dalam perkawinan, disebut imlaak; dikarenakan
mengandung arti milik dari ikatan hubungan suami istri. Setelah diketahui
perubahan sebutan dan perubahan artinya, maka kesimpulannya adalah tiada
Malik (pemilik) pada hakikatnya, melainkan Allah, dan bagi yang selain Allah
adalah majaazi. Jika sudah menjadi ketetapan arti yang sebenarnya, maka
diharuskan bagi seorang hamba mencuci bersih tangannya dari pengikatan sesuatu
kepada dirinya. Sehingga, mereka tidak lagi mengatakan “denganku”, “untukku”,
dan “dariku”. Yang demikian ini dikatakan sebagai tauhid pengguguran (al-tauhid
isqath) “keakuan”. Yaitu “keakuan” yang dikaitkan kepada
dirinya sendiri.
Kepada seorang guru tasawuf pernah ditanyakan: “Apakah Anda
mempunyai Tuhan?” Dijawab: “Aku ini hamba dan bukanlah Dia kepunyaanku,
siapakah aku ini hingga berani mengatakan kepunyaanku?”
Pernah terjadi seorang penguasa berkata kepada seorang
saleh: “Mohonkan hajatmu padaku!” Orang saleh itu menjawab: “Bagaimana paduka
bisa berkata seperti itu, sementara diriku ini memiliki dua budak, dan paduka
termasuk budak dari kedua budak itu”. Dengan keheran-heranan penguasa itu
bertanya lagi: “Siapakah dua budak yang Anda sebutkan itu?” Orang saleh itu
menjawab: “Yang pertama bernama kikir, yang lainnya bernama hawa nafsu;
keduanya sudah kutaklukkan, namun keduanya menaklukkan paduka. Keduanya adalah
budak milikku dan keduanya sudah memiliki paduka”.
Adapun mengenai maksud firman-Nya: “Ya Tuhanku! Sesungguhnya
Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan” (QS. Yusuf [12]:
101). Yang dimaksud dengan “kekuasaan” dalam ayat ini adalah kekuasaan Nabi
Yusuf as. atas dirinya sendiri, yang sama sekali tidak mentaati syahwatnya
ketika dirayu oleh istri al-‘Aziiz, Zulaikha, untuk menundukkan dirinya.
Alkisah, seorang sufi yang sedang berjalan melewati negeri
Asqalan menceritakan pengalamannya di negeri tersebut. Ketika di tempat itu
pandanganku tertuju pada seorang wanita cantik, hatiku condong kepadanya,
tetapi aku cepat-cepat menghindar dan meminta perlindungan Allah, dan
ditetapkan dalam takwa. Kemudian aku pun melanjutkan perjalananku. Di malam
harinya, aku bermimpi bertemu Nabi Yusuf. Kedatangannya kusambut dengan ucapan:
“Segala puji Allah yang telah melindungi Anda dari rayuan istri al-‘Aziz”. Nabi
Yusuf pun menjawab: “Segala puji bagi Alla yang telah melindungi Anda dari
wanita Asqalan”.
Barang siapa yang sudah mengenal bahwa Allah itu Maha Esa
atas Kerajaan-Nya, niscaya ia akan enggan merendahkan diri terhadap sesama
makhluk. Karena mengenal hakikat kerajaa-Nya mengharuskan penanggalan segala
sesuatu untuk mendekatkan diri dan mengarahkan semua tujuannya hanya
kepada-Nya.
Bisyr al-Haafi berkata: Aku melihat Ali ibn Thalib dalam
tidurku, lalu aku katakan kepadanya: “Ya Amiir al-Mu’miniin berilah
nasehat yang berguna untukku”. Jawabnya: “Alangkah besarnya kasih sayang
hartawan terhadap fakir miskin demi mengharap ganjaran dari Allah Swt; dan
alangkah bangganya para fakir miskin demi kepercayaan yang penuh kepada Allah Jalla
Jalaluhu (yang memiliki sifat-sifat kebesaran)”, maka kukatakan: “Sudilah
kiranya Anda memberi tambahan lagi, ya Amiir al-Mu’miniin”. Ia
memenuhinya dengan bersyair:
Sungguh, semula engkau mati,
Lalu engkau dihidupkan.
Masa yang amat singkat
Kembali menuju kematian.
Kemuliaan di negeri fana ini
Engkau harus membangunnya.
Maka bangunlah pula (kemuliaan itu)
Negeri yang baqa.
Di antara tanda-tanda tauhid adalah kepercayaan penuh atas
apa yang dijanjikan (Allah); dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah dalam
mengurusi keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan di antara akhlak yang
muliaadalah kepercayaan yang total atas segala yang beradadi sisi Allah, dan
tidak berhenti berderma, karena ia yakin bahwa Allah akan menggantikannya
segera dan kebaikan pasti akan diperoleh dari berderma tersebut.
Diriwayatkan, Hatim al-Ashan yang hari itu sedang berpuasa,
dan menjelang berbuka disajikan kepadanya makanan. Tiba-tiba datanglah seorang
pengemis. Tanpa pikir panjang, makanan yang disediakan untuk berbuka
itudiberikan kepada pengemis tadi. Tidak lama setelah itu, ia menerima kiriman
baru berisi aneka makanan. Namun, tiba-tiba datang lagi pengemis lain. Ia pun
memberikan semua makanan yang baru diterimanya itu kepada si pengemis. Tidak
lama kemudian, datang lagi orang membawa pundit-pundi berisi uang dinar, lalu
ia berteriak: “Tolong! Tolong! Tolonglah diriku dari khalaf (penggantian)!”
Di antara tetangga yang bersebelahan dengannya, ada yang bernama Khalaf. Khalaf
pun dikerumuni orang banyak, dan bertanya: “Mengapa kamu ganggu syekh? Hingga
ia berteria-teriak menyebut-nyebut namamu!”
Al-Asham pun datang melerai orang-orang yang mengerumuni
Khalaf. Ia menegaskan: “Teriakanku tidak kutujukan kepada Khalaf – karena
menyebut-nyebut namanya – tetapi keharusan dan kelemahanku tidak tertahankan
lagi untuk bersyukur kepada Allah Swt atas segeranya balasan yang diberikan
kepadaku. Itulah khalaf yamg kumaksud”. Orang-orang pun manggut dan
membiarkan si Khalaf pulang dengan tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar