Jumat, 15 Juni 2012

(4) Asma al-Husna : Al-Malik




(4) Al-Malik (Maha Raja)


Istilah al-Malik dapat dijumpai dalam al-Qur’an al-Kariim:
Al-‘Aziiz al-Mulk         : Yang Maha Perkasa-Maha Raja
Maalik al-Mulk            : Yang Maha Memiliki segala kekuasaan
Malik yawm al-Diin    : Yang Memiliki Hari Pembalasan

Kata al-Malik terdapat dalam firman-Nya:

Di tempat kedudukan segala yang benar (yang disenangi), di sisi Raja Yang Maha Kuasa (QS. Al-Qamar [54]: 55)

Secara bahasa, kata al-Malik berarti “peneguhan” (al-syadd) dan “pengikatan” (al-rabth), misalnya dari percakapan sehari-hari, malaktul ‘ajiin (aku bersungguh-sungguh meremas-remas adonan tepung). Dapat juga diartikan perjodohan dalam perkawinan, disebut imlaak; dikarenakan mengandung arti milik dari ikatan hubungan suami istri. Setelah diketahui perubahan sebutan dan perubahan artinya, maka kesimpulannya adalah tiada Malik (pemilik) pada hakikatnya, melainkan Allah, dan bagi yang selain Allah adalah majaazi. Jika sudah menjadi ketetapan arti yang sebenarnya, maka diharuskan bagi seorang hamba mencuci bersih tangannya dari pengikatan sesuatu kepada dirinya. Sehingga, mereka tidak lagi mengatakan “denganku”, “untukku”, dan “dariku”. Yang demikian ini dikatakan sebagai tauhid pengguguran (al-tauhid isqath) “keakuan”. Yaitu “keakuan” yang dikaitkan kepada dirinya sendiri.

Kepada seorang guru tasawuf pernah ditanyakan: “Apakah Anda mempunyai Tuhan?” Dijawab: “Aku ini hamba dan bukanlah Dia kepunyaanku, siapakah aku ini hingga berani mengatakan kepunyaanku?”

Pernah terjadi seorang penguasa berkata kepada seorang saleh: “Mohonkan hajatmu padaku!” Orang saleh itu menjawab: “Bagaimana paduka bisa berkata seperti itu, sementara diriku ini memiliki dua budak, dan paduka termasuk budak dari kedua budak itu”. Dengan keheran-heranan penguasa itu bertanya lagi: “Siapakah dua budak yang Anda sebutkan itu?” Orang saleh itu menjawab: “Yang pertama bernama kikir, yang lainnya bernama hawa nafsu; keduanya sudah kutaklukkan, namun keduanya menaklukkan paduka. Keduanya adalah budak milikku dan keduanya sudah memiliki paduka”.

Adapun mengenai maksud firman-Nya: “Ya Tuhanku! Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kekuasaan” (QS. Yusuf [12]: 101). Yang dimaksud dengan “kekuasaan” dalam ayat ini adalah kekuasaan Nabi Yusuf as. atas dirinya sendiri, yang sama sekali tidak mentaati syahwatnya ketika dirayu oleh istri al-‘Aziiz, Zulaikha, untuk menundukkan dirinya.

Alkisah, seorang sufi yang sedang berjalan melewati negeri Asqalan menceritakan pengalamannya di negeri tersebut. Ketika di tempat itu pandanganku tertuju pada seorang wanita cantik, hatiku condong kepadanya, tetapi aku cepat-cepat menghindar dan meminta perlindungan Allah, dan ditetapkan dalam takwa. Kemudian aku pun melanjutkan perjalananku. Di malam harinya, aku bermimpi bertemu Nabi Yusuf. Kedatangannya kusambut dengan ucapan: “Segala puji Allah yang telah melindungi Anda dari rayuan istri al-‘Aziz”. Nabi Yusuf pun menjawab: “Segala puji bagi Alla yang telah melindungi Anda dari wanita Asqalan”.

Barang siapa yang sudah mengenal bahwa Allah itu Maha Esa atas Kerajaan-Nya, niscaya ia akan enggan merendahkan diri terhadap sesama makhluk. Karena mengenal hakikat kerajaa-Nya mengharuskan penanggalan segala sesuatu untuk mendekatkan diri dan mengarahkan semua tujuannya hanya kepada-Nya.

Bisyr al-Haafi berkata: Aku melihat Ali ibn Thalib dalam tidurku, lalu aku katakan kepadanya: “Ya Amiir al-Mu’miniin berilah nasehat yang berguna untukku”. Jawabnya: “Alangkah besarnya kasih sayang hartawan terhadap fakir miskin demi mengharap ganjaran dari Allah Swt; dan alangkah bangganya para fakir miskin demi kepercayaan yang penuh kepada Allah Jalla Jalaluhu (yang memiliki sifat-sifat kebesaran)”, maka kukatakan: “Sudilah kiranya Anda memberi tambahan lagi, ya Amiir al-Mu’miniin”. Ia memenuhinya dengan bersyair:

Sungguh, semula engkau mati,
Lalu engkau dihidupkan.
Masa yang amat singkat
Kembali menuju kematian.
Kemuliaan di negeri fana ini
Engkau harus membangunnya.
Maka bangunlah pula (kemuliaan itu)
Negeri yang baqa.

Di antara tanda-tanda tauhid adalah kepercayaan penuh atas apa yang dijanjikan (Allah); dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah dalam mengurusi keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan di antara akhlak yang muliaadalah kepercayaan yang total atas segala yang beradadi sisi Allah, dan tidak berhenti berderma, karena ia yakin bahwa Allah akan menggantikannya segera dan kebaikan pasti akan diperoleh dari berderma tersebut.

Diriwayatkan, Hatim al-Ashan yang hari itu sedang berpuasa, dan menjelang berbuka disajikan kepadanya makanan. Tiba-tiba datanglah seorang pengemis. Tanpa pikir panjang, makanan yang disediakan untuk berbuka itudiberikan kepada pengemis tadi. Tidak lama setelah itu, ia menerima kiriman baru berisi aneka makanan. Namun, tiba-tiba datang lagi pengemis lain. Ia pun memberikan semua makanan yang baru diterimanya itu kepada si pengemis. Tidak lama kemudian, datang lagi orang membawa pundit-pundi berisi uang dinar, lalu ia berteriak: “Tolong! Tolong! Tolonglah diriku dari khalaf (penggantian)!” Di antara tetangga yang bersebelahan dengannya, ada yang bernama Khalaf. Khalaf pun dikerumuni orang banyak, dan bertanya: “Mengapa kamu ganggu syekh? Hingga ia berteria-teriak menyebut-nyebut namamu!”

Al-Asham pun datang melerai orang-orang yang mengerumuni Khalaf. Ia menegaskan: “Teriakanku tidak kutujukan kepada Khalaf – karena menyebut-nyebut namanya – tetapi keharusan dan kelemahanku tidak tertahankan lagi untuk bersyukur kepada Allah Swt atas segeranya balasan yang diberikan kepadaku. Itulah khalaf yamg kumaksud”. Orang-orang pun manggut dan membiarkan si Khalaf pulang dengan tenang.

<===  To Be Continued  ===>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlangganan via E-mail

Subscribe Here

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...